bagaimana jadinya kalau anak bungsu disisihkan demi anak angkat..itulah yang di alami Miranda..ketiga kaka kandungnya membencinya
ayahnya acuh pada dirinya
ibu tirinya selalu baik hanya di depan orang banyak
semua kasih sayang tumpah pada Lena seorang anak angkat yang diadopsi karena ayah Miranda menabrak dirinya.
bagaimana Miranda menjalani hidupnya?
simak aja guys
karya ke empat saya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
lena
Handoko duduk sendirian di taman. Angin sore bergerak pelan, membuat dedaunan bergoyang dan suara air mancur terdengar lebih jelas dari biasanya.
“Yah, kenapa melamun terus?”
Lena datang menghampiri sambil membawa segelas teh manis. Ia menyerahkan gelas itu dengan hati-hati.
Handoko menerima teh itu, menatap sekilas wajah putrinya, lalu kembali mengalihkan pandangan pada air mancur.
“Ayah sedang memikirkan perusahaan.”
Lena duduk di sampingnya.
“Yah menyesal sudah memberikan Kak Miranda ke orang itu?”
Handoko menghela napas panjang. Ayah mana yang tidak menyesal menyerahkan anaknya begitu saja? Namun ia tak langsung menjawab.
“Aku rasa Kak Miranda bahagia, Yah. Ayah jangan terlalu khawatir,” ucap Lena lembut.
Handoko menoleh. “Kenapa kamu bisa yakin begitu?”
Lena menggigit bibirnya sebelum menjawab, ragu apakah sebaiknya ia mengatakan hal itu.
“Aku sering mendengar Kak Miranda bercerita… katanya dia tidak nyaman tinggal di sini karena ada aku, Yah. Dia sudah lama ingin pergi dari rumah.”
Mata Handoko menatap Lena, kini dengan keseriusan penuh.
“Apa yang kamu katakan itu serius?”
“Iya, Yah. Bukan hanya aku yang dengar. Kak Amar dan Kak Amir juga dengar. Mereka cuma diam… takut menambah beban pikiran Ayah.”
Lena menunduk. Suaranya bergetar saat ia melanjutkan,
“Kak Miranda selalu kecewa dengan aku. Bahkan beberapa kali dia minta Kak Amar dan Kak Amir membujuk Ayah untuk membuang aku ke jalan lagi…”
Suaranya pecah.
Lena terisak sambil mengusap mata.
Setiap kalimat itu seperti menusuk dada Handoko. Mengetahui bahwa Lena mengingat semuanya… hanya membuat rasa bersalah itu semakin berat menekan dadanya.
Kembali pada kejadian 8 tahun lalu setelah Nurma meninggal, hidup Handoko kacau seperti kehilangan arah. Untung saja Miranti, sekretarisnya, selalu menemani dia, kalau tidak Handoko bisa bunuh diri.
Waktu itu Handoko habis minum-minum dan mabuk berat, Miranti waktu itu tidak menemani karena ibunya sedang sakit.
“Nurma, kenapa kamu meninggalkan aku, Nurma,” ucap Handoko sambil memegang setir. Malam sudah sangat larut, kendaraan sudah lengang. Kalau siang Handoko pasti jadi bulan-bulanan pengendara.
Hingga di jalan sepi tiba-tiba saja tiga orang melintas.
“Brakkk,” terdengar benturan keras, tiga orang mental. Mobil Handoko hilang kendali hingga menabrak pohon. Kepala Handoko berdarah. Handoko keluar dari mobil lalu melihat kondisi orang yang dia tabrak. Seorang lelaki lusuh dan seorang ibu berpakain lusuh tergeletak bersimbah darah. Kemudian Handoko melihat seorang anak kecil usia kurang lebih 10 tahun sedang merintih dan menangis.
“Bapak, Emak,” ucapnya terisak.
Handoko akan menyentuh anak itu, namun tiba-tiba dia merasakan kepalanya seperti terbentur benda keras dan Handoko tak sadarkan diri.
Handoko mengerjapkan mata, lampu neon menyilaukan matanya. Kepalanya masih terasa berat. Dia melihat tangannya sudah tersambung slang infusan.
“Pak, Anda sudah sadar,” ujar Miranti.
“Di mana aku, Miranti?” ucap Handoko.
“Bapak di rumah sakit.”
Handoko merasakan nyeri di ulu hati.
“Orang yang aku tabrak bagaimana?” tanya Handoko khawatir.
Terdengar helaan nafas berat. “Bapak dan ibunya meninggal. Sekarang anak itu hidup sebatang kara, Pak,” ucap Miranti.
Seketika Handoko merasa bersalah. “Di mana anak itu?” ucap Handoko.
“Ada di samping Bapak,” jawab Miranti sambil menunjuk ke arah kiri.
Handoko menoleh ke arah kiri. Tampak anak kecil itu sedang tidur terlelap.
“Pak, dia akan saya adopsi, Pak. Kebetulan saya tidak akan punya anak, jadi lebih baik saya urus, Pak,” ujar Miranti.
“Aku juga mau adopsi dia, tapi anakku juga sudah empat, terlebih sekarang aku single. Andai ada Nurma mungkin aku akan adopsi dia,” ucap Handoko merasa menyesal.
“Biar saya saja, Pak, yang urus,” ucap Miranti. “Saya sangat menyukai anak kecil, karena saya ini tidak akan mungkin punya anak, Pak.”
“Tapi kamu belum menikah, Miranti, bagaimana pandangan orang?”
“Biarlah, Pak. Saya tidak akan menikah. Lagian lelaki mana yang mau sama wanita mandul, Pak,” ucap Miranti.
Handoko memegang tangan Miranti. “Bagaimana kalau kamu menikah denganku, kita urus anak itu bersama-sama. Anak-anakku juga membolehkan aku menikah lagi asal wanitanya tidak punya anak,” ujar Handoko.
Dan mulai saat itulah hubungan Handoko dan Miranti yang awalnya hubungan atasan dan bawahan menjadi suami istri. Miranti yang pandai merebut hati Lusi, Amar, dan Amir dengan mudah diterima keluarga Handoko. Sedangkan keberadaan Miranda tidak pernah masuk hitungan karena dianggap penyebab kematian Nurmalinda.
Kehadiran Lena dan Miranti membuat suasana rumah mulai hidup, kecuali Miranda yang perlahan jiwanya dibunuh secara perlahan.
Mengingat hal itu selalu membuat Handoko merasa bersalah—dia telah membuat seorang anak menjadi yatim piatu. Tanpa sadar Handoko memeluk Lena erat.
“Ayah tidak akan pernah membuat kamu menderita, Nak,” ucap Handoko terisak.
“Tapi aku hanya anak ang—”
“Stop, Nak. Kamu anak Ayah. Ayah sayang kamu.”
“Kalau suatu saat aku salah… Ayah tidak akan membuangku?” tanya Lena hati-hati.
“Tidak akan, Nak.”
“Kalau seluruh kakak-kakakku membenciku… apakah Ayah juga akan membenciku?”
Handoko menggeleng kuat. “Ayah akan selalu sayang sama kamu, Nak.”
Ia memeluk Lena lebih erat lagi. “Kamu anugerah untuk keluarga ini.”
“Terima kasih, Yah.”
Namun tiba-tiba Handoko menahan perutnya, rasa sakit mendadak menusuk. Ia buru-buru lari ke toilet. Ponselnya tertinggal di sofa, layar masih menyala di halaman kontak—nama Miranda terpampang jelas bersama nomornya.
Lena melirik ke kiri dan kanan memastikan Handoko cukup jauh.
“Rupanya dia sudah punya ponsel…” gumamnya. “Aku harus mencatat nomornya. Setidaknya aku bisa memantau dia. Walaupun dia pasti menderita menikah dengan pria tua bangka itu, aku harus pastikan dia tidak bahagia.”
Miranda lalu mencatat nomor itu cepat-cepat.
Tak lama Handoko kembali.
“Ponsel Ayah ketinggalan, Lena,” ucapnya lega.
“Iya, Yah. Makanya Lena jagain di sini,” ujar Lena. “Yah… Lena mau ke mal sama teman-teman.”
“Oh, hari Minggu ya. Ya sudah, pergilah. Uangnya cukup?” tanya Handoko.
“Ada, Yah… tapi kayaknya kurang. Mau minta juga malu, Ayah kan lagi sulit sekarang. Tapi nggak apa, mungkin nanti Lena ditraktir teman-teman.”
“Oh, jangan begitu.” Handoko mengeluarkan sebuah kartu berwarna emas dan menyerahkannya. “Ini pakai saja.”
“Tapi, Yah—”
“Sudah, pakai saja. Ayah tahu kamu bukan tipe anak yang suka jajan macam-macam.”
“Terima kasih, Ayah.”
Lena mencium pipinya penuh sayang
,,
,,
Lena melangkah masuk ke rumah.
“Ka Lusi, aku mau ke mal sama teman-teman,” ucap Lena sambil melepas sepatunya.
“Ya, Kakak lagi banyak kerjaan. Maaf ya, Kakak nggak bisa nemenin,” jawab Lusi tanpa mengalihkan pandangan dari laptopnya.
“Ok, Kakak cantik,” ucap Lena manja.
Lusi mendengus kecil. “Nah, kalau sudah muji pasti ada maunya, nih.”
“Hehehe… ketauan.”
Lusi menggeleng sambil tersenyum tipis, lalu mengambil beberapa lembar uang merah dan menyerahkannya kepada Lena. Hari libur, Amar dan Amir sudah pasti tidak ada di rumah, jadi hanya Lusi yang bisa dimintai bantuan.
Di depan rumah, sebuah mobil mewah sudah menunggu. Lena naik dengan penuh antusias.
“Wih, bos kita ini senang banget, kayaknya,” ucap Kania dari kursi depan.
“Ya iyalah! Gue dapat gold card dari bokap gue,” Lena mengangkat kartu emas itu dengan bangga.
“Wah, mantap! Mari kita senang-senang!” sahut Ela bersemangat.
Mereka pun menuju sebuah mal mewah.
Namun begitu masuk ke sebuah butik kelas atas, langkah Lena terhenti. Dadanya seperti disiram bensin lalu disulut api. Di sana—di tengah ruangan—Miranda sedang tertawa. Beberapa pelayan butik sibuk membawa baju-baju mahal ke arahnya untuk dicoba.
Senyum Miranda, tawa Miranda, wajahnya yang tampak bahagia… semuanya menusuk Lena seperti duri.
“Kurang ajar…” Lena mengepal tangan.
“Aku tidak akan membiarkan hidup dia bahagia.”
Tekad itu tumbuh di dalam dirinya, dingin dan tajam.
Kakak ga punya akhlak
mma Karin be smart dong selangkah di depan dari anak CEO 1/2ons yg masih cinta masalalu nya