"Itu hukuman buat kamu! Jangan sampai kau melanggar lagi aturan sudah yang aku buat. Kalau tidak …." Kalimatnya menggantung.
"Kalau tidak apa, Kak?" tanya Lyana mulai berani.
"Sesuatu yang lebih buruk dari ini akan terjadi." Anggara berlalu dari hadapan Lyana. Aliran darahnya mulai memanas.
"Hah, sesuatu yang buruk? Bahkan kakak sudah mencuri ciuman pertamaku, menyebalkan." Kini giliran Lyana yang marah. Dia membuka dan menutup pintu kamar dengan keras. Sirkuasi udara di dalam kamar seolah berhenti seketika.
"Ciuman Pertama? Hah, pandai sekali dia berbohong."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon My Starlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Biar Aku Saja
Di kamar Reno, Bi Nina duduk di karpet sambil merapihkan mainan. Perintilan lego dan puzzle masih berserakan, bekas mainan Reno tadi siang. Bocah itu tersenyum dalam tidurnya. Hari ini sepertinya ia lalui dengan suka cita menghabiskan waktu bersama kedua orang tuanya.
Lego itu sudah ia masukan ke dalam box, tapi puzzlenya masih belum selesai di susun. Butuh waktu yang agak lama untuk menyelesaikan puzzle itu. Bi Nina fokus mencari bagian yang hilang, ternyata ada di bawah tempat tidur. Ia menundukan badanya meraih potongan kayu kecil itu. Dan suara Lyana yang sedang nyanyi-nyanyi sendiri terdengar sampai kamar Reno.
"Sepertinya Mbak Lyana habis bikin mie, tumben Mas Anggara nggak ngomel. Padahal ia kan ada di rumah juga." gumamnya.
"Eh iya benar kan, Mas Anggara ada di luar juga." Bibi akhirnya menguping dari balik pintu. Heningnya malam, membuat obrolan mereka terdengar cukup jelas meskipun suaranya kecil.
"Kan, Mas Anggara nggak marah sama Mbak Lyana." Bibi mendengar lagi, Lyana justru menawari mie instan kepada Anggara. Katanya mau di buatkan, tapi Mas Anggara menolak.
Sementara suasana sebenarnya di meja makan itu yang ada hanya kecanggungan.
"Ly, kamu beneran mau pulang?" tanya Anggara tiba-tiba.
"Iya, Kak. Besok sebelum Reno bangun aku udah harus pergi dari rumah ini."
"Nggak bisa di tunda?"
"Huh, cepat atau lambat, Kak Gara kan harus ceraikan aku." Punggung tanganya terasa hangat, Anggara menggenggamnya erat.
"Jangan ngomong gitu, lagian siapa yang mau cerai?"Anggara menatap manik coklat milik Lyana.
"Kak,"
"Apa? Masih mau makan mie lagi?" tanya Anggara.
"Enggak, udah kenyang." jawab Lyana, ia mengusap layar ponselnya lagi.
"Terus?"
"Kenapa, Kak Gara ngomongnya kaya gitu, bukanya di surat perjanjian ..."
"Kalau satu tahun pernikahan kamu belum hamil, aku punya hak buat cerain kamu. Gitu kan?" Lyana menunduk. Membenarkan ucapan Anggara.
"Kalau tahu gitu kenapa kamu pakai minum pil KB segala?"
Deg. Lyana masih diam, tak berani menjawab. Tanganya sedikit bergetar di bawah meja, ia meremasnya beberapa kali.
"Kenapa, Ly? Padahal kalau kamu nggak minum pil KB itu pasti kamu udah hamil, iya kan?"
"Lihat aku, Ly." Anggara menarik dagu Lyana. Bibirnya bergetar ingin menjawab, tapi sudut matanya keburu basah. Dadanya mendadak terasa sesak, buliran hangat itu mengalir begitu saja ke pipi Lyana.
"Karena aku takut, Kak." Anggara mengusap pipi Lyana yang basah.
"Aku takut di saat aku hamil, dan punya anak nanti, Kak Gara tiba-tiba ceraiin aku. Ayah cuma kasih waktu aku empat tahun." Lyana terisak. Ia bahkan mengingat detail surat perjanjian itu.
"Lebih baik kaya gini kan, jadi Kak Gara bisa ceraikan aku." imbuhnya lagi di sela-sela tangis.
"Aku tanya siapa yang mau cerai?" tanya Anggara. Sorot matanya mengeras, dan suaranya juga tegas. Lyana menunduk, tak berani menatap manik Anggara, apa lagi menjawabnya.
"Jawab. Kenapa diam?" Anggara menarik dagu Lyana, meski jarak wajah mereka hanya sejengkal tapi perempuan itu tetap berpaling, tak berani menatap Anggara. Air matanya semakin mengalir deras, pipinya basah.
Anggara menghempaskan wajah Lyana, lama-lama hatinya ikut sakit melihat perempuan di hadapanya itu menangis. Ia mengusap wajahnya kasar. Membiarkan perempuan itu menangis meluapkan perasaanya.
Lama-kelamaan isak tangis itu mereda, Anggara menoleh. Lyana mulai kehilangan tenaganya, sorot matanya melemah. Kelopak matanya perlahan tertutup, perempuan itu tertidur. Anggara menyenderkan kepala Lyana di bahunya. Membiarkan perempuan itu terlelap.
Baru setelah Lyana terlelap Anggara menggendongnya naik ke atas. Dengan pelan meletakan tubuh perempuan itu ke atas ranjang. Menarik selimut sampai menutupi lehernya. Anggara mengusap lembut rambut Lyana. Ia bahkan bisa melihat dengan jelas bekas air mata yang masih tertinggal di pipi.
Semua itu salahku, Ly. Andai waktu itu aku tidak membuka hati untukmu, tidak menyentuhmu dan tetap tidak menganggapmu ada mungkin tidak akan sesakit ini rasanya.
Anggara duduk bersandar pada ranjang, menatap langit-langit kamar. Satu persatu perasaan bersalah itu muncul. Ia mengacak rambutnya kasar, kesal dengan dirinya sendiri. Akhirnya ia ikut berbaring, mencoba menutup matanya. Namun wajah Lyana memenuhi pelupuk mata. Melintasi beberapa waktu yang telah mereka habiskan bersama.
Entah jam berapa laki-laki itu terlelap, tapi sekarang Lyana sudah ada dalam dekapanya. Wangi rambut perempuan itu menyeruak ke penciumanya. Kelopak mata Anggara mulai Mengerjap. Melihat dengan samar wajah Lyana, membuatnya tersenyum. Mengusap rambut perempuan itu dengan perlahan.
Ia meraih ponselnya yang tak jauh dari tempatnya berbaring. Sudah pukul enam pagi, tapi mereka masih ada di kamar. Sementara di lantai bawah, para Bibi sudah sibuk dengan tugasnya masing-masing.
Panggilan masuk dari sekertaris Jefri, sekertaris Ayahnya. Dengan perlahan ia melepaskan tangan Lyana yang memeluknya. Beruntung perempuan itu masih terlelap. Kemudian ia beranjak dari ranjang menuju balkon. Mengangkat panggilan itu.
"Paman, ada apa? Sepagi ini udah telfon, tumben." ucapnya pertama kali begitu panggilan itu terhubung.
"Maaf, Mas. Pagi-pagi udah ganggu waktunya."
"Katakan. Ada apa?" tanya Anggara.
"Soal surat perjanjian pranikah satu tahun lalu, tenggang waktunya sudah hampir habis. Apa Mas Anggara sudah tahu?" meski ragu, akhirnya kalimat itu keluar dari mulutnya.
"Nggak usah khawatir paman. Aku udah tahu kok." jawab Anggara. Ia menoleh ke arah tempat tidur, meski terhalang jendela kaca tapi Anggara masih bisa melihat Lyana yang terlelap.
"Tuan Atmojo menagihnya. Dia ingin memastikan apakah Mbak Lyana sudah hamil?" tanyanya hati-hati.
"Bukanya kemarin Ayah kesini? Dia udah tanya langsung sama istriku. Kenapa harus di pastikan lagi." Anggara mulai geram, ia meremas pagar balkon.
"Saya kurang tahu, Mas. Tuan Atmojo hanya menyuruh saya mengingatkan Mas Gara saja, tidak mengatakan lebih." Jefri terbata.
"Oh iya, paman. Kalau gitu tolong katakan kepada Ayah, bahwa aku mencabut persetujuanku sebagai pihak kedua." kata Anggara tegas.
"Maksudnya gimana, Mas?" Jefri masih mencerna maksud Anggara.
"Aku mencabut persetujuanku sebagai pihak kedua. Jadi mulai sekarang surat itu tidak berlaku lagi." jawab Anggara lebih lantang. Sementara Jefri panik mendengar penjelasan dari Anggara dengan detail. Ia tidak tahu bagaimana cara menyampaikanya kepada Atmojo.
"Tapi, Mas ... Surat itu sudah masuk ke pengacara. Nanti Mas Gara bisa di tuntut atas dasar ...."
"Silahkan tuntut saja, paman. Aku tidak takut." Anggara menantang.
"Mas,"
"Apa?"
"Jangan gegabah, perempuan itu cuma orang lain yang tiba-tiba datang."
"Orang lain? Maksudnya apa? Dia istri aku, Paman!" bentak Anggara.
"Tapi dia tetap orang lain, Mas." Jefri kekeh pada pendirianya.
"Orang lain? Hah, justru paman yang orang lain di keluarga kami. Jadi jangan ikut campur terlalu jauh ya. Sampaikan saja apa pesanku tadi." Anggara menutup panggilan itu dengan kesal. Udara pagi yang bersih, rasanya tetap menyesakan.
.
.
.