Diambil dari cerita weton Jawa yang populer, dimana seseorang yang lahir di hari tersebut memiliki keistimewaan di luar nalar.
Penampilannya, sikapnya, serta daya tarik yang tidak dimiliki oleh weton-weton yang lain. Keberuntungan tidak selalu menghampirinya. Ujiannya tak main-main, orang tua dan cinta adalah sosok yang menguras hati dan airmata nya.
Tak cukup sampai di situ, banyaknya tekanan membuat hidupnya terasa mengambang, raganya di dunia, namun sebagian jiwanya seperti mengambang, berkelana entahlah kemana.
Makhluk ghaib tak jauh-jauh darinya, ada yang menyukai, ada juga yang membenci.
Semua itu tidak akan berhenti kecuali Wage sudah dewasa lahir batin, matang dalam segala hal. Dia akan menjadi sosok yang kuat, bahkan makhluk halus pun enggan melawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Surat cinta Mas Arif
Assalamualaikum,
Salam rindu selalu untukmu Dik Wulan yang paling cantik di hatiku.
Enam tahun sudah aku berada di tempat yang asing ini demi menuntut ilmu, entah mengapa tak sekalipun Dik Wulan membalas surat-suratku. Apakah dik Wulan sudah lupa, ataukah Dik Wulan sudah ada yang lainnya?
Astaghfirullah.
Berkali-kali aku meyakinkan hati ini bahwa wanita yang aku pikirkan tidak mungkin melupakan aku yang tampan ini. ( senyum dulu dong )
Mungkin kau terlalu sibuk, atau kah malu memberi kabar untuk ku?
Yang pasti, setelah aku kembali aku akan segera menemuimu.
Maafkanlah Aku yang tidak sempat menepati janji, tapi yakinkan bahwa hatiku tidak pernah berpaling walaupun sedetik saja.
Setiap hari, setiap waktu. Salah satu nama yang ku Langitkan adalah kamu. Semoga Allah mengabulkan, bahwa suatu saat nanti kita bisa bersama dalam suka maupun duka.
^^^Orang yang selalu merindukanmu.^^^
^^^Arif Prasetyo^^^
Wulan membuka lagi amplop berwarna putih di tangannya, di sana ada selembar foto anyar yang tentunya membuat hati Wulan semakin berdebar, tampaklah gambar seorang pria setengah badan yang tampan.
"Mas Arif...." gumamnya pelan, tangannya sampai bergetar memandangi sosok yang sedang tersenyum tipis itu.
Dia begitu tampan, matanya teduh, senyumnya manis. Jika dulu wajahnya bulat dan berambut belah dua, kini wajahnya tirus hingga menampakkan hidungnya yang bangir. Rambutnya? Pendek dan tertutup rapi oleh kopiah berwarna putih. Keningnya halus bercahaya, ciri khas seorang ustadz muda.
Di peluknya erat surat dan foto Arif di dalam dada, bulir bening pun jatuh tak terasa. Menikmati kerinduan yang begitu dalam kini dapat tersalurkan meskipun hanya dari untaian kata dan selembar gambar saja.
"Aku juga sangat merindukanmu Mas Arif."
Bantal lapuk menjadi saksi betapa dalamnya perasaan cinta yang terpendam di rentang jarak dan waktu. Dalam diam Wulan menaruh harapan, sudah tak sabar menanti waktu itu tiba, ketika Arif pulang dan menyatukan perasaan mereka.
Suara jangkrik mulai berisik melantunkan nyanyian malam, Wulan terlelap dalam kerinduan serta khayalan indah yang tercipta begitu saja, menjelajah dunia gemerlap alam mimpi, lalu berkelana entah kemana.
"Kurang ajar kamu Wulan!"
Wulan tersentak membuka matanya lebar-lebar, alangkah terkejutnya ia melihat sosok bude Yuni yang besar dan kuat itu kini duduk diatas perut dan mencekik dirinya.
"Akhh. Bude!"
"Mampus koe bocah sialan! Matii!!!"
Bude terus mencekik Wulan sekuat tenaga, tentu Wulan yang tidak siap itu kewalahan, bahkan kini merasa tenggorokannya mau pecah. Perutnya sesak di himpit badan besar, sekitar 70 kilo milik bude.
"Akhh! Bude, le-pas!" Wulan mendorong tangan bude, berusaha melepaskan cengkeraman di lehernya.
"Anak kurang ajar! Kamu sudah berani melawan ku! Kamu akan mati! Hihihihi!"
"Tol-ong! Uhugkk Agh!"
Wulan semakin terdesak, lehernya terasa akan patah karena cekikan tangan bude. Nafasnya terasa tinggal sedikit, matanya mulai berat, ia melihat sekeliling berharap ada siapapun yang menolong. Tapi sia-sia karena tak ada siapa-siapa di sana.
"Ib-uk!" panggil Wulan, tangannya pun berusaha melonggarkan cekikan bude.
"Tidak akan ada yang menolong mu! Hihihihi.... Mati! Mati!"
Sosok bude itu semakin mengencangkan cekikan nya sambil tertawa seram.
"Apakah aku akan benar-benar mati?" gumam hati Wulan di dalam hati.
Dan di detik terakhir Wulan hampir menyerah, tangan Wulan tak sengaja menemukan sesuatu di bawah kasurnya. Sebuah gunting kecil terselip di sana.
Sekuat tenaga ia menggenggam gunting kecil tersebut, lalu diam-diam membidik mata bude.
Crassh!
"Aaarrgghhh!" sosok bude itu kesakitan memegangi sebelah matanya, kemudian terpental jauh entah kemana.
Sedangkan Wulan langsung terjaga dari tidurnya.
"Astaghfirullah, mimpi apa itu?" Wulan menelan ludahnya yang terasa serat. Ia pun meraba lehernya yang baru saja di cekik, jelas sekali itu tidak seperti mimpi.
Rasanya sakit, nyeri, bahkan nafasnya hampir habis.
"Apakah karena tanah kuburan yang ku kembalikan ke rumah bude?" gumam Wulan masih memegangi lehernya.
*
*
*
"Eh, Wulan! Buka pintunya! Ini sudah siang!"
Dor..dor...dorr...
Suara sang ibu memanggil dan menggedor dari luar, mungkin Ratih sudah akan berangkat ke perkebunan, makanya ingin Wulan segera bangun.
"Iya!"
Wulan segera bangun, menyeret kakinya yang terasa lemas, tubuhnya pegal-pegal seperti habis di gebuk orang sekampung.
"Tumben pintunya di kunci?" tanya Ratih khawatir, biasanya Wulan tidak pernah mengunci pintu lantaran sering mimpi buruk.
"Nggak apa-apa buk." jawab Wulan, menggosok matanya, sambil membuka daun pintu lebar-lebar.
"Kamu kenapa? Sakit?" tanya Ratih mengamati Wulan yang terlihat lemas.
"Enggak Buk, lemas aja. Mungkin masuk angin." jawab Wulan, menggosok tengkuknya yang terasa pegal.
"Masuk angin gimana? Ini apa?" Ratih menyingkap rambut panjang Wulan yang menutupi lehernya, matanya terbelalak lebar ketika melihat leher Wulan membiru seperti Bekas cekikan.
"Apa?" Wulan pun meraba lehernya sendiri.
"Ini kenapa? Kamu berantem sama siapa?" Tanya Ratih lagi, menarik lengan Wulan agar mengaku.
"Berantem apa Buk, Wulan tidur di kamar semalaman." jawab Wulan.
"Tapi ini bekas di cekik orang? Gak mungkin kalau gak berantem?" tanya Ratih lagi.
Wulan pun penasaran, ia segera pergi ke depan cermin, memastikan apa yang di lihat ibunya.
Dan alangkah terkejutnya Wulan melihat bekas cekikan melingkar di lehernya.
"Apa iya, cekikan bude itu nyata?" gumam Wulan di dalam hati.
"Ngaku! Siapa yang sudah mencekik kamu?" tanya Ratih.
"Nggak ada buk, benar-benar nggak ada." jawab Wulan. Tiba-tiba ia merasa pusing dan penglihatannya berkunang-kunang hingga tangannya meraba-raba.
"Eh, ini kenapa lagi?" pekik Ratih, langsung menyambar tubuh Wulan yang tampak tidak seimbang.
"Wulan pusing Buk."
Ratih pun membimbingnya masuk lagi ke dalam kamar setelah meraba kening anaknya yang ternyata panas tinggi.
"Ada-ada aja."
"Kenapa Dek?" tanya Rudy, muncul diambang pintu kamar Wulan.
"Wulan demam Mas." jawab Ratih, sambil menyelimuti Wulan.
"Ya sudah, kamu belikan obat di warung biar panasnya turun." titah Rudy.
Ratih pun mengangguk, ia pergi ke warung sambil terus memikirkan Wulan yang terlihat aneh pagi ini. Di dalam pikirannya terus bertanya-tanya siapakah musuh anaknya sehingga bertengkar sampai lehernya memar. Tapi sejak kemarin Wulan memang tidak kemana-mana selain ke rumah Yuni, kakak tertuanya.
Apakah dia berkelahi dengan Sarinah?
Atau dengan Yuni?
Ratih menggeleng, tidak mungkin rasanya.
"Bulek?"
"Hah!" Ratih tersadar dari lamunannya, mendengar seseorang memanggil dirinya.
"Bulek mau kemana?" tanya Sarinah.
"Eh, Sarinah ternyata. Ini bulek mau beli obat penurun panas buat Wulan, tiba-tiba demam." jawab Ratih.
"Demam? Perasaan kemarin sehat-sehat saja Bulek?" tanya Sarinah.
"Heem, masuk angin sepertinya." jawab Ratih asal, mereka berjalan menuju warung paling ujung, karena di sanalah yang paling lengkap. "Kalau kamu mau beli apa Sar?" tanya Ratih kepada keponakannya itu.
"Aku juga mau beli obat bude, ibuk juga lagi Ndak enak badan. Mana matanya sakit, merah dan perih. Kayaknya kelilipan semalam pas lagi tidur." jawab Sarinah.
"Lho, mbak Yuni juga sakit to?"
Sarinah mengangguk.
Ratih pun jadi memikirkan sesuatu, apakah ada hubungannya dengan Wulan?
Ia pun segera pulang, tak sabar ingin menanyakan tentang demam yang bersamaan ini.
Setibanya di rumah, ia langsung memberikan obat penurun panas itu kepada Wulan.
"Makasih Buk." ucap Wulan, langsung meminum sebutir pil tersebut.
"Oh iya, tadi ibuk ketemu Sarinah, katanya bude juga lagi sakit." kata Ratih.
"Sakit apa Buk? Perasaan kemarin sehat-sehat aja?" tanya Wulan mengerutkan keningnya.
"Demam, terus matanya sakit. Kata Sarinah kelilipan semalam, sekarang lagi perih-perihnya." jawab Ratih.
"Masak sih buk?" tanya Wulan, tidak percaya.
"Iya! Wong tadi itu suaranya kenceng banget nyuruh Sarinah cepat pulang. Matanya perih Ndak ketulungan katanya."
Lumayan mengejutkan, bukankah semalam Wulan yang menusuk matanya di dalam mimpi? Ternyata pertarungan itu nyata, efeknya pun terasa Hingga ke dunia nyata.
Mengalahkan bude memang tidak mudah. Paling tidak sama-sama sakit, sama-sama sulit, itu sudah jauh lebih baik.
harus mengalah
g beda jauh watak nya jelek
ibu dan anak perangai nya buruk
kog Sarinah ngaku2
calon istrii arif
semoga bisa memberi pencerahan buat para readers.
pepeleng bagi orang jawa,jangan sembarangan menyebutkan weton atau hari lahir versi jawa kepada siapapun,jika tidak ingin terjadi hal hal diluar nalar dan perkiraan.
tetap eling lan waspada.
berserah pada Allah ta'alla.
tetap semangat dengan karya nya