Aku sengaja menikahi gadis muda berumur 24 tahun untuk kujadikan istri sekaligus ART di rumahku. Aku mau semua urusan rumah, anak dan juga ibuku dia yang handle dengan nafkah ala kadarnya dan kami semua terima beres. Namun entah bagaimana, tiba-tiba istriku hilang bak ditelan bumi. Kini kehidupanku dan juga anak-anak semakin berantakan semenjak dia pergi. Lalu aku harus bagaimana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31
Angkasa menghela napas ringan, lalu tersenyum tipis.
“Aku harus pergi sekarang. Orang suruhanku pasti sudah datang memperbaiki mobil,” katanya sambil melangkah ke pintu.
Aku mengangguk, masih mencoba menenangkan perasaan setelah percakapan tadi.
Angkasa menoleh sebentar, menatapku dengan mata hangat. “Jangan khawatir. Semua akan baik-baik saja. Jaga dirimu. Hoh satu lagi, ini kartu namaku di situ ada alamat perusahaan dan juga nomorku, aku yakin kamu pasti membutuhkan ini."
"Untuk apa aku butuh kartu nama kamu?" tanyaku heran.
"Enggak usah heran, aku yakin kamu pasti akan butuh bantuanku. Misalnya tentang perceraian mungkin," Sekilas ucapan dia membuatku beku. Kenapa dia bisa berkata seperti itu.
"Angkasa ini bukan--"
"Aku bisa bantu kamu urus perceraianmu dengan suamimu."
"Bukan begitu, masalahnya kamu terlalu ikut campur masalah rumah tanggaku."
"Memangnya tidak boleh kalau aku bantu teman sekolah?"
"Tapi--"
"Kalau kamu sudah yakin dengan keputusan ini. Datang saja ke kantor nanti aku temui kamu, jangan lupa sebelum datang hubungi aku dulu ya." Perlahan aku menerima kartu nama dari tangannya.
"Terima kasih."
"Kalau begitu aku pulang ya," ujarnya sebelum menutup pintu dan pergi. Ia sempat menatapku dan tersenyum. "Ratu, kutunggu jandamu."
"Hah!" Dengan senyum jailnya ia lantas pergi sambil tertawa karena ucapannya barusan. Sedangkan diriku masih heran dengan sikap dan tingkah lakunya yang tidak pernah berubah. Masih seperti anak kecil. Walau tubuhnya tinggi dan besar tapi di mataku dia masih terlalu kekanak-kanakkan.
"Huft...dasar, bocah g*la," gerutuku pelan.
Kamar kosanku kembali sunyi. Aku duduk di kasur, memandangi kartu nama milik Angkasa dan buku nikah yang masih ada di depanku, merasa sedikit penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Aku tidak sangka jika Mas Erlangga melakukan tindak korupsi di tempat kerjanya, terlebih lagi Angkasa adalah atasannya.
Apakah artinya doaku sudah terwujud, bahwa aku mengingkan kehancuran Mas Erlangga dan keluarganya? Kalau memang ia, aku harus ikut menyaksikan kehancurannya agar ia tahu bahwa aku hidup bisa tanpanya.
Bolehkah aku berharap kepada Angkasa dan meminta bantuannya, terlebih lagi ia mempunyai power kuat. Aku ingin sekali membalas rasa sakit dan penderitaan selama menjalani pernikahan dengan Mas Erlangga dan keluarganya. Aku juga ingin sekali memberikan efek jera untuk ibu dan kakaku karena sudah menjual diriku untuk melunasi hutangnya?
Aku kembali menatap kartu nama yang ia berikan. Apa aku harus butuh bantuannya?
…
Sudah hampir empat hari aku keluar dari rumah mas Erlangga dan keluarganya dan hari ini ia kembali mengirim pesan menyuruhku untuk pulang ke rumahnya.
“Ratu… tolong kembali ke rumah. Aku benar-benar kewalahan di sini. Piring menumpuk, baju kotor, anak-anak tidak ada yang urus. Aku… aku tidak bisa melakukan semuanya sendiri. Tolong… jangan biarkan rumah ini hancur begitu saja.”
"Kamu sekarang ada di mana? Sudah empat hari kamu tidak kembali ke sini, aku sudah cari kamu ke rumah ibumu, tapi kamu tidak ada di sana. Tolong balas pesanku Ratu."
Aku tersenyum miring, tak kusangka pria searogan dia bisa memohon kepadaku untuk kembali ke sana dan menjadikan diriku babu lagi.
Aku tidak bisa bayangkan, betapa ia repot mengurus rumah dan kedua anaknya yang sudah smp tapi belum bisa melakukan apa-apa karena terbiasa dilayani bak putri kerajaan.
Padahal aku sudah bilang padanya untuk mengajarkan kedua anaknya menjadi wanita mandiri. Tapi papahnya malah menolaknya, dan beranggapan mereka masih terlalu kecil.
Terkadang aku lucu dengan pemikiran mas Erlangga bahwa anaknya masih kecil. Dia tidak tahu saja salah satu anaknya sudah memiliki kekasih yang umurnya jauh lebih tua dari Mira. Kita lihat saja nanti, bagaimana nasip Mira jika mempunyai hubungan dengan laki-laki dewasa.
…
Sesuai perkataan Angkasa waktu itu, aku harus hubungi ia terlebih dahulu jika ingin bertemu dengannya.
Butuh waktu satu jam untuk sampai ditujuan, sesampainya di sana aku langsung menghubunginya.
"Halo, Angkasa? Ini aku Ratu," ucapku melalui ponsel.
"Iya, aku tahu kok ini kamu," jawabnya membuatku sedikit malu.
"Be... Begini, aku--"
"Posisi kamu di mana? Biar aku yang temui kamu."
"Aku masih di luar, aku enggak berani masuk ke dalam, aku takut ketemu sama suamiku."
"Oke, tunggu ya."
Sekitar dua puluh menit kemudian, munculah Angkasa. Ia berlari kecil menghampiriku. Wajahnya terlihat cerah, seolah ada kebahagiaan yang sulit ia sembunyikan.
“Aku senang sekali akhirnya datang juga ke sini,” ucapnya pelan, senyumnya mengembang.
Aku terdiam sesaat, tidak menyangka sambutan yang begitu hangat darinya. “Aku hanya… ingin memastikan sesuatu,” jawabku hati-hati.
Ia menatap dalam-dalam, seolah sedang mencari sesuatu di balik sorot mataku. “Memastikan sesuatu atau memang kamu berubah pikiran?" ujarnya menggoda membuat wajahku memerah seperti tomat. Saking malunya aku sampai bingung harus bicara apa.
"Kamu enggak usah malu, aku tahu kok hal kaya gini pasti bakal terjadi, aku tahu siapa kamu. Di saat ada masalah disitulah kamu pasti akan minta tolong sama aku walau pun cintaku selalu ditolak sama kamu."
Aku langsung tertunduk malu dihadapan Angkasa, aku enggak tahu harus bagaimana lagi. Karena dalam pikiranku saat ini aku butuh batuannya.
"Dari awal kita bertemu aku sudah bilang, kamu itu enggak pernah berubah," lanjutnya membuat wajahku terangkat dan tatapan kami saling bertemu.
"Jadi kamu mau butuh bantuan seperti apa?" tanyanya membuyarkan lamunanku.
"Aku butuh--"
"Kita bahasnya di dalam saja ya, tidak enak kalau hanya berdiri di luar."
"Aku enggak mau masuk ke dalam, aku takut ketemu sama Mas Erlangga, kalau sampai kita berdua ketemu aku yakin dia akan seret aku untuk pulang ke rumahnya."
"Maaf, aku lupa."
"Enggak masalah, kita langsung ke intinya saja. Tolong bantu aku carikan pengacara untuk sidang ceraiku nanti."
"Masalah itu mudah, kamu tenang saja." Hatiku sedikit lega ternyata dia masih mau menolongku.
Singkat cerita, akhirnya dia mau menolongku dan memberikan pengacara terbaik. Sepulang dari sini aku akan daftarkan perceraianku ke pengadilan secepatnya.
"Sekali lagi terima kasih sudah mau menolongku. Maaf kalau aku selalu bersikap sedikit acuh sama kamu."
"Enggak masalah, aku yakin suatu saat kamu pasti akan jadi milikku."
"Heh!"
Aku terdiam, masih berdiri di hadapannya,
Tubuhku seketika membeku. Jantung berdetak begitu keras hingga terasa menyakitkan di dada. Ucapan itu bukan sekadar gurauan, ada keyakinan yang mengerikan dalam nadanya.
Aku menelan ludah, mencoba menata kalimat. “Jangan bicara sembarangan,” bisikku, suara hampir tak terdengar.
Angkasa malah tersenyum samar, seakan menikmati kegugupanku. “Aku tidak sembarangan. Sejak dulu… sejak sekolah, keinginanku belum pernah berubah.”
Aku mundur setapak, merasakan udara ini semakin sempit. Aku ingin membantah, tapi lidahku kelu, tak mampu berkata apa-apa lagi.
sampe bab ini masih bingung alur nya..tdk ada pov ratu jadi masih sepihak
beda istri beda rejeki apalagi hsil selingkuh bgitu.