Bagi Luna, Senja hanyalah adik tiri yang pantas disakiti.
Tapi di mata Samudra, Senja adalah cahaya yang tak bisa ia abaikan.
Lalu, siapa yang akan memenangkan hati sang suami? istri sahnya, atau adik tiri yang seharusnya ia benci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Sandiwara Pagi hari
Sinar matahari pagi menembus tirai putih kamar utama dengan lembut, namun Luna sudah terbangun sejak jam lima pagi. Matanya yang sembab karena menangis semalaman menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Tidurnya tidak nyenyak, terus terbangun setiap beberapa jam karena teringat penolakan memalukan dari Samudra malam sebelumnya.
Kejadian itu terus berputar di kepalanya seperti rekaman yang rusak. Bagaimana dia mengenakan lingerie paling seksi yang dimilikinya, bagaimana dia merayu dengan segala kemampuan, dan bagaimana Samudra, pria yang selama hampir tiga tahun selalu mengemis perhatiannya dengan mudah menolaknya dan pergi meninggalkan kamar.
Luna bangkit dari tempat tidur dengan gerakan yang lambat. Tubuhnya terasa berat, bukan karena sakit tapi karena beban mental yang luar biasa. Harga dirinya sebagai wanita hancur berkeping-keping. Dia, Luna, wanita cantik yang selalu diincar banyak pria, ditolak oleh suaminya sendiri.
"Tidak boleh," bisiknya sambil berjalan menuju kamar mandi dengan langkah yang terhuyung. "Aku tidak boleh kalah sama dia."
Di depan cermin besar kamar mandi, Luna menatap pantulannya. Wajah pucat tanpa makeup, rambut berantakan, mata sembab, dia terlihat seperti bayangan dari dirinya yang biasanya sempurna. Tapi matanya masih menyala dengan tekad yang keras.
"Hari ini aku harus buat dia luluh," gumamnya sambil mulai menyiapkan air hangat untuk mandi. "Aku harus tunjukkan kalau aku bisa jadi istri yang baik."
Setelah mandi dan berdandan dengan makeup natural tidak berlebihan seperti malam sebelumnya, Luna mengenakan dress rumah berwarna pastel yang membuatnya terlihat domestik dan feminim. Rambutnya diikat ponytail rapi, memberikan kesan istri muda yang rajin dan penurut.
Jam menunjukkan pukul enam pagi ketika Luna turun ke lantai satu dengan langkah yang dipaksakan ringan. Di dapur, dia sudah melihat Senja yang sedang sibuk memotong sayuran untuk menu sarapan. Gadis itu mengenakan apron kuning cerah, rambutnya diikat kucir kuda, terlihat segar dan energik meski tangan kanannya masih dibalut perban.
"Pagi, Senja," sapa Luna dengan suara yang dibuat ramah, sangat berbeda dengan sikapnya yang biasa.
Senja terkejut mendengar suara Luna. Tangannya yang sedang memotong wortel terhenti, mata menatap kakak tirinya dengan wajah bingung. Sudah lama sekali Luna tidak menyapanya dengan nada yang ramah.
"Pagi, Kak Luna," jawab Senja hati-hati. "Kakak bangun pagi sekali hari ini."
"Iya, aku mau bantuin kamu masak sarapan buat Samudra," kata Luna sambil mengambil apron dari gantungan. "Kasihan dia, pasti capek kerja terus. Sebagai istri, aku harus lebih perhatian."
Senja makin bingung dengan perubahan sikap Luna yang sangat drastis. Kemarin sore kakak tirinya itu dengan sengaja menyiram teh panas ke tangannya, sekarang tiba-tiba mau bantuin masak?
"Eh, tidak usah, Kak," kata Senja sambil melanjutkan memotong sayuran. "Aku sudah biasa kok. Lagipula tangan Kakak kan tidak biasa pegang pisau, nanti malah luka."
"Tidak apa-apa," jawab Luna sambil memaksa mengambil pisau dari tangan Senja. "Aku kan istrinya Samudra. Sudah seharusnya aku yang masak buat suami sendiri."
Senja terpaksa memberikan pisau itu meski dengan perasaan tidak nyaman. Luna mulai memotong wortel dengan gerakan yang kaku dan tidak terbiasa. Potongannya tidak rata, ada yang terlalu tebal ada yang terlalu tipis.
"Kak, ini buat sup ayam. Wortelnya dipotong dadu kecil aja," saran Senja dengan hati-hati.
"Aku tahu!" bentak Luna refleks, kemudian menyadari nada suaranya dan langsung melunak. "Maksudku... iya, aku tahu. Terima kasih remindernya."
Mereka bekerja berdampingan dengan suasana yang sangat canggung. Luna terus berusaha terlihat aktif membantu, tapi sebenarnya dia lebih banyak menghalangi daripada membantu. Senja yang terbiasa bekerja sendiri jadi harus melambatkan tempo dan terus mengoreksi kesalahan Luna.
"Kak, apinya terlalu besar. Nanti gosong," kata Senja sambil mengecilkan api kompor.
"Oh, iya," jawab Luna sambil pura-pura mengaduk sup dengan gerakan yang tidak berpengalaman.
Setelah hampir dua jam dengan bantuan yang lebih merepotkan daripada membantu, akhirnya sarapan siap juga. Menu pagi itu adalah nasi hangat, sup ayam wortel, telur dadar, dan tumis kangkung, hidangan sederhana tapi bergizi yang biasa disiapkan Senja.
"Wah, hasil kerja sama kita bagus juga ya," kata Luna sambil menatap hidangan dengan puas, seolah dia yang mengerjakan semuanya.
Senja hanya tersenyum tipis. Dia tahu persis siapa yang benar-benar memasak, tapi tidak berani membantah Luna yang sedang dalam mood aneh.
Pukul tujuh pagi, Samudra turun dari lantai dua dengan penampilan rapi seperti biasa. Kemeja putih yang disetrika sempurna, celana kain abu-abu gelap, dan dasi biru navy yang diikat dengan pas. Rambutnya tersisir rapi ke belakang, wajahnya segar setelah mandi pagi.
Tapi matanya terlihat sedikit lelah, efek dari tidur di sofa ruang kerja yang tidak senyaman tempat tidur. Ketika melihat Luna yang sudah duduk manis di meja makan dengan apron masih terpasang, alis Samudra terangkat bingung.
"Pagi, sayang," sapa Luna dengan suara yang manis sekali, sambil bangkit dan menghampiri Samudra. "Aku sudah siapkan sarapan buat kamu."
Samudra menatap istrinya dengan mata yang curiga. Perubahan sikap Luna yang sangat drastis ini jelas ada hubungannya dengan kejadian malam sebelumnya.
"Oh," jawabnya singkat sambil duduk di kursi yang biasa ditempatinya.
Luna dengan semangat mulai menyajikan makanan di piring Samudra. Gerakannya dibuat-buat anggun dan penuh perhatian, sesekali tersenyum manis ke arah suami.
"Ini sup ayam buatan aku," kata Luna sambil menuangkan sup ke mangkuk. "Aku bangun pagi-pagi khusus buat masak ini buat kamu."
Samudra mengambil sendok dan mencicipi sup itu. Rasanya familiar, persis seperti sup yang biasa dibuat Senja. Bumbu-bumbunya, cara memasaknya, bahkan potongan sayurannya memiliki ciri khas yang sudah dikenalnya.
"Telur dadarnya juga aku yang buat lho," lanjut Luna sambil mengambil sepotong telur dadar dan meletakkannya di piring Samudra. "Aku juga yang tumis kangkungnya."
Samudra makan dalam diam, sesekali melirik ke arah Luna yang duduk di sebelahnya dengan wajah penuh harap. Istrinya itu terus bercerita tentang proses memasak yang katanya dilakukannya pagi ini.
"Aku sampai bangun jam lima pagi lho," kata Luna dengan nada bangga. "Biar kamu bisa sarapan masakan buatan istrimu sendiri."
Senja yang sedang membereskan dapur dari kejauhan mendengar semua omongan Luna dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi dia kesal karena hasil kerjanya diaku orang lain, tapi di sisi lain dia tidak mau memicu pertengkaran lagi.
Setelah menghabiskan sarapannya, Samudra meletakkan sendok dan garpu. Dia menatap Luna yang masih tersenyum penuh harap, menunggu pujian atau apresiasi.
"Luna," kata Samudra dengan nada yang tenang.
"Ya, sayang?" jawab Luna dengan mata berbinar.
"Masakan Senja memang selalu enak seperti biasa," kata Samudra sambil bangkit dari kursi.
Kalimat itu bagaikan petir di siang bolong bagi Luna. Wajahnya yang tadi berseri-seri langsung berubah pucat, mata membelalak tidak percaya.
"Apa maksudmu?" tanyanya dengan suara yang mulai bergetar.
"Maksudku, aku apresiasi effort Senja yang sudah masak sarapan enak ini meski tangannya masih luka," jawab Samudra sambil mengambil tas kerjanya.
"Tapi... tapi itu aku yang masak!" protes Luna dengan suara yang meninggi. "Aku yang bangun pagi! Aku yang repot-repot masak buat kamu!"
Samudra berhenti di depan pintu dan menatap Luna dengan tatapan yang datar. "Luna, aku sudah makan masakan Senja selama beberapa bulan ini. Aku hapal rasanya, cara memasaknya, bahkan cara dia memotong sayuran. Kamu pikir aku tidak tahu?"
"Tapi..."
"Terima kasih buat usahanya," potong Samudra dengan nada yang tidak berubah, tetap tenang tapi tegas. "Tapi next time, kalau mau berbohong, pastikan bohongnya lebih pintar."
Dengan kalimat itu, Samudra keluar rumah menuju mobil, meninggalkan Luna yang berdiri mematung dengan wajah memerah karena malu dan marah.
Luna menatap punggung Samudra yang menjauh dengan mata yang mulai memerah. Seluruh rencananya untuk memperbaiki hubungan dengan menunjukkan sisi domestiknya hancur dalam sekejap. Samudra tidak hanya tidak terkesan, tapi juga mempermalukan dia dengan mengatakan kalau dia bohong.
"SENJA!" teriak Luna sambil berbalik ke arah dapur.
Senja yang sedang mencuci piring langsung menghentikan aktivitasnya dan menghampiri Luna dengan wajah cemas.
"Ya, Kak?"
"Kenapa kamu tidak bilang ke Samudra kalau aku yang bantuin masak tadi pagi?" bentak Luna dengan mata yang menyala-nyala.
"Tapi... tapi Kakak memang cuma bantu potong wortel aja," jawab Senja dengan hati-hati. "Yang masak dari awal sampai akhir kan tetap aku."
"CUMA BANTU!" teriak Luna semakin keras. "Aku sudah capek-capek bangun pagi, bantuin kamu, terus kamu bilang cuma bantu?"
Senja mundur sedikit, takut dengan amarah Luna. "Maaf, Kak. Aku tidak bermaksud..."
"Kamu sengaja kan bikin aku malu di depan Samudra!" tuduh Luna sambil menunjuk-nunjuk wajah Senja. "Kamu sengaja tidak ngaku kalau aku ikut masak!"
"Kak Luna, aku tidak..."
"DIAMLAH!" bentak Luna sambil menggebrak meja makan sampai piring-piring bergetar. "Kamu memang sengaja mau merebut posisi aku di rumah ini! Kamu mau jadi istri Samudra ya?"
Tuduhan itu membuat wajah Senja pucat. Dia menggeleng keras sambil mundur lebih jauh.
"Tidak, Kak. Aku tidak pernah..."
"Munafik!" teriak Luna. "Dasar cewek munafik! Pura-pura polos padahal dalam hati mau ngambil suami orang!"
Senja merasakan air mata mulai menggenang. Tuduhan Luna sangat tidak adil, padahal dia sudah berusaha sebisa mungkin menghindari masalah.