Anya gadis cantik berusia 24 tahun, terpaksa harus menikahi Revan CEO muda anak dari rekan bisnis orangtuanya.
Anya tidak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan kesepakatan kedua keluarga itu demi membayar hutang keluarganya.
Awalnya ia mengira Revan mencintai tulus tapi ternyata modus, ia hanya di jadikan sebagai Aset, untuk mencapai tujuannya.
Apakah Anya bisa membebaskan diri dari jeratan Revan yang kejam?
Jika ingin tahu kisah Anya selanjutnya? Langsung kepoin aja ya kak!
Happy Reading...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riniasyifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Damian dengan panik mengangkat tubuh Anya, berlari sekuat tenaga menuju jalan raya. Jantungnya berdebar kencang, setiap detik terasa seperti siksaan. Ia harus menyelamatkan Anya, apapun caranya.
Saat mereka tiba di tepi jalan, Damian melihat seberkas cahaya dari kejauhan. Sebuah mobil berhenti di depannya, seorang pria paruh baya keluar dengan wajah khawatir.
"Ada apa, Nak? Apa yang terjadi?" tanya pria itu dengan nada cemas.
Damian merasa setitik harapan muncul di hatinya. "Pak, tolong istri saya! Ia pingsan," bohong Damian dengan mengaku Anya adalah istrinya, ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya kan. Suara bergetar, air mata mulai membasahi pipinya.
Pria itu tanpa ragu mengangguk dan mempersilakan Damian membawa Anya masuk ke dalam mobilnya. Damian bersyukur atas bantuan yang datang di saat yang tepat. Sepanjang perjalanan, ia terus menggenggam tangan Anya, berharap ia segera sadar.
Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah klinik kecil. Damian dengan cepat mengangkat tubuh Anya dan membawanya masuk ke dalam klinik. Seorang dokter wanita segera menghampiri mereka dan membawa Anya ke ruang pemeriksaan.
Saat dokter memeriksa Anya, Damian mondar-mandir di ruang tunggu dengan gelisah. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada Anya, tapi ia merasa firasat buruk.
Setelah beberapa saat, dokter keluar dari ruang pemeriksaan dengan wajah serius. Damian segera menghampirinya dengan jantung berdebar.
"Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Damian dengan cemas.
Dokter menghela napas sebelum menjawab, "Istri Anda mengalami keguguran."
Damian terdiam membeku. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Keguguran? Anya hamil? Bagaimana bisa?
"Kami juga menemukan adanya pendarahan internal. Sepertinya istri Anda mengalami trauma yang cukup berat," lanjut dokter.
Damian merasa seperti ada yang menghantam dadanya dengan keras. Ia tidak tahu jika Anya sedang hamil anak Revan, dan sekarang ia harus menerima kenyataan bahwa Anya kehilangan anaknya. Meskipun itu bukan anaknya, tapi ia merasa sangat sedih. Ia merasa serba salah, ia tidak tahu bagaimana menyampaikan kabar buruk ini pada Anya nantinya.
Setelah beberapa jam, Anya akhirnya sadar. Damian dengan ragu-ragu masuk ke dalam ruang perawatan. Ia melihat Anya terbaring lemah di ranjang, wajahnya pucat dan matanya sayu. Hatinya terasa teriris melihat Anya seperti ini.
"Anya," panggil Damian dengan lembut, menghampirinya dan menggenggam tangannya erat.
Anya menoleh dan menatap Damian dengan tatapan kosong. "Damian ... apa yang terjadi?" tanyanya dengan suara lemah.
Damian menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya, ia tahu tidak mungkin ia merahasiakan hal sepenting ini pada Anya. "Dokter bilang ... kau keguguran," ucap Damian dengan hati-hati, menatap mata Anya dengan lembut.
Anya terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Damian. Matanya membulat karena terkejut, lalu perlahan-lahan air mata mulai membasahi pipinya.
"Keguguran?" bisik Anya dengan suara bergetar, "Aku ... aku hamil?"
Damian mengangguk pelan, mengusap air mata Anya dengan lembut. "Aku tidak tahu kau hamil, Anya. Aku minta maaf," ucap Damian dengan tulus, merasa bersalah karena tidak menyadari keadaan Anya yang sebenarnya.
Anya menggelengkan kepalanya lemah. "Kamu tidak salah Damian aku yang salah, aku yang tidak peka dengan tubuhku sendiri, aku tidak tahu ... tidak ada tanda-tanda kehamilan yang aku rasakan," ucap Anya, dengan terbata-bata menahan tangisnya.
"Aku merasa bersalah ... aku tidak bisa melindungi anakku sendiri, ibu macam apa aku ini?" lanjut Anya menyalahkan diri sendiri.
Damian memeluk Anya erat, membiarkannya menangis di pelukannya. Ia tahu betapa sakitnya Anya kehilangan anaknya, apalagi anak itu adalah darah dagingnya sendiri, meskipun ia membenci Revan sebagai ayahnya.
"Jangan menyalahkan dirimu sendiri, Anya. Ini bukan salahmu," ucap Damian dengan lembut, mencium puncak kepala Anya. "Mungkin ini takdir dari Tuhan, supaya kau menjadi lebih kuat lagi Anya," ujar Damian dengan bijak.
Anya mengeratkan pelukannya pada Damian, merasa sedikit tenang berada di dekatnya. Ia tahu bahwa Damian akan selalu ada untuknya, apapun yang terjadi.
"Aku ... aku membenci Revan," ucap Anya dengan suara lirih, "Tapi aku tidak bisa membenci anakku sendiri."
"Kenapa ia pergi secepat itu, bahkan sebelum aku bisa memeluknya?" gumam Anya sesugukan di dalam dekapan Damian.
Damian mengerti perasaan Anya. Ia tahu betapa rumitnya situasi ini. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi Anya, harus kehilangan anak yang tidak diinginkan kehadirannya, namun tetap merupakan bagian dari dirinya.
"Aku tahu, Anya," kata Damian sambil mengusap punggung Anya dengan lembut. "Tidak apa-apa untuk merasa marah, sedih, dan bingung. Semua perasaanmu valid."
Anya terus terisak dalam pelukan Damian. Perasaan bersalah, sedih, dan marah bercampur aduk menjadi satu. Ia merasa hancur dan tidak berdaya.
Tiba-tiba, sebuah ingatan melintas di benak Anya. Ia teringat jika ia melewatkan masa haidnya bulan lalu. Saat itu, ia terlalu sibuk dengan masalahnya hingga tidak menyadarinya. Ia juga merasa sedikit mual di pagi hari beberapa waktu lalu, tapi ia pikir itu hanya karena ia kurang tidur. Sekarang, semuanya menjadi jelas.
"Apa yang akan aku lakukan sekarang, Damian?" tanya Anya dengan suara yang hampir tidak terdengar.
Damian melepaskan pelukannya dan menatap Anya dengan tatapan penuh tekad.
"Lanjutkan hidupmu Anya, perjalananmu masih panjang, aku akan selalu ada di sisimu," jawab Damian tegas.
Anya menatap Damian dengan ragu. "Tapi Damian, Ragu apa aku bisa?" kata Anya dengan putus asa.
Damian menggenggam tangan Anya erat. "Kita punya satu sama lain, Anya. Itu sudah cukup," kata Damian dengan senyum lembut. "Aku akan melindungimu, aku janji."
Anya menatap mata Damian, melihat ketulusan dan tekad yang terpancar dari sana. Ia percaya pada Damian, ia tahu bahwa ia bisa mengandalkannya.
Lalu Anya mengangguk pelan, ia akan berusaha untuk menjadi lebih kuat lagi. Dan membuktikan pada semua terutama Revan dan keluarganya, jika ia bukan lah wanita lemah dan tak berdaya seperti yang selama ini Revan anggap.
Damian tersenyum lega mendengar jawaban Anya. Ia tahu bahwa perjalanan mereka tidak akan mudah, tapi ia yakin bahwa mereka bisa menghadapinya bersama.
"Istirahatlah, Anya. Aku akan mengurus semuanya," kata Damian sambil mencium kening Anya dengan lembut.
Anya mengangguk lagi dan memejamkan matanya. Ia merasa lelah secara fisik dan emosional. Ia membutuhkan istirahat untuk memulihkan dirinya.
Bersambung ....
di tunggu karya karya selanjutnya ya