Viora Zealodie Walker, seorang gadis cantik yang memiliki kehidupan nyaris sempurna tanpa celah, namun seseorang berhasil menghancurkan segalanya dan membuat dirinya trauma hingga dia bertekad untuk mengubur sikap lemah, lugu, dan polosnya yang dulu menjadi sosok kuat, mandiri dan sifat dingin yang mendominasi.
Bahkan dia pindah sekolah ke tempat di mana ia mulai bangkit dari semua keterpurukan nya dan bertemu dengan seseorang yang diam-diam akan mencoba merobohkan tembok pertahanan nya yang beku.
Sosok dari masa lalu yang dia sendiri tidak pernah menyadari, sosok yang diam-diam memperhatikan dan peduli pada setiap gerak dan tindakan yang di ambilnya.
Agler Emilio Kendrick ketua geng motor besar yang ada di jakarta selatan sana... Black venom.
Dia adalah bad boy, yang memiliki sikap arogan.
Dan dia adalah sosok itu...
Akankah Agler berhasil mencairkan hati beku Viora dan merobohkan dinding pertahanan nya, atau cintanya tak kunjung mendapat balasan dan bertepuk sebelah tangan??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARQ ween004, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sanggupkah aku bertahan
Sore mulai turun di Tokyo. Langit berwarna jingga lembut dengan semburat ungu di ujung horizon. Bus delegasi baru saja berhenti di depan hotel berbintang tempat para peserta menginap. Viora turun paling akhir, masih mengenakan blazer abu muda dengan pin bendera kecil di dada kirinya.
Udara musim semi terasa segar, tapi pikirannya penuh. Lelah, tapi tidak benar-benar bisa tenang. Ia menatap ke arah jalan yang mulai sepi, lampu toko-toko menyala satu per satu.
“Vi, lo mau makan bareng gak?” seru Arvin dari depan pintu hotel, sambil memegang tas ranselnya.
Viora tersenyum kecil, sopan seperti biasa. “Gak dulu, Kak. Kayaknya gue butuh istirahat.”
Arvin mengangguk ringan sambil tersenyum. “Oke, kalau gitu selamat istirahat, Vi.”
“Thanks, Kak. Lo juga, ya.”
°°°
Kamar 1118, di lantai atas hotel itu, diterangi cahaya lampu kuning yang lembut. Viora menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur empuk, menatap langit-langit kamar yang hening. Dari balik jendela besar, gemerlap lampu kota Tokyo memantul indah di kaca, namun hatinya terasa jauh dari semua kilau itu.
Beberapa menit ia terbaring, membiarkan kesunyian merayap perlahan. Tapi bukannya tenang, sepi itu justru semakin menyesakkan.
Hari ini panjang—terlalu panjang. Setelah sesi presentasi, diskusi, dan jam latihan bersama tim, tubuhnya terasa letih. Tapi bukan hanya tubuhnya... hatinya juga.
Napasnya keluar perlahan. Ia menoleh ke arah jendela, menatap langit yang kini telah berubah. Jingga sore tadi telah hilang, digantikan warna biru tua yang pekat dan dalam.
Tokyo telah menjadi malam.
Ia meraih ponselnya di meja samping tempat tidur. Layar menyala, menampilkan notifikasi dari grup peserta kompetisi — dan satu pesan pribadi di bagian paling bawah: Rafka. Nama kontak itu tersimpan sebagai “My Ice Boy ❄️”, sebuah nama yang dari dulu tidak pernah terasa hangat, namun anehnya Viora masih betah bertahan dengan dinginnya.
Bukan tanpa alasan ia menamai Rafka begitu. Karena dia seperti es, dingin, — indah dilihat, tapi tak bisa digenggam terlalu lama karena bisa menyakiti diri sendiri. Room chat itu sepi. Pesan terakhir yang dikirim dua hari lalu masih belum dibaca, apalagi dibalas.
Me|“Jaga diri baik-baik di sana. Jangan lupa makan.”
Pesan itu tetap di sana, dengan tanda centang abu-abu yang tak berubah. Viora menatapnya lama, senyumnya memudar perlahan.
Ia menatap pantulan dirinya di layar ponsel — wajah yang terlihat kuat di luar, tapi matanya menyimpan lelah yang tak diucapkan. Sebelum menutup ponsel, ia membuka kolom chat mereka dari atas. Semuanya terasa berat—balasan singkat, seringkali datar, penuh alasan sibuk.
My ice boy :
|“Maaf, lagi rapat OSIS.”
|“Nanti aku kabarin.”
|“Capek banget hari ini, bisa kita ngobrol besok aja?”
Viora menggulir pelan, seolah menelusuri jarak di antara kata-kata itu. Ia tahu Rafka bukan tipe yang romantis, tapi akhir-akhir ini… rasanya seperti berbicara dengan tembok dingin.
Ia menarik napas panjang, mencoba meyakinkan diri. Mungkin dia benar-benar sibuk. OSIS Satropa emang padat. Namun ada suara kecil yang berbisik—suara yang mulai kehilangan keyakinan.
Tangannya terhenti di atas layar, jarinya gemetar sebentar sebelum mengetik pesan baru.
Me|“Hari ini sesi pertama udah kelar. Aku sempet nervous, tapi semua lancar. Kamu pasti lagi sibuk, kan?”
Ia menatap pesan itu lama… lalu menghapusnya sebelum menekan kirim. Ponsel diletakkannya kembali di meja.
Viora menutup mata, membiarkan keheningan menyelimuti kamar.
Sudah lama Viora sadar—cinta dan perjuangannya hanyalah satu arah. Ia yang selalu berusaha keras mempertahankan, bahkan ketika semuanya mulai terasa berat. Ia yang terus memaksakan keadaan karena terlalu sayang. Ia yang selalu memperpanjang setiap percakapan, hanya agar waktu bersama tak cepat habis. Ia yang menutupi semua rasa kecewa dengan tawa, sementara Rafka hanya menanggapi seperlunya—pendek, datar, seolah perasaannya telah lama padam tanpa sempat berpamitan.
“Raf…” bisiknya pelan, hampir tak terdengar.
“Kamu masih nunggu aku juga, kan?”
Namun, seperti sebelumnya, hanya suara AC kamar yang menjawab. Dingin. Sunyi. Kosong.
Viora memejamkan mata, menahan perih yang menyesak di dada. Setetes air mata lolos di sudut matanya, jatuh ke bantal putih yang kini terasa terlalu luas untuk dirinya sendiri.
Ia membalikkan badan, menatap jendela yang memantulkan cahaya lampu kota Tokyo. Dari kejauhan, gemerlap itu tampak indah—tapi bagi Viora, malam itu terasa buram.
Ia menggenggam ponsel di dada, mencoba menenangkan diri. Tapi semakin lama ia berdiam, semakin terasa sepi yang menggerogoti hatinya.
Dalam diam, ia bergumam.
"Akan kah aku sanggup bertahan?"
°°°
Udara malam Tokyo menyelimuti lembut taman hotel itu. Langit gelap bertabur bintang, dan cahaya bulan tampak jatuh tenang di atas permukaan danau kecil di tengah taman—memantulkan bias cahaya yang menenangkan, seperti lukisan hidup yang diciptakan malam.
Viora duduk di bangku kayu dekat tepian danau, lututnya ditarik sedikit ke arah dada, kedua tangannya saling menggenggam untuk menahan dingin. Napasnya membentuk uap tipis setiap kali ia mengembuskannya.
Ia tidak berencana keluar terlalu lama, hanya ingin mencari udara segar. Tapi kini, tanpa mantel atau sweater tebal, dinginnya udara malam Jepang mulai meresap ke kulitnya, membuat bahunya sedikit bergetar.
Namun justru di antara sepi dan gigil itulah pikirannya terasa paling jernih. Ia menatap pantulan dirinya di air, samar tapi jelas menampilkan mata sendu yang tak bisa lagi ia sembunyikan di balik senyum.
“Lucu ya,” gumamnya lirih. “Kota ini terang, tapi hati ku malah gelap.”
Suara lembut langkah kaki terdengar dari belakang. Viora refleks menoleh, dan di sana—seorang staf hotel berdiri, mengenakan seragam rapi dengan syal merah tua di tangannya.
“Sumimasen,” ucap pria itu sopan dengan aksen Jepang yang halus. “Miss, suhu malam ini cukup dingin. Kami biasanya menyediakan selimut luar atau syal untuk tamu yang ingin duduk di taman.”
Ia menundukkan tubuh sedikit sambil menyodorkan syal tebal itu.
Viora sempat tertegun, tapi kemudian tersenyum lembut dan menerima dengan kedua tangan. “Ah... terima kasih banyak. Saya gak sadar udara malam di sini sedingin ini.”
Pria itu tersenyum kecil. “Tokyo di musim semi memang menipu. Siang hangat, malamnya menusuk.”
Ia sedikit menunduk lagi sebelum berpamitan meninggalkan Viora sendirian di taman yang kini hanya diisi suara gemerisik daun dan alunan samar dari air mancur kecil di seberang danau.
Viora memeluk syal itu ke tubuhnya, membiarkan hangatnya perlahan menyelimuti bahunya. Aroma kain yang lembut bercampur wangi bunga sakura samar—entah mengapa, kehangatan sederhana itu terasa seperti pelukan yang sudah lama ia rindukan.
Matanya menatap bulan di atas, lalu menunduk menatap air yang beriak perlahan.
“Kadang... yang paling sederhana justru yang paling tulus, ya,” ucapnya pelan, setengah berbicara pada diri sendiri.
Udara malam tetap dingin, tapi hati Viora terasa sedikit lebih tenang. Untuk pertama kalinya sejak tiba di Tokyo, ia bisa menarik napas panjang tanpa merasa sesak.
Dan di saat itulah, tanpa ia sadari, seseorang dari kejauhan menatapnya—berdiri di balik pagar batu taman hotel, dengan hoodie hitam dan tatapan yang sulit terbaca.
Refleksi samar seseorang tertangkap di air danau, berdiri diam dalam bayangan.
Bukan kebetulan. Bukan juga rencana.
Namun entah mengapa, malam itu... seolah semesta sedang menyiapkan sesuatu yang perlahan akan mengubah arah hidup keduanya.
***
yg menatap nya secara dlm...
lanjut thor ceritanya
sosok misterius itu???
lanjut thor
love u sekebon buat para readers ku🫶🫶