NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Bos Cassanova

Jerat Cinta Bos Cassanova

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Kehidupan di Kantor / CEO / Percintaan Konglomerat / Menyembunyikan Identitas / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Stacy Agalia

Audy Shafira Sinclair, pewaris tunggal keluarga konglomerat, memilih meninggalkan zona nyamannya dan bekerja sebagai karyawan biasa tanpa mengandalkan nama besar ayahnya. Di perusahaan baru, ia justru berhadapan dengan Aldrich Dario Jourell, CEO muda flamboyan sekaligus cassanova yang terbiasa dipuja dan dikelilingi banyak wanita. Audy yang galak dan tak mudah terpikat justru menjadi tantangan bagi Aldrich, hal itu memicu rangkaian kejadian kocak, adu gengsi, dan romansa tak terduga di antara keduanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Semoga tidak ada jebakan

Pagi itu udara terasa segar, langit Jakarta masih berwarna biru pucat dengan awan tipis bergelayut manja. Dari arah dapur rumah besar keluarga Sinclair, aroma roti panggang dan kopi hitam tercium lembut, memenuhi ruangan makan yang elegan dengan sentuhan klasik modern.

Audy turun dari tangga dengan setelan kerja rapi—blazer biru muda dan rok span abu-abu, rambutnya diikat rapi setengah ke belakang. Wajahnya tampak segar meski sempat tidur larut malam.

“Selamat pagi, Daddy,” sapa Audy sambil duduk di kursi seberang ayahnya yang sedang memeriksa tabletnya.

David menaruh sejenak tabletnya, menatap putrinya dari atas kacamata bacanya. “Pagi, Sayang. Tidurmu nyenyak?”

“Cukup nyenyak,” jawab Audy sambil mengoleskan selai stroberi di roti panggangnya.

David tersenyum tipis. “Bagus. Hari ini biar Daddy yang mengantarmy ke kantor, ya. Mobilmu akan diurus tim servis.”

Audy yang sedang meneguk jus jeruk langsung menelan cepat, nyaris tersedak. “Tidak usah, Daddy! Aku bisa pesan taksi online saja.”

David menatapnya dengan alis terangkat. “Taksi online? Kau yakin?”

Audy mengangguk cepat. “Iya, Daddy. Lagipula jarak dari sini ke kantor tidak begitu jauh. Aku tidak mau merepotkan Daddy yang pasti juga harus ke kantor.”

David menatap putrinya beberapa detik tanpa bicara, lalu tersenyum kecil—senyum yang lebih mirip ekspresi ‘aku tahu kau sedang menyembunyikan sesuatu’.

“Baiklah. Kalau begitu minta tolong pada Ratna saja untuk memesankan taksi. Tapi pastikan pengemudinya punya rating bagus, jangan asal pilih.”

Audy mengangguk cepat seperti anak kecil yang tertangkap basah berbohong kecil. “Siap, Tuan Sinclair.”

David menggeleng pelan sambil kembali menyesap kopi. “Kau ini benar-benar mirip Mommy-mu jika sedang mencoba menghindari sesuatu. Ekspresinya sama persis.”

Audy terkekeh kecil, pura-pura sibuk menghabiskan sarapannya. “Daddy lebay. Aku hanya mau berangkat lebih cepat, takut telat.”

Beberapa menit kemudian, Ratna—pelayan rumah yang sudah bekerja sejak Audy kecil—datang menghampiri, “Nona, taksi online-nya sudah di depan. Mari saya antar.”

“Baik, terima kasih, Mbak Ratna.”

Audy mengambil tasnya, menatap ayahnya sebentar. “Daddy, aku berangkat dulu, ya.”

David berdiri, menghampiri putrinya. “Baiklah, hati-hati di jalan.”

Ia sempat merapikan kerah blazer Audy, lalu menepuk lembut bahunya. “Dan jangan lupa kabari jika sudah sampai kantor.”

Audy mengangguk dengan senyum lebar. “Siap, Dad.”

Ia melangkah keluar rumah dengan semangat, masuk ke taksi online yang sudah menunggu. Begitu pintu tertutup dan mobil bergerak keluar dari gerbang, senyum lega terlukis di wajahnya.

“Yess, aman. Daddy tidak ngotot mengantar,” gumamnya pelan sambil menatap keluar jendela.

Namun, tanpa sepengetahuannya, sekitar dua menit kemudian, sebuah mobil hitam mewah meluncur perlahan keluar dari gerbang yang sama—dikemudikan oleh Aksa—asisten pribadi David, pria yang sudah belasan tahun mengabdi pada keluarga Sinclair.

Ia menyalakan bluetooth earpiece di telinganya dan berbicara pada seseorang melalui sambungan telepon mobil.

“Pastikan jarak mobil tetap dua mobil di belakang taksi online itu. Jangan terlalu dekat.”

Suara tuannya di ujung sana terdengar.

“Siap, Tuan. Pengawasan jarak aman.”

Aksa tersenyum kecil sambil menatap ke depan, “Putri Sinclair satu ini berpikir bisa menipu ayahnya.”

.....

Mobil hitam itu terus mengikuti dari kejauhan, menjaga ritme dengan tenang, sementara Audy di depan sama sekali tak menyadari bahwa ia sedang dilindungi dari bayang-bayang.

Dan di sisi lain, Aldrich sudah menunggu di lantai tertinggi perusahaannya—menatap jam tangannya, sambil tersenyum licik.

“Kita lihat hari ini kau bisa lari sejauh apa, Nona Asisten Baru.”

Begitu taksi online yang ditumpangi Audy berhenti di depan gedung megah Jourell Group, gadis itu menarik napas panjang sebelum turun. Ia membayar tarif perjalanan dengan cepat, lalu menatap bangunan tinggi itu—masih sama seperti kemarin, tapi entah kenapa, pagi ini terasa jauh lebih menegangkan.

Sementara itu, di seberang jalan, seseorang memperhatikan dari dalam mobil hitam yang berhenti di bawah bayangan pohon. Aksa tampak tenang—Ia mengangkat ponselnya, menghubungi seseorang.

“Tuan David, Nona Audy sudah tiba di kantor. Mobilnya aman. Tidak ada tanda-tanda orang mencurigakan.”

Suara David di ujung sambungan terdengar rendah dan mantap.

>“Baik. Tetap di lokasi sampai jam kerja dimulai. Setelah itu, kau bisa kembali. Terima kasih, Aksa.”

“Siap, Tuan.”

Sambungan terputus. Aksa menatap Audy dari jauh yang kini berjalan melewati halaman depan, langkahnya ringan tapi ekspresi wajahnya masih menunjukkan sisa kekesalan dari semalam.

Begitu tiba di area parkiran, Audy spontan berhenti.

“Lho…” ujarnya pelan, menatap mobil hatchback sederhana miliknya yang terparkir rapi di tempat biasa.

Mobil itu tampak bersih, bahkan ban yang kemarin kempes sudah terganti dengan yang baru. Tak ada tanda-tanda bekas perbaikan. Ban itu sempurna, seperti tidak pernah ada masalah sama sekali.

Audy mengerutkan kening. “Cepat sekali… pasti karena Daddy,” gumamnya, separuh yakin, separuh pasrah.

Ia sempat melirik ke sekeliling, memastikan tak ada yang memperhatikan, lalu menepuk-nepuk kap mobilnya dengan ekspresi lega. “Terima kasih ya, mobil kecil, kau masih setia.”

Setelah itu, Audy melangkah masuk ke gedung, menyapa beberapa resepsionis yang sudah hafal wajahnya sejak masih di divisi administrasi. Ia menekan tombol lift, dan saat pintu terbuka, ia menarik napas panjang lagi.

“Baiklah, Audy Sinclair, siapkan mentalmu. Ini hari kedua jadi asisten si monster elegan.”

Beberapa detik kemudian, pintu lift terbuka di lantai tertinggi. Audy melangkah keluar dengan langkah kecil penuh kewaspadaan—seperti prajurit yang masuk ke medan perang tanpa perisai.

Begitu membuka pintu ruang kerja besar itu, pemandangan pertama yang ia lihat adalah sosok Aldrich—duduk di kursi kebesarannya, jas hitam rapi, tangan kanan memegang pena, sementara tangan kiri mengetuk pelan meja. Tatapannya jatuh tepat ke arah Audy.

Senyum tipis dengan kadar tengil tinggi langsung terbit di wajah pria itu, “Selamat pagi, Asistenku. Tepat waktu, tumben.”

Audy memutar bola matanya, “Selamat pagi, Pak Aldrich. Maaf jika penampilan saya belum seformal itu, tadi pagi agak terburu-buru.”

Aldrich mengangkat alis, matanya berkilat seperti sedang menilai sesuatu yang menarik, “Ah, tak masalah. Seorang asisten yang kompeten tidak diukur dari pakaian, tapi dari seberapa cepat dia bisa membaca pikiranku.”

Audy menyipitkan mata. “Kalau begitu, saya boleh tahu, Pak, apakah hari ini saya juga harus jadi peramal?”

Aldrich menahan tawa, bersandar di kursinya, menautkan jari-jarinya di depan dada, “Tidak perlu meramal. Cukup ikuti instruksiku tanpa membantah. Oh, dan siapkan kopi—dua sendok gula, bukan tiga seperti kemarin. Kau membuatku terlalu manis sampai susah fokus kerja.”

Audy nyaris menjatuhkan map yang dibawanya. “Astaga… Pak Aldrich, saya bukan barista. Jika manisnya berlebihan, mungkin itu karena karma Bapak sendiri.”

Aldrich tertawa pelan, suara rendahnya menggema lembut di ruangan yang megah itu. “Karma, hm? Kau berani juga mengatakannya langsung padaku.”

“Sudah dari awal saya berani. Bapak saja yang baru sadar,” balas Audy dengan wajah datar.

Suasana hening sejenak—tapi bukan hening yang canggung. Ada percikan tipis di udara, seperti dua magnet berbeda kutub yang entah kenapa malah semakin saling tarik.

Aldrich akhirnya menatap Audy lebih lama, lalu mencondongkan tubuh sedikit ke depan, “Menarik sekali. Aku rasa hari ini akan panjang, Audy. Siapkan jadwal rapat jam sepuluh, lalu antar dokumen ini ke ruang legal. Setelah itu, temani aku ke meeting eksternal di luar. Jangan khawatir, kali ini tidak ada jebakan.”

Audy mendengus, mengambil dokumen dari meja pria itu. “Iya, iya. Tapi jika nanti ternyata ada jebakan, saya sumpahi Bapak mimpi dikejar kucing berbulu pink seminggu penuh.”

Aldrich nyaris tertawa terbahak, tapi menahannya. “Kucing pink? Kau benar-benar punya imajinasi yang aneh.”

“Terima kasih, saya anggap itu pujian.”

Audy berbalik hendak keluar, tapi sempat menatap pria itu dari ekor matanya—lalu buru-buru menatap ke depan lagi. Karena untuk sepersekian detik, ia yakin, Aldrich sempat menatapnya bukan sebagai bos… tapi sebagai pria yang benar-benar terpesona.

1
Itse
penasaran dgn lanjutannya, cerita yg menarik
Ekyy Bocil
alur cerita nya menarik
Stacy Agalia: terimakasih 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!