Elara, seorang ahli herbal desa dengan sihir kehidupan yang sederhana, tidak pernah menyangka takdirnya akan berakhir di Shadowfall—kerajaan kelabu yang dipimpin oleh raja monster. Sebagai "upeti" terakhir, Elara memiliki satu tugas mustahil: menyembuhkan Raja Kaelen dalam waktu satu bulan, atau mati di tangan sang raja sendiri.
Kaelen bukan sekadar raja yang dingin; ia adalah tawanan dari kutukan yang perlahan mengubah tubuhnya menjadi batu obsidian dan duri mematikan. Ia telah menutup hatinya, yakin bahwa sentuhannya hanya membawa kematian. Namun, kehadiran Elara yang keras kepala dan penuh cahaya mulai meretakkan dinding pertahanan Kaelen, mengungkap sisi heroik di balik wujud monsternya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1: Upeti Terakhir
Angin musim dingin di Desa Oakhaven tidak pernah terasa sedingin ini. Bukan jenis dingin yang hanya membuat kulitmu merinding, melainkan jenis dingin yang meresap hingga ke tulang sumsum, membawa aroma logam dan abu dari pegunungan utara.
Elara menggosok kedua tangannya yang kasar karena tanah dan getah tanaman. Di hadapannya, setangkai Moonflower yang layu tampak menyedihkan di dalam pot tanah liat. Kelopaknya yang biasanya berwarna perak cemerlang kini berubah abu-abu, seolah kehidupan telah dihisap darinya.
"Ayolah," bisik Elara, suaranya serak. "Jangan mati sekarang. Nenek Hestia butuh ini untuk batuknya."
Elara memejamkan mata, memusatkan pikirannya. Dia mencari percikan hangat di dalam dadanya—sumber sihir kehidupannya yang kecil. Itu bukan sungai kekuatan yang deras seperti yang dimiliki para penyihir agung di ibu kota, melainkan hanya tetesan embun. Lemah, tapi murni.
Dia menyalurkan kehangatan itu ke ujung jarinya, lalu menyentuh batang bunga yang layu itu.
Hiduplah.
Cahaya hijau pucat berpendar samar di ujung jarinya. Sangat redup, nyaris tak terlihat di bawah sinar matahari sore yang mendung. Namun, perlahan tapi pasti, batang bunga itu menegak. Warna abu-abu pada kelopaknya memudar, digantikan kembali oleh perak yang sehat.
Elara menghela napas panjang, bahunya merosot lega. Dia berhasil, tapi kepalanya langsung berdenyut nyeri. Menggunakan sihir, sekecil apa pun, selalu menguras tenaganya.
"Kau membuang tenagamu lagi untuk tanaman liar, Elara?"
Elara menoleh. Di ambang pintu pondok herbalnya, berdiri Mila, adiknya yang baru berusia sepuluh tahun. Wajah gadis kecil itu pucat, matanya bulat penuh kekhawatiran yang terlalu dewasa untuk usianya.
"Ini bukan tanaman liar, Mila. Ini obat," jawab Elara sambil tersenyum lembut, berusaha menyembunyikan kelelahannya. "Ada apa? Kenapa kau pulang dari ladang lebih awal?"
Mila tidak menjawab. Dia hanya menunjuk ke arah alun-alun desa di kejauhan.
Suara itu terdengar kemudian. Dentang lonceng.
Teng. Teng. Teng.
Tiga kali.
Jantung Elara seakan berhenti berdetak. Pot tanah liat di tangannya tergelincir, pecah berantakan di lantai kayu, menyebarkan tanah dan pecahan keramik. Namun, dia tidak mempedulikannya.
Tiga dentang lonceng hanya berarti satu hal.
Utusan dari Shadowfall telah tiba.
Alun-alun Desa Oakhaven dipenuhi kesunyian yang mencekam. Ratusan penduduk desa berkumpul, membentuk lingkaran besar, namun tak ada satu pun yang berani bersuara. Bahkan bayi-bayi didekap erat ke dada ibu mereka agar tangisannya tak terdengar.
Di tengah alun-alun, sebuah kereta kuda berwarna hitam legam terparkir. Kereta itu tidak ditarik oleh kuda biasa, melainkan oleh Nightmare—kuda perang bertubuh raksasa dengan mata merah menyala dan asap yang keluar dari lubang hidungnya. Lambang kerajaan Shadowfall—mahkota yang terlilit duri—terukir perak di pintu kereta.
Elara berdiri di barisan belakang, menggenggam tangan Mila begitu erat hingga adiknya meringis, tapi Elara tidak melepaskannya. Dia menatap sosok yang berdiri di depan kereta. Seorang pria jangkung berjubah hitam dengan topeng perak yang menutupi separuh wajahnya.
Itu adalah Hand of the King, tangan kanan Raja Kaelen.
"Penduduk Oakhaven," suara pria itu berat, diperkuat oleh sihir sehingga bergema ke seluruh penjuru alun-alun tanpa perlu berteriak. "Sesuai Perjanjian Duri yang telah disepakati seratus tahun lalu, hari ini adalah hari pemungutan."
Kepala Desa, seorang pria tua bernama Pak tua Garen, melangkah maju dengan gemetar. "Tuanku... kami sudah mengirimkan upeti gandum dan ternak minggu lalu. Dua kali lipat dari biasanya."
Pria bertopeng itu mendengus. "Raja Kaelen tidak butuh gandum kalian. Dia butuh sesuatu yang bisa menahan... penyakitnya."
Bisik-bisik ketakutan mulai terdengar di kerumunan. Semua orang tahu rumor itu. Raja Kaelen dikutuk. Tubuhnya perlahan berubah menjadi monster, menjadi batu dan duri. Dan rumor mengatakan dia memakan penyihir atau penyembuh untuk memperlambat kutukan itu.
"Kami butuh seorang penyalur," lanjut pria itu, matanya yang dingin menyapu kerumunan seolah sedang memilih ternak potong. "Seorang wanita dengan bakat Life Magic. Sekecil apa pun."
Darah Elara membeku.
Di desa ini, hanya ada dua orang yang memiliki bakat sihir. Nenek Hestia yang sudah terlalu tua dan sekarat, dan dirinya.
"Tidak ada penyihir di sini, Tuanku," kata Pak tua Garen, berbohong demi melindungi warganya. "Hanya petani."
Pria bertopeng itu mengangkat tangannya. Sebuah bola kristal hitam di telapak tangannya bersinar. Cahaya merah memancar dari bola itu, berputar-putar seperti kompas, lalu menembus kerumunan.
Cahaya itu berhenti tepat di dada Elara.
Kerumunan di sekitarnya tersentak mundur seolah Elara menderita penyakit menular, meninggalkannya berdiri sendirian bersama Mila di ruang kosong.
"Ah," kata pria itu, seringai tipis muncul di bibirnya. "Ditemukan."
Dua prajurit berbaju besi hitam melangkah maju, membelah kerumunan.
"Lari, Kak!" jerit Mila, menarik tangan Elara.
Tapi kaki Elara terasa seperti dipaku ke tanah. Lari? Lari ke mana? Shadowfall menguasai seluruh negeri. Jika dia lari, tentara Raja akan membakar desa ini hingga rata dengan tanah. Itu hukuman bagi pembangkang.
Elara melepaskan genggaman Mila dengan lembut. "Jangan, Mila. Jaga Nenek."
"Tidak! Kakak!" Mila menangis histeris saat tetangga mereka menahannya.
Para prajurit itu kini berdiri di hadapan Elara. Mereka menjulang tinggi, aroma besi dingin dan kematian menguar dari zirah mereka.
"Elara Vance," kata pria bertopeng itu. Dia tidak bertanya, dia menyatakan. "Raja Kaelen membutuhkan pelayananmu."
"Pelayanan?" Elara memberanikan diri menatap mata pria itu, meski lututnya gemetar hebat. "Atau pengorbanan?"
Pria itu memiringkan kepalanya, tampak terhibur dengan keberanian Elara yang rapuh. "Itu tergantung seberapa berguna kau bagi Raja, Gadis Herbal. Jika sihirmu bisa meredakan rasa sakitnya, kau akan hidup seperti Ratu. Jika tidak... yah, taman istana selalu butuh pupuk."
Dia memberi isyarat. "Bawa dia."
Salah satu prajurit mencengkeram lengan Elara. Kasar dan menyakitkan.
"Tunggu!" seru Elara. "Biarkan saya mengambil tas obat saya. Kumohon. Jika Raja sakit, saya butuh peralatan saya."
Pria bertopeng itu menatapnya sejenak, lalu mengangguk singkat. "Kau punya waktu dua menit. Jika kau mencoba kabur, kami akan mengambil adikmu sebagai gantinya."
Ancaman itu menghantam Elara lebih keras daripada pukulan fisik. Dia bergegas kembali ke pondoknya, dikawal oleh satu prajurit. Tangannya gemetar hebat saat dia menyapu semua botol ramuan, salep, dan benih tanaman ke dalam tas kulit usangnya. Dia tidak tahu apakah ramuan desa sederhana ini akan berguna bagi Raja yang dikutuk sihir kuno, tapi ini satu-satunya senjata yang dia miliki.
Saat dia keluar, dia melihat Mila meronta di pelukan tetangga.
Elara berlutut di depan adiknya, menangkup wajah kecil yang basah oleh air mata itu.
"Dengar, Mila," bisik Elara tegas, menahan air matanya sendiri agar tidak jatuh. "Kau harus kuat. Lanjutkan merawat kebun. Ingat resep untuk demam? Akar sunroot dan madu."
"Aku tidak mau resep!" isak Mila. "Aku mau Kakak!"
"Aku akan kembali," janji Elara, sebuah kebohongan yang terasa pahit di lidahnya. "Aku akan menyembuhkan Raja, lalu dia akan membiarkanku pulang dengan membawa banyak emas. Kita akan kaya."
Mila menggeleng, dia tahu kakaknya berbohong.
"Waktunya habis," geram prajurit pengawal.
Elara dipaksa berdiri dan diseret menuju kereta hitam. Dia tidak menoleh lagi. Dia tidak sanggup melihat wajah adiknya untuk terakhir kali.
Pintu kereta terbuka dengan derit engsel yang berat. Bagian dalamnya dilapisi beludru merah tua yang tampak seperti darah kering. Elara didorong masuk, dan pintu dihempaskan menutup, mengunci sinar matahari di luar.
Di dalam kegelapan kereta yang berguncang, saat roda-roda mulai berputar meninggalkan satu-satunya rumah yang pernah dia kenal, Elara akhirnya membiarkan satu tetes air mata jatuh.
Dia bukan seorang putri bangsawan. Dia bukan penyihir agung. Dia hanya gadis pembuat obat dari desa terpencil. Dan dia sedang menuju sarang monster untuk menjadi istri, penyembuh, atau mungkin makan malamnya.
Kereta melaju kencang menembus kabut, menuju puncak gunung berbatu tajam di cakrawala. Menuju Shadowfall.
Takdirnya telah dimulai.
BERSAMBUNG...
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️