NovelToon NovelToon
Sang Muhallil Yang Tidak Mau Pergi

Sang Muhallil Yang Tidak Mau Pergi

Status: sedang berlangsung
Genre:Penyesalan Suami / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Uwais menjatuhkan talak tiga kepada istrinya, Stela, setelah memergokinya pergi bersama sahabat karib Stela, Ravi, tanpa mau mendengarkan penjelasan. Setelah perpisahan itu, Uwais menyesal dan ingin kembali kepada Stela.
Stela memberitahu Uwais bahwa agar mereka bisa menikah kembali, Stela harus menikah dulu dengan pria lain.
Uwais lantas meminta sahabat karibnya, Mehmet, untuk menikahi Stela dan menjadi Muhallil.
Uwais yakin Stela akan segera kembali karena Mehmet dikenal tidak menyukai wanita, meskipun Mehmet mempunyai kekasih bernama Tasya.
Apakah Stela akan kembali ke pelukan Uwais atau memilih mempertahankan pernikahannya dengan Mehmet?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22

Di balik pintu kayu mahoni yang tersamar sempurna di dinding, tersembunyi sebuah ruangan pribadi yang mewah dan kedap suara.

Mehmet menurunkan Stela di atas sofa panjang berlapis beludru.

"Bakso yang kamu mau ada di sini, Sayang," bisik Mehmet dengan nada menggoda, matanya berkobar penuh hasrat, melupakan sejenak ketegangan yang baru saja terjadi di lobi.

Stela tersenyum nakal, amarahnya benar-benar sirna, digantikan oleh kehangatan yang hanya bisa diberikan oleh suaminya.

Ia membiarkan Mehmet mulai melepaskan pakaian kantornya yang elegan, menggoda dengan setiap sentuhan.

"Sepertinya kamu harus menebus kesalahanku yang tadi," ujar Stela, suaranya tercekat manja.

"Aku masih basah, Met. Dingin."

"Aku akan menghangatkanmu, Sayang," jawab Mehmet, suaranya serak.

"Sangat hangat."

Waktu seolah berhenti di ruangan rahasia itu. Tawa tertahan, desahan, dan bisikan cinta menjadi satu-satunya suara di balik pintu.

Semua ketidaknyamanan, rasa malu, dan amarah di lobi tadi terhapus dalam keintiman yang membara.

Satu jam kemudian, Stela menyandarkan kepala di dada Mehmet, napasnya masih terengah.

Mehmet memeluknya erat, menciumi puncak kepala istrinya. Rambut Stela kini kering, dan raut wajahnya kembali cerah.

"Jadi, kita sudah makan 'bakso'-nya, Nyonya Mehmet?" goda Mehmet, mengusap punggung Stela.

Stela mencubit perut Mehmet gemas. "Belum. Yang tadi itu appetizer. Sekarang aku benar-benar lapar bakso sungguhan. Dan kamu harus membayarnya dengan harga yang mahal. Aku sudah basah kuyup di depan umum karena ulah karyawanmu."

"Apapun untukmu, Sayang. Ayo kita pesan. Tapi sebelum itu, ada satu hal lagi."

Ia bangkit, mengambil telepon di meja, dan menekan nomor sekretarisnya.

"Halo, Diaz. Batalkan semua jadwalku hari ini. Dan tolong panggil kepala Keamanan dan kepala HRD ke ruanganku segera. Mereka sudah ada di lobi? Bagus. Suruh mereka naik, tapi jangan biarkan ada yang tahu kamu memanggil mereka. Suruh mereka gunakan lift pribadi."

Stela mengernyitkan keningnya saat mendengar perkataan dari suaminya.

"Mau apa kamu, Met? Jangan bilang kamu mau memecat semua orang."

Mehmet kembali duduk di samping Stela, merangkul bahunya.

"Tidak, Sayang. Hanya dua orang penting yang perlu aku beri 'pelajaran' tentang tata krama dan tanggung jawab. Aku harus memastikan kejadian ini tidak terulang, dan kamu mendapatkan permintaan maaf secara resmi."

Tak lama kemudian, pintu ruangan diketuk. Diaz sekretaris Mehmet, masuk dengan wajah tegang, diikuti oleh dua pria paruh baya. Bapak Wijaya, kepala HRD, dan Bapak Toni, kepala Keamanan.

"Duduk," perintah Mehmet dengan nada dingin dan formal, jauh berbeda dengan saat berbicara pada Stela.

Stela duduk tegak di sofa, bahunya masih dirangkul Mehmet, posisi yang jelas menunjukkan dominasinya.

"Bapak Wijaya, Bapak Toni," Mehmet memulai, matanya menatap tajam kedua pria itu.

"Kalian berdua tahu apa yang baru saja terjadi di lobi? Istri saya, Nyonya Stela Mehmet, dilecehkan, dihina, dan disiram air oleh dua karyawan yang seharusnya menjaga citra perusahaan ini, Lita dan Arum."

Kedua kepala departemen itu saling pandang, wajah mereka pucat.

"Kami sudah mendengar sedikit laporannya, Tuan. Kami sangat menyesal," ujar Bapak Wijaya, kepala HRD, buru-buru.

"Menyesal tidak cukup," potong Mehmet tajam.

"Bapak Toni, ini adalah kegagalan keamanan di area paling vital kantor. Bagaimana bisa resepsionis yang seharusnya menjaga keamanan lobi justru melakukan serangan fisik terhadap tamu, apalagi Nyonya perusahaan? Dan mengapa tidak ada staf keamanan yang bergerak cepat saat keributan terjadi? Saya akan potong 50% gaji Anda bulan ini sebagai sanksi atas kelalaian prosedur."

Bapak Toni menelan salivanya dengan wajahnya yang memerah.

"Siap, Tuan. Saya terima sanksinya. Kami akan memperketat pengawasan dan menindak tegas siapapun yang bertindak di luar batas."

Mehmet beralih ke kepala HRD. "Bapak Wijaya. Lita dipekerjakan oleh departemen Anda. Sikapnya sudah melanggar kode etik perusahaan. Dan yang lebih serius, Arum, seorang manajer, berani menyebarkan gosip tentang saya dan menganggap dirinya adalah 'wanita' selain istri saya, lalu mempengaruhi karyawan lain. Saya ingin semua karyawan yang tertawa, yang ikut menonton, dan yang tahu tentang gosip ini tanpa melaporkannya, diberikan surat peringatan keras. Khusus untuk Arum, saya tidak ingin dia hanya dipecat, tapi dia harus dimasukkan ke dalam daftar hitam agar dia tidak bisa bekerja di perusahaan rekanan kita. Saya ingin ada sanksi yang jelas atas tindakan menyebar fitnah di lingkungan profesional."

Bapak Wijaya mencatat cepat di buku kecilnya, tangannya sedikit gemetar.

"Baik, Tuan. Kami akan melaksanakan perintah Tuan Mehmet segera. Surat peringatan akan dikeluarkan hari ini juga, dan kami akan memproses blacklist untuk Arum sesuai prosedur."

"Bagus," ucap Mehmet.

Ia kemudian sedikit melonggarkan rangkulannya pada Stela.

"Dan satu hal lagi. Mulai besok, saya ingin ada pengumuman resmi di papan pengumuman, di email internal, dan di setiap rapat departemen. Perusahaan ini memiliki satu Nyonya Mehmet, dan itu adalah istri saya, yang duduk di samping saya sekarang. Siapa pun yang berani meragukan atau melecehkan beliau akan langsung berhadapan dengan saya dan akan menerima sanksi terberat. Jelas?"

"Jelas, Tuan!" jawab kedua pria itu serempak.

"Sekarang kalian boleh pergi. Urus semua ini. Saya tidak ingin mendengar drama seperti ini lagi di kantor saya," tutup Mehmet.

Setelah kedua pria itu pergi, Stela meninju pelan lengan suaminya.

"Dasar diktator," ucapnya, tapi senyum puas tersungging di bibirnya.

"Tapi aku suka caramu menanganinya. Terima kasih, Sayang."

"Tentu, Nyonya Mehmet," Mehmet mengecup kening Stela.

"Sekarang, karena semua urusan sudah beres dan kamu sudah mendapatkan keadilan, waktunya kita pesan bakso mercon untukmu."

Mereka berdua tertawa, suasana kembali hangat, melupakan seluruh kekacauan di lobi.

Sementara itu Uwais menurunkan koper-koper mereka di lobi hotel mewah di Nusa Dua, Bali.

Hotel yang sama persis yang dicari oleh mata-mata Tasya.

Suasana lobi yang megah dan dipenuhi aroma bunga kamboja yang menenangkan terasa kontras dengan ketegangan di antara mereka berdua.

"Tunggu di sini, aku akan tanyakan pada resepsionis," ujar Uwais, nadanya terdengar datar.

Tasya, mengenakan topi pantai lebar dan kacamata hitam, berdiri mematung di samping tumpukan bagasi.

Jantungnya berdebar kencang, antara rasa lelah karena penerbangan dan antisipasi bertemu Mehmet.

Ia membayangkan adegan dramatis saat ia muncul, mengklaim Mehmet, dan mempermalukan Stela di tempat liburan mereka.

Uwais kembali menghampirinya, raut wajahnya yang biasanya tenang kini terlihat masam.

"Bagaimana, Wais?" tanya Tasya tidak sabar.

Uwais menghela napas panjang, menatap Tasya dengan tatapan penuh penyesalan atau mungkin rasa kasihan.

"Kita terlambat, Sya. Sangat terlambat."

Tasya membeku.

"Terlambat? Maksudmu?"

"Resepsionis bilang, mereka berdua sudah check-out kemarin sore. Mereka sudah pulang ke Jakarta." ucap Uwais

Dunia Tasya seolah runtuh. Perjalanan jauh, jet pribadi yang mahal, rencana matang, dan harapan besar yang ia bawa, semuanya sia-sia.

Mereka hanya menemukan udara kosong.

"Pulang? Mereka sudah pulang?!" Suara Tasya meninggi, membuat beberapa tamu lain menoleh.

Ia segera menurunkan kacamatanya, matanya memancarkan api kemarahan.

"Ya, Sya. Mereka sudah kembali. Kita sudah buang waktu dan uang untuk terbang ke sini dan berakhir di hotel kosong," jawab Uwais, kali ini nadanya terdengar sedikit kesal.

Tasya tidak mendengarkan Uwais lagi. Pikirannya dipenuhi satu nama: Mehmet.

Ia membayangkan Mehmet dan Stela sedang berada di pesawat yang sama, tertawa, mungkin berpegangan tangan, menikmati perjalanan pulang setelah liburan romantis mereka.

"Tidak! Tidak mungkin! Mehmet tidak mungkin meninggalkanku begitu saja!" teriak Tasya, suaranya dipenuhi histeria.

"Dia liburan bersama Stela hanya karena terpaksa! Dia seharusnya menungguku! Dia milikku!"

Uwais segera menarik Tasya ke sudut lobi, jauh dari pandangan orang.

"Kita cari cara lain untuk memisahkan mereka berdua." ucap Uwais.

Tasya menganggukkan kepalanya dan mereka langsung menuju ke Bandara Ngurah Rai.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!