Nuansa dan Angger adalah musuh bebuyutan sejak SMA. Permusuhan mereka tersohor sampai pelosok sekolah, tiada yang luput untuk tahu bahwa mereka adalah dua kutub serupa yang saling menolak kehadiran satu sama lain.
Beranjak dewasa, keduanya berpisah. Menjalani kehidupan masing-masing tanpa tahu kabar satu sama lain. Tanpa tahu apakah musuh bebuyutan yang hadir di setiap detak napas, masih hidup atau sudah jadi abu.
Suatu ketika, semesta ingin bercanda. Ia rencakanan pertemuan kembali dua rival sama kuat dalam sebuah garis takdir semrawut penuh lika-liku. Di malam saat mereka mati-matian berlaku layaknya dua orang asing, Nuansa dan Angger malah berakhir dalam satu skenario yang setan pun rasanya tak sudi menyusun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Goes to Rumah Kasih
Rencana sudah matang, saatnya melaksanakan. Pagi-pagi sekali, saat matahari belum muncul sama sekali, K sudah berangkat ke tempat Pak Lukman. Pendalaman perannya tidak usah dipertanyakan lagi. Dari kemarin, dia datang ke tempat pria tua itu naik kendaraan umum, hari ini pun sama. Pakaiannya yang kemarin masih sedikit rapi karena ceritanya sedang berperan menjadi pencari kerja, maka hari ini setelan yang dipakainya jauh lebih sederhana. Hanya kaus pas badan warna biru tua, celana bahan warna hitam, dan jaket warna senada. Dia memakai topi juga. Saat ini dipakai normal, tidak tahu kalau nanti, mungkin akan disulapnya menjadi snap back sesuai situasi dan kondisi.
Setibanya di tempat Pak Lukman, bos barunya itu masih sedang mengisi keranjang demi keranjang dengan sayuran yang disortirnya semalaman. Sebagai pegawai baru yang ingin dapat penilaian baik dari bosnya, K langsung sigap membantu. Pekerjaan Pak Lukman dia ambil alih, sang bos hanya tinggal mengarahkan saja. Kurang lebih setengah jam kemudian, pemenuhan keranjang telah selesai. K juga sudah menaikkan keranjang-keranjang itu ke dalam mobil box, mengurutkannya sesuai arahan Pak Lukman.
“Ini rutenya.” Pak Lukman menyerahkan daftar alamat, ditulis rapi di atas kertas beserta dengan nomor telepon yang bisa dihubungi.
K mencermati daftar itu satu persatu, hingga senyumnya terbit begitu tipis saat melihat Rumah Kasih ada di dalam daftar tersebut. Alamat panti jompo itu terletak di urutan paling bawah, menjadi destinasi terakhir.
“Saya sudah hubungi orang-orang yang biasa terima kiriman, nanti Mas Dimas tinggal drop aja, mereka sudah tahu.”
“Siap, Pak!” seru K penuh semangat.
Pak Lukman hanya menggeleng kecil dan menepuk bahu K pelan. “Hati-hati nyetirnya. Nggak usah buru-buru, yang penting tiba dengan selamat.”
K mengangguk mengerti. Habis pamitan, dia melompat naik ke balik kemudi. Topi di kepalanya tandas, diletakkan di kursi penumpang. Mesin dinyalakan. K menggenggam erat kemudi, memasukkan gigi, lalu menekan pedal gas. Woosh! Mobil box itu pun melaju membelah jalanan minggu pagi yang masih minim polusi.
Suasana hatinya bagus sekali. Dia mengemudi sambil bersiul, kadang bersenandung, kadang juga melemparkan lelucon garing yang hanya bisa ditertawakan sendiri. Itu termasuk salah satu strategi pendalaman karakter. Sudah dia atur Dimas Badai adalah sosok pemuda ceria, gigih, penuh semangat, dan selalu memandang hidup dengan kacamata optimis. K akan merasukkan karakter itu ke dalam dirinya, tinggal pilah lagi nanti kalau perlu digunakan dalam penyamarannya yang lain.
Lima menit berkendara, K melambatkan laju. Tidak ada angin tidak ada hujan, tahu-tahu dia tertawa. Yang ini bukan pendalaman karakter. Dia tertawa karena baru ingat belum mengirimkan lokasi terkini ke grup chat para agen.
“Terlalu mendalami peran, sampai lupa.” Dia terkekeh, lalu segera mengambil ponsel dan melakukan apa yang seharusnya dia lakukan, sebelum lupa lagi.
Sudah beres, dia kembali fokus menyetir.
...✨✨✨✨✨...
Tempat pertama yang harus K tuju adalah sebuah rumah makan. Baru mobil boxnya berhenti, dua orang laki-laki muda sudah menyambut. K turun dam bergegas membukakan pintu box, kemudian hendak naik. Namun, salah satu dari dua laki-laki muda tadi menahannya.
K menatapnya heran, “Kenapa, Mas?” tanyanya.
“Saya aja yang naik, biasanya kalau sama Bapak juga begitu.”
Mulut K membulat, dia manggut-manggut dan mundur selangkah, membiarkan dua laki-laki muda tadi bekerja. Satu naik ke box, satu lagi menunggu di bawah menerima lima keranjang sayur sambil memeriksa isinya satu persatu. K mengamati apa yang mereka kerjakan. Diam-diam menilai kesungguhan dari setiap gerakan yang dibuat. Mungkin karena sudah terbiasa mengamati sesuatu, dia melakukannya tanpa sadar.
“Udah selesai semua, Mas. Aman, semua lengkap.” Laki-laki muda yang tadi naik ke box, melompat turun tanpa kesulitan yang berarti. K hanya mengangguk. Mereka bilang semua sudah selesai. Soal pembayaran, itu urusan antar bos, mereka hanya perlu mengerjakan yang berurusan dengan fisik. Karena itu, K langsung saja pamit untuk lanjut ke tempat selanjutnya.
Alamat demi alamat K datangi. Kurang lebih prosedurnya sama. K tinggal turun, buka box, dan sayuran dalam keranjang diurus sendiri oleh sang penerima. Kini, selesai di tempat keempat, matahari sudah mulai terik di atas kepala. K mengipas wajahnya yang bekeringat. Matanya menyipit dengan kepala sedikit mendongak. Pada matahari di atas sana, dia seakan ingin berkata untuk jangan terlalu galak.
“Masnya.”
K terlonjak. Sedang kepanasan dan kurang konsentrasi, pundaknya tahu-tahu ditepuk cukup keras. Dia berbalik sambil memegangi dada, di dalam sana jantungnya berdetak tidak beraturan.
“Aduh, Mbak bikin kaget aja,” rengeknya, pada perempuan muda berpenampilan sederhana yang tadi menepuk pundaknya.
Perempuan muda itu tampak merasa bersalah, dia meminta maaf sambil mengulurkan air mineral dalam kemasan. Embun dingin memenuhi seluruh permukaan botol. Nampaknya, air mineral itu baru dikeluarkan dari mesin pendingin.
“Oh, makasih, Mbak.” K menerima botol air mineral tersebut, sekadar menggenggam, tidak langsung rakus menenggak isinya.
“Sama-sama, Mas,” balas si perempuan muda itu. “Mas kalau mau ngadem dulu, duduk aja di sana. Nanti kalau udah nggak kepanasan, baru lanjut jalan.” imbuhnya seraya menunjuk ke arah bangku panjang di bawah naungan pohon asem yang rindang. Ranting yang bergoyang tertiup angin, tampak seperti sepasang tangan yang melambai penuh rayu, memikat K untuk datang dan beristirahat di sana.
Sesaat, dia sempat tergoda, tapi segera sadar bahwa tugasnya hari ini belum selesai. Ini bahkan yang terpenting, tujuan utamanya mengambil pekerjaan ini; menyelidiki Rumah Kasih dan kaitannya dengan Han Jean.
“Makasih, Mbak. Saya langsung jalan aja, tinggal satu tempat lagi kok. Nanti aja istirahatnya,” tolaknya dengan sopan.
Perempuan muda tadi juga tidak memaksa. Ia pamit kembali bekerja, dan mempersilakan K naik ke mobilnya. K diam sebentar memperhatikan sampai perempuan muda tadi masuk ke dalam bangunan asrama, barulah dia naik ke mobil. Dia diam sebentar, mengademkan tubuh dan pikiran. Air mineral yang diberikan perempuan muda tadi juga dia buka dan diminum sedikit.
“Oke, ayo kita jalan lagi,” katanya kemudian, menanamkan semangat ke dalam diri. Dia nyalakan mesin dan buru-buru melajukan mobilnya lagi.
...✨✨✨✨✨...
Dari jarak dua puluh meter, K sudah bisa melihat dengan jelas papan nama yang terpasang kokoh di bagian depan bangunan. Sejalan dengan tatapannya yang fokus ke sana, laju mobilnya pun ikutan memelan. Entah kenapa, dia mulai merasa gusar. Berbeda dengan semangatnya yang menggebu dalam perjalanan ke sini, banyaknya spekulasi tentang rahasia apa yang Han Jean sembunyikan di sini tanpa sadar telah menimbulkan kabut kebingungan di benaknya.
Dia merasa tidak bisa melakukan kesalahan sesepele apa pun. Seakan ini adalah ujian akhir dalam hidupnya, yang akan menentukan apakah dirinya layak masuk surga atau justru akan terlempar jauh ke kerak neraka.
Seiring kegelisahannya itu, telapak tangan K mulai mengeluarkan keringat. Kemudi dalam genggamannya menjadi basah dan licin, membuatnya nyaris terselip saat hendak membelokkannya ke kiri. Pandangannya masih terus waspada ketika mobil box yang dia kendarai memasuki halaman panti jompo itu. Tidak seperti empat tempat sebelumnya, kali ini kedatangannya tidak disambut siapa pun.
K menghentikan mobilnya beberapa meter di depan pintu masuk. Dia turun perlahan, pandangan mengitar menilai suasana sekitar. Dari dalam saku celana, dikeluarkannya kertas berisi daftar alamat dan juga ponselnya. Deretan angka yang tertera di bawah alamat Rumah Kasih, diketikkannya ke ponsel.
Jemarinya hendak menekan tombol panggil, saat dari belakang, sebuah suara mengudara. Suara itu terdengar asing namun familier di saat yang bersamaan. K menolehkan kepalanya perlahan, dan berakhir terpaku di tempat. Tenggorokannya mendadak terasa perih, bagai habis disayat-sayat. Melihat siapa yang berdiri di depannya sekarang, K sepertinya mulai mengerti alasan mengapa dirinya terus merasa gelisah sejak tiba.
Bersambung…