NovelToon NovelToon
"Blade Of Ashenlight"

"Blade Of Ashenlight"

Status: sedang berlangsung
Genre:Dunia Lain
Popularitas:475
Nilai: 5
Nama Author: stells

Di tanah Averland, sebuah kerajaan tua yang digerogoti perang saudara, legenda kuno tentang Blade of Ashenlight kembali mengguncang dunia. Pedang itu diyakini ditempa dari api bintang dan hanya bisa diangkat oleh mereka yang berani menanggung beban kebenaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mata-Mata Di Dalam Istana

Edrick berjalan di koridor batu, Selene menyertainya dalam diam.

“Kau sadar, bukan?” Selene berbisik. “Ayahmu tidak akan melindungimu. Kalau kau jatuh di medan perang, ia akan menyebutmu martir. Dan kalau kau berhasil, ia akan memanggilmu ancaman.”

Edrick menatap lurus. “Itu sebabnya aku butuh mata sendiri di sini. Orang-orang yang tidak bermain untuk mahkota, tapi untuk kebenaran.”

Malam itu, ia memanggil Rowan ke kamarnya.

“Kau pernah menyentuh bayangan,” kata Edrick pada pemuda itu. “Kau tahu rasanya. Itu membuatmu berbeda dari prajurit lain. Aku butuh orang yang bisa mendengar bisikan yang tak kudengar.”

Rowan menelan ludah, gugup, tapi matanya berbinar. “Kalau itu bisa menebus kesalahanku, aku bersumpah akan jadi telingamu di lorong-lorong ini.”

Tak lama, seorang pelayan muda muncul—gadis yang dulu pernah ketahuan melarikan diri dari ruang pertemuan bangsawan. Namanya Lyra.

“Aku tidak bisa lagi hanya mencuci piala untuk mereka,” katanya, suaranya gemetar. “Aku mendengar terlalu banyak, dan aku tahu terlalu banyak. Biarkan aku jadi matamu di meja makan mereka.”

Selene memandang curiga. “Dan bagaimana kami bisa percaya padamu?”

Lyra mengangkat lengan bajunya, memperlihatkan bekas luka bakar hitam di kulit. “Karena aku sudah disentuh bayangan. Dan aku tidak akan membiarkan siapapun lagi melewati neraka itu.”

Jaringan kecil mulai terbentuk: Rowan si prajurit yang pernah goyah, Lyra si pelayan yang pernah jadi saksi, Selene sang penjaga cahaya, dan Alden yang tetap setia tanpa ragu.

Edrick menatap mereka satu per satu. “Kalau kerajaan ini ingin menjadikanku taruhan… maka aku akan mengubah taruhannya. Mulai malam ini, kita bermain dengan aturan kita sendiri.”

Ashenlight menyala tipis, seolah mengakui lahirnya lingkaran rahasia pertama di dalam istana.

---

Fajar di Arvendral dipenuhi dentang trompet perang. Gerbang timur terbuka lebar, dan ribuan prajurit berbaris dengan bendera kerajaan berkibar di angin. Rakyat memenuhi jalan, sorak-sorai bercampur doa, sebagian dengan wajah penuh harap, sebagian lain dengan tatapan ragu.

Edrick duduk di atas kudanya, Ashenlight disarungkan di punggung, cahaya birunya berdenyut samar di bawah sinar matahari.

“Semua mata tertuju padamu,” gumam Alden di sampingnya. “Mereka tidak hanya menunggu pemimpin. Mereka menunggu simbol.”

Selene menambahkan, suaranya tegas, “Kau harus memilih: apakah kau ingin jadi pemimpin yang mereka ikuti karena takut, atau karena percaya.”

Edrick menatap barisan panjang di depannya, lalu menarik napas dalam. Ia mengangkat Ashenlight tinggi-tinggi, hingga cahaya biru memancar ke seluruh lapangan.

“Prajurit Arvendral!” suaranya bergema lantang. “Hari ini bukan aku yang memimpin kalian—tapi api yang ada di hati kalian. Api yang tidak bisa dipadamkan bayangan!”

Sorak membahana. Ribuan pedang terangkat, dentang baja bercampur pekik perang.

Namun di tengah gegap gempita itu, mata-mata bangsawan mengamati dari balkon. Lady Corvane berbisik pada Lord Fenric.

“Lihat bagaimana rakyat bersorak. Lihat bagaimana tentara mengangkat pedang untuknya, bukan untuk mahkota. Kalau api itu terus bersinar, kita semua akan terbakar.”

Fenric mengangguk gelap. “Maka kita harus memastikan ia padam sebelum mencapai medan perang.”

Pasukan bergerak keluar gerbang, barisan panjang seperti ular baja menuju jalan timur.

Di luar dinding kota, Rowan yang kini menjadi pengintai berlari mendekat pada Edrick. “Tuan, aku mendengar sesuatu di antara prajurit. Ada bisikan tentang pengkhianat yang menyusup ke barisan.”

Edrick menoleh cepat. “Dari siapa kau dengar?”

Rowan menunduk, wajahnya pucat. “Dari suara yang… tidak seharusnya bisa kudengar. Bayangan berbisik lewat telingaku. Mereka bilang, malam ini darah pertama akan tertumpah bukan di medan perang, tapi di dalam barisan kita sendiri.”

Edrick menggenggam erat gagang Ashenlight.

“Kalau begitu,” katanya pelan, “langkah pertama sebagai pewaris bukan melawan bayangan di luar… tapi membakar pengkhianatan di dalam.”

Api biru menyala, menandai awal perjalanan yang bukan sekadar perang melawan kegelapan melainkan melawan racun yang sudah mengalir di nadi kerajaannya sendiri.

Langit sore mulai memerah ketika barisan panjang pasukan Arvendral menyusuri lembah sempit. Tebing menjulang di kiri-kanan, suara langkah seribu sepatu baja menggema seperti guruh.

Edrick menunggang di depan, tatapannya awas. Rowan berjalan tak jauh di belakang, wajahnya tegang, seolah menunggu bisikan berikutnya.

Tiba-tiba, jeritan terdengar dari sayap kanan barisan. Seorang prajurit jatuh, tenggorokannya terbelah. Darah menyembur ke tanah berdebu.

Kekacauan pecah.

“Pengkhianat!” teriak Alden, menghunus pedangnya.

Di antara pasukan, tiga orang prajurit melepaskan helm mereka. Mata mereka hitam pekat, kulitnya retak seperti arang. Mereka bukan manusia penuh lagi bayangan sudah menguasai mereka.

“Untuk Malrik!” raung salah satunya, sebelum menebas dua prajurit lain tanpa ampun.

Pasukan mundur panik, barisan hampir buyar. Edrick menarik Ashenlight, cahaya birunya membelah lembah yang gelap.

“Bertahan!” suaranya menggelegar. “Mereka bukan prajurit kita lagi mereka milik bayangan!”

Api biru menyambar, membakar tubuh pengkhianat pertama hingga hancur jadi abu. Tapi dua lainnya menyerang dengan kegilaan, kekuatan mereka jauh di atas manusia biasa.

Salah satunya melompat ke arah Rowan, pedang terangkat tinggi. Rowan gemetar, telinganya dipenuhi bisikan bayangan.

“Bunuh dia, bergabunglah dengan kami…”

Namun sebelum pedang itu menebas, Rowan berteriak keras, menancapkan tombaknya. “Aku bukan milik kalian!”

Pedang musuh patah oleh cahaya biru yang memancar dari tombak Rowan bukan api penuh, tapi kilatan kecil seolah cahaya itu merembes lewat tekadnya.

Edrick menebas pengkhianat terakhir dengan Ashenlight, api biru meledak hingga membakar bayangan keluar dari tubuhnya.

Lembah hening.

Ratusan prajurit menatap Edrick dengan wajah pucat, masih gemetar. Tapi perlahan, suara sorak kecil terdengar.

“Pangeran Hale…” bisik seorang prajurit.

“Api biru menyelamatkan kita…”

Edrick mengangkat pedangnya tinggi, api biru berdenyut kuat. “Ingat ini! Bayangan bisa menyusup ke siapa saja. Bahkan ke saudaramu, bahkan ke sahabatmu. Tapi selama kita punya cahaya, kita tidak akan tunduk!”

Sorak gemuruh menggema, kali ini bukan sekadar sorak karena darah bangsawan melainkan sorak karena kepercayaan yang mulai lahir.

Di kejauhan, Selene menatap Rowan dengan tatapan khawatir. “Kau melihat itu?”

Rowan masih gemetar, menatap tombaknya yang berkilat samar. “Aku… aku tidak tahu apa yang baru saja kulakukan. Tapi bayangan di dalamku… seolah terbakar sebentar.”

Selene berbisik, “Atau mungkin… api itu tidak hanya milik satu orang.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!