Seharusnya kehidupan Serena sempurna memiliki kekasih tampan dan kaya serta mencintainya, dia semakin yakin bahwa cinta sejati itu nyata.
Namun takdir mempermainkannya ketika sebuah malam kelam menyeretnya ke dalam pelukan Nicolás Navarro—paman dari kekasihnya, pria dewasa yang dingin, berkuasa, dan telah menikah lewat perjodohan tanpa cinta.
Yang terjadi malam itu seharusnya terkubur dan terlupakan, tapi pria yang sudah memiliki istri itu justru terus menjeratnya dalam pusaran perselingkuhan yang harus dirahasiakan meski bukan kemauannya.
“Kau milikku, Serena. Aku tak peduli kau kekasih siapa. Malam itu sudah cukup untuk mengikatmu padaku... selamanya.”
Bagaimana hubungan Serena dengan kekasihnya? Lantas apakah Serena benar-benar akan terjerat dalam pusaran terlarang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Neon Light, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35
Di dalam sebuah kamar mewah berbalut nuansa krem dan cahaya lampu yang tampak redup, seorang wanita duduk membungkuk di tepi ranjang. Ruangan itu terhias elegan, namun kesan hangat sama sekali tak terasa. Yang tertinggal hanya sepi, dingin, dan bayangan-bayangan yang memberatkan batinnya.
Wanita itu menatap lurus ke foto seorang lelaki yang sedang ia genggam. Jemarinya menggenggam bingkai itu terlalu kuat seakan benda tersebut adalah satu-satunya yang menghubungkannya dengan lelaki itu. Wajahnya sendu, sorot matanya penuh sayatan luka yang ia tanggung seorang diri.
“Kenapa. Mengapa kamu tidak pernah melihat keberadaanku, Gabriel?” suaranya pecah, tetapi tetap terdengar jelas. “Harusnya kamu sadar. Akulah yang mencintaimu sejak dulu. Kenapa Serena yang kamu pilih? Apa kurangnya aku? Aku yang selalu ada. Aku yang mengorbankan segalanya.”
Setiap kata terucap dengan getir yang menahun, seperti keluh panjang yang selama ini dipaksa diam.
Air mata kembali jatuh, namun tidak lagi tertahan. Dia membelai lembut permukaan foto, seolah berharap sentuhan itu bisa menjangkau orang yang jauh di luar sana. Dia seolah ingin meraih segala kenangan saat ia pernah berdiri di dekat lelaki itu, berharap Gabriel menyadari kesetiaannya.
Di sisi ranjang, terdapat lembaran foto lain. Foto yang memperlihatkan sosok perempuan berambut panjang, dengan senyum hangat dan mata jernih. Serena.
Senyum itu terasa seperti sebuah ejekan bagi wanita yang tengah meratapi hatinya.
Dia meraih foto Serena tersebut. Tatapannya berubah. Gelap. Penuh dengki yang telah lama bersembunyi dalam jiwanya.
“Wanita sialan,” ucapnya datar, namun sarat kebencian. “Aku pastikan kamu tidak akan pernah bisa hidup tenang. Dari semua kejadian yang menimpa kalian, ini baru permulaan. Benar-benar baru permulaan.”
Tangannya meremas foto itu. Sebelah bibirnya terangkat membentuk senyum yang tidak seharusnya muncul dari wajah yang baru saja menangis.
“Tidak ada yang boleh memiliki Gabriel selain aku. Tidak kamu. Tidak siapa pun.”
Foto Serena itu ia robek. Setiap robekan tampak seperti pelampiasan seluruh perih yang telah lama tertahan. Potongan-potongan itu berjatuhan di lantai, menyebar di sekitar telapak kakinya, seakan menjadi saksi bisu ambisi yang sedang tumbuh.
Ranjang yang begitu empuk kini seperti menjadi tempat penjara bagi dirinya yang kelelahan oleh emosi sendiri. Perlahan, tubuhnya jatuh ke bantal. Pandangannya mulai mengabur, napasnya berat, sementara pikirannya masih penuh dengan rencana-rencana yang belum terucapkan.
“Gabriel hanya untuk aku,” gumamnya pelan.
Matanya terpejam. Bukan karena tenang, tetapi karena penat yang mengeruhkan pikirannya. Tidur itu bukan istirahat, melainkan jeda dari badai yang akan kembali ia bangkitkan lagi nanti.
Keheningan memenuhi kamar.
Namun dalam diam, sesuatu yang lebih berbahaya mulai lahir.
*
*
Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai jendela apartemen yang mewah, namun kehangatan itu tidak sangguh menjamah jiwa wanita yang baru saja terbangun. Matanya sayu, tetapi ada bara yang tidak padam di dalamnya. Dia duduk perlahan, meraih ponsel yang berbeda dari ponsel pribadinya. Nomor itu tidak banyak diketahui orang, dan memang dibuat untuk tujuan yang tidak pernah ingin ia tampakkan pada dunia.
Dengan gerakan tenang, dia membuka sebuah video yang sudah ia simpan sebelumnya. Layar menampilkan Serena yang sedang digiring oleh dua pria di tempat karaoke. Video itu tampak kabur, sengaja dibuat sedemikian rupa agar menimbulkan kesan buruk. Sorot mata wanita itu berubah menjadi gelap dan penuh dendam.
“Kamu lihat, hari ini adalah hari yang istimewa untukmu, Serena,” ucapnya pelan, tetapi tegas. “Jangan berpikir kamu akan hidup bahagia setelah semua ini. Aku akan menjadikanmu permainan yang akan aku kendalikan sesuka hati. Hingga nanti, Gabriel akan membuangmu tanpa sedikit pun meragukan keputusannya.”
Senyuman muncul di wajahnya, bukan senyum bahagia, melainkan senyum yang berakar dari luka yang tidak pernah sembuh. Jarinya mulai bergerak cepat mengirimkan video tersebut ke seluruh grup kampus. Tidak ada satu pun yang terlewat. Setiap grup, setiap lingkar pertemanan, dan setiap komunitas yang berkaitan dengan Serena. Dalam hitungan detik, video itu mulai menyebar seperti api yang menyambar rumput kering.
Sementara itu, di tempat lain, Gabriel yang sedang bersiap menuju kampus mendengar nada notifikasi. Dia mengambil ponselnya, membuka pesan yang baru saja masuk. Waktu seakan berhenti ketika mata Gabriel menatap video tersebut. Jantungnya terasa diseret paksa ke kedalaman yang gelap. Nafasnya menjadi berat, sementara pandangannya bergetar.
Dia tidak berkata apa pun. Tidak sempat. Tidak ingin. Gabriel hanya mengambil jaketnya dan bergegas menuju pintu. Pikirannya hanya tertuju pada Serena. Dia mencoba menelepon, berkali-kali, tetapi tidak ada jawaban.
Di sisi lain, Serena telah lebih dulu berangkat dari rumah setelah mendapatkan pelukan hangat dan pesan hati-hati dari kedua orang tuanya. Sopir keluarga mengantarkannya seperti biasa. Setibanya di kampus, Serena merasakan sesuatu yang berbeda. Langkah-langkah mahasiswa yang berlalu-lalang terasa memperlambat waktunya. Tatapan-tatapan aneh mulai ia rasakan, walau belum ia pahami.
Serena mencoba mengabaikannya. Namun ketika seorang pria melontarkan ucapan yang terdengar ramah tetapi bernada tidak wajar, dia mulai merasa ada yang tidak beres.
“Hai, Cantik. Semakin menawan saja primadona kampus.”
Serena hanya menatap pria itu dengan tatapan datar. Semua orang tahu siapa pacarnya. Tidak ada yang biasanya berani menggoda seperti itu. Tetapi pagi ini berbeda. Ada bisik-bisik di lorong, ada tatapan yang tidak biasa.
Serena melangkah lagi. Namun suara-suara lain mulai bermunculan.
“Pagi, Serena. Tumben terlihat segar sekali. Semalam senggang, ya? Makanya tidak terlihat lelah,” ujar seorang pria lain dengan nada yang dibuat santai.
“Kalau butuh ditemani supaya tidak sendirian, bilang saja,” sambung yang lain, diikuti tawa ringan dari teman-temannya.
Serena terdiam sejenak. Dia mengatur napas. Tatapannya tetap dingin, tetapi langkahnya berubah lebih cepat, seakan ingin menjauh dari kerumunan yang semakin terasa menekan.
Ketika dia berjalan melewati sekelompok mahasiswi, suara sinis menyusul dari belakangnya.
“Galak sekali. Jangan sampai nanti tidak ada yang mau.”
Serena tidak menoleh. Tetapi suara berikutnya membuat langkahnya sedikit tersendat.
“Kalau galaknya di tempat tidur tidak apa-apa.”
Tawa terdengar di belakangnya. Serena memilih untuk tidak menanggapi. Dia terus berjalan sampai tiba di koridor kelas. Namun hatinya berdebar. Sesuatu sedang terjadi, dan Serena tahu dia harus mencari tahu.
Dia membuka ponselnya. Puluhan notifikasi grup kampus memenuhi layarnya. Pesan itu terlalu banyak untuk dibaca satu per satu, tetapi dia tetap mencoba. Jari-jarinya menggulir layar, hingga pandangan itu berhenti.
Satu video.
Namanya tertulis jelas di kolom pesan.
Jemari Serena gemetar pelan.
Tanpa suara, dunia Serena mulai retak.