Bangkitnya Permaisuri Yang Terlupakan

Berjalan bersama menuju kios bunga. Wen Lang membayar seikat bunga teratai putih dan menyerahkannya pada Mei Lian.

“Untuk mengganti penghinaan tadi,” katanya ringan.

Mei Lian menatap bunga itu, lalu tertawa kecil. “Lucu. Aku tak tahu kenapa Tuan memilih bunga teratai. Ibuku selalu berkata, ‘perempuan yang kuat harus seperti teratai tetap bersih meski hidup di lumpur.’”

Wen Lang tertegun.

Kata-kata itu menggema di benaknya, seolah ia mendengar suaranya sendiri dari masa lalu.

Hari itu, entah bagaimana, langkahnya tak berhenti di pasar.

----

Wen Lang menemani Mei Lian membeli bahan makanan, menawar di kios sayur, bahkan membantu membawakan keranjang belanja. Ia tak pernah tertawa sebanyak itu selama bertahun-tahun.

“Wajahmu aneh sekali, Tuan Wen,” kata Mei Lian di tengah jalan.

“Aneh bagaimana?” tanya Wen Lang atau Han Sunyi

“Seperti orang yang baru belajar tersenyum,” balasnya jujur.

Wen Lang terkekeh. “Mungkin karena sudah lama aku tidak punya alasan untuk melakukannya.”

Sore pun tiba. Langit berwarna jingga, dan kabut sore mulai turun.

Saat mereka berpisah di ujung jalan, Mei Lian menunduk sedikit.

“Kalau kau sempat, datanglah ke rumah kami. Ayahku senang berbincang dengan orang bijak.”

Wen Lang hampir tertawa. “Bijak? Aku cuma pedagang biasa.”

“Tapi kata-katamu membuat orang berhenti bertengkar,” jawabnya pelan. “Itu lebih berharga dari kebijaksanaan.”

Han Sunyi terdiam.

Perempuan itu… berbeda.

Ia menatap punggung Mei Lian yang menjauh, dan untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, sesuatu di dadanya bergerak rasa hangat yang tak bernama, mungkin kagum, mungkin iba, mungkin keduanya.

----

Malam itu, di ruang rahasianya, Han Sunyi melepas penyamaran perlahan.

Rambut panjangnya terurai, wajahnya kembali lembut dan tegas.

Bai Ren mengetuk pintu. “Madam, kau pergi ke mana seharian? Yuyu hampir panik!”

“Aku hanya berjalan-jalan,” jawab Sunyi tenang.

“Berjalan-jalan?” Bai Ren memiringkan kepala. “Dengan pakaian penyamaranmu?”

Han Sunyi hanya tersenyum samar.

“Kadang, Bai Ren, dunia luar lebih jujur daripada tembok ini.” ujar Han Sunyi

Bai Ren hendak menjawab, tapi tatapan Sunyi membuatnya berhenti. Ada sesuatu yang berbeda malam itu bukan bahaya, bukan kegelisahan, melainkan… kehidupan. Seolah api kecil yang lama padam kini menyala kembali.

Beberapa hari kemudian, Wen Lang kembali ke pasar.

Kali ini bukan untuk mencari informasi, melainkan mencari Mei Lian.

Namun ia tak tahu bahwa langkah kecilnya itu akan membuka kembali pintu masa lalunya karena di antara kerumunan, seorang pengawal istana diam-diam memperhatikannya.

“Pemuda itu…” bisiknya pelan, menatap wajah Wen Lang dari kejauhan. “Kenapa tampak begitu familiar?”

Ia pun bergegas pergi, membawa berita itu menuju istana utara menuju Li Feng.

Di balkon tinggi yang menghadap ke hamparan salju, Kaisar Li Feng menerima laporan itu.

Ia berdiri membelakangi pengawal, suaranya datar namun tajam.

“Seorang pemuda tampan bernama Wen Lang… di kota Qingbei?”

“Iya, Yang Mulia. Tapi ada sesuatu pada sorot matanya. Mirip dengan seseorang yang anda cari

Li Feng terdiam lama, lalu tertawa kecil.“Mata seperti itu tak banyak di dunia ini.”

Ia menatap jauh ke arah selatan, di mana langit berwarna tembaga menjelang senja.

“Kalau benar itu dia…” katanya lirih, “maka aku harus bertemu dengan nya nona Han, entah kenapa aku merindukan mu.”

Di Kota Qingbei, lampu-lampu restoran Cahaya Langit kembali menyala malam itu.

Para pelanggan tertawa, musik lembut terdengar, dan Han Sunyi duduk di balik tirai bambu lantai tiga menatap secawan teh yang beruap hangat.

“Li Feng....” bisiknya pelan.

“Apakah aku mulai menyadari itu aku, sesuatu yang lebih dari sekadar kedamaian?”

Di luar, angin malam bertiup membawa aroma bunga teratai pertanda bahwa ketenangan yang panjang itu akan segera retak.

Bersambung…