NovelToon NovelToon
Menikah Dengan Sahabat

Menikah Dengan Sahabat

Status: sedang berlangsung
Genre:Pengantin Pengganti / Nikah Kontrak / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Mengubah Takdir
Popularitas:6.4k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Mereka tumbuh bersama. Tertawa bersama. Menangis bersama. Tapi tak pernah menyangka akan menikah satu sama lain.

Nina dan Devan adalah sahabat sejak kecil. Semua orang di sekitar mereka selalu mengira mereka akan berakhir bersama, namun keduanya justru selalu menepis anggapan itu. Bagi Nina, Devan adalah tempat pulang yang nyaman, tapi tidak pernah terpikirkan sebagai sosok suami. Bagi Devan, Nina adalah sumber kekuatan, tapi juga seseorang yang terlalu penting untuk dihancurkan dengan cinta yang mungkin tak terbalas.

Sampai suatu hari, dalam situasi penuh tekanan dan rasa kehilangan, mereka dipaksa menikah demi menyelamatkan kehormatan keluarga. Nina baru saja ditinggal tunangannya yang berselingkuh, dan Devan, sebagai sahabat sejati, menawarkan sebuah solusi yaitu pernikahan.

Awalnya, pernikahan itu hanyalah formalitas. Tidak ada cinta, hanya kenyamanan dan kebersamaan lama yang mencoba dijahit kembali dalam bentuk ikatan suci.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 31

 Satu Bulan Lebih

Suara tangisan bayi di pagi buta sudah menjadi musik rutin di rumah mungil Nina dan Devan. Bayi mungil mereka, Nizar, kini telah berusia satu bulan lebih. Pipinya semakin tembam, matanya sudah mulai bisa mengikuti gerakan orang di sekitarnya, dan tangisannya… makin nyaring!

Nina sedang duduk di atas kasur, menyusui Nizar sambil sesekali mengelus kepalanya dengan penuh kasih sayang. Di sampingnya, Devan yang masih dalam balutan sarung dan kaus oblong, sedang menguap lebar.

"Sayang... dia bangun tiap jam dua, terus jam empat, terus sekarang jam enam. Aku resmi jadi zombie," gumam Devan sambil menggaruk kepalanya.

Nina terkikik pelan. "Selamat datang di dunia ayah-ayah, mas Devan."

Devan merunduk ke arah bayi mereka dan mencium ubun-ubunnya. "Kecil-kecil cerewet banget kamu ya, Nizar. Kayak siapa sih, cerewet begini?"

"Kayak ayahnya!" jawab Nina cepat.

Devan hanya mengangkat alis. "Aku cerewet? Siapa yang tiap malam ngomel karena krim stretch mark-nya hilang terus?"

Nina tertawa geli, lalu tiba-tiba memandang pantulan dirinya di kaca lemari. Ia memegang perutnya yang masih berisi sedikit lemak dan paha yang makin berisi. Wajahnya mulai menunjukkan sedikit kegelisahan.

"Devan... aku gendutan ya?" tanyanya pelan.

Devan meliriknya cepat. Lalu dengan dramatis ia mendekat, menatap Nina seolah sedang melihat lukisan Mona Lisa.

"Kamu? Gendut?" Devan menggeleng keras. "Enggak, kamu itu seksi banget! Liat tuh... badanmu berisi, matamu bercahaya, rambutmu makin lebat. Kamu tuh kayak... kayak donat isi cokelat. Manis, montok, dan bikin ketagihan!"

Nina memukul bahu Devan sambil tertawa. "Devaaannnn... serius nih. Liat tuh pipiku makin bulat, perutku—"

Devan mendekapnya dari samping, memeluknya erat. "Nina sayang... kamu habis melahirkan manusia, loh. Manusia! Kamu tuh luar biasa. Berat badan naik itu normal banget. Yang penting kamu sehat, bahagia, dan bisa nyusuin Nizar dengan baik. Aku sayang kamu... apa pun bentuk tubuhmu."

Nina menatap mata Devan yang tulus. Dadanya bergetar. Bahkan setelah jadi suaminya, Devan tak pernah berhenti membuatnya merasa dicintai. Air matanya nyaris menetes karena terharu, tapi ia tahan. Ia memilih tersenyum dan mencium pipi Devan pelan.

"Terima kasih ya... suamiku."

Devan tersenyum bangga. "Nah, gitu dong. Jangan sedih-sedih. Lagian... kamu tetap satu-satunya wanita yang bikin aku deg-degan kalau lihat senyumnya."

Tiba-tiba, dari arah kamar mandi terdengar suara yang cukup keras—bunyi mainan mandi bayi yang terjatuh.

Keduanya saling pandang.

"Devan!" teriak mereka bersamaan.

Namun sesampainya di tempat tidur bayi, ternyata si kecil hanya bergerak-gerak sambil mengoceh, kakinya menendang boneka kelinci yang menggelinding sendiri.

Devan langsung menutup wajah dengan kedua tangan. "Ampuuuun... baru juga lima menit tenang."

Nina tertawa sambil menggendong Nizar. "Yuk, mandi dulu, Nak. Hari ini kita mau ke rumah Oma dan Opa."

Di rumah orang tua Devan, suasana riuh menyambut kedatangan mereka. Ibunya Devan langsung menyambar Nizar dari gendongan Nina.

"Aduuuuh... cucu Oma makin montok! Nih ya, pipinya bisa dipencet kayak jelly!" teriaknya penuh semangat.

Ayah Devan juga tak kalah semangat. "Ayo, sini sini. Ayah mau gendong cucu ayah dulu."

Devan dan Nina hanya bisa duduk di sofa sambil melihat dua kakek-nenek itu rebutan menggendong Nizar.

"Nah, baru terasa deh rasanya jadi 'agak bebas'," celetuk Devan sambil menyender ke bahu Nina.

"Jangan terlalu nyaman. Nanti kamu ditinggal di rumah sendirian sama Nizar," jawab Nina sambil mencubit pinggang Devan.

Mereka tertawa bersama. Hati mereka hangat. Meski hidup mereka kini lebih sibuk, lebih lelah, dan kadang kurang tidur, tapi kebahagiaan mereka tak tergantikan. Terutama ketika melihat bayi mungil itu tertidur dengan damai di pelukan kakek atau neneknya.

Dan saat mata mereka bertemu, cinta itu tetap ada. Sama seperti dulu saat mereka masih sahabat. Bahkan lebih kuat sekarang. Lebih dalam. Lebih nyata.

*

“Aaaaa! Nizar pup lagi!” teriak Devan dari kamar bayi dengan wajah panik setengah menangis, mengguncang seluruh rumah dengan suaranya yang luar biasa nyaring.

Nina, yang sedang duduk menyusui sambil membaca artikel parenting di ponselnya, langsung tertawa terbahak-bahak. Ia meletakkan ponsel dan bangkit dengan malas.

“Baru juga lima menit kamu ganti popoknya, Van. Masa udah pup lagi?” sahutnya sembari berjalan pelan ke kamar bayi.

Devan berdiri terpaku di samping boks bayi, satu tangan menggenggam popok bersih, sementara tangan satunya memegang tisu basah. Wajahnya tegang, seolah sedang membedah bom.

“Nina, dia menatap aku... kayak bilang, ‘Gantiin yang bersih ya, Pa, jangan salah arah!’ Gimana kalau aku salah? Ini... ini penuh ranjau,” keluhnya lirih.

Nina nyengir, mengambil alih si kecil sebentar untuk membersihkan bagian belakang Nina kecil, si bayi mungil mereka yang kini makin lincah. Devan masih berdiri seperti patung, mengawasi dengan mata membulat.

“Van, kamu bukan bedah jantung. Ini cuma popok.”

“Cuma popok? Ini medan perang, Nina. Ada cairan misterius yang tadi nggak ada, dan sekarang... tiba-tiba banyak.”

Nina tak bisa menahan tawa. Ia menyerahkan bayi itu kembali ke Devan dan berkata, “Coba ganti sendiri. Kamu harus belajar.”

Dengan napas berat, Devan mengangguk. “Baiklah, Demi Devan kecil. Papa akan berjuang.”

Beberapa menit kemudian...

“AAAAAAAAAAAAAAA!! Nina!! Aku kena! DIA SEMPROT AKU!!!”

Nina yang baru saja menuangkan teh di dapur, hampir menjatuhkan cangkir karena kaget mendengar teriakan Devan.

“Apa maksudmu semprot?” Nina setengah tertawa, setengah khawatir.

“Dia pipis! Waktu aku buka popoknya! Kenapa nggak ada tombol pause di bayi?!”

Nina datang dan mendapati Devan berdiri dengan baju bagian depan basah, sementara Ayla kecil tertawa kecil. Bahkan bayi mereka pun seperti tahu betapa lucunya ayahnya.

“Papa dikerjain bayi sendiri. Kamu kalah telak, Van,” ledek Nina.

Devan memandangi anaknya, lalu berkata dengan nada dramatis, “Kamu pasti mirip mamamu. Suka ngerjain papa.”

Nina mencubit lengannya pelan. “Iya dong. Biar seru hidup kita.”

Namun kebahagiaan sederhana itu tak berlangsung lama dalam hati Nina. Saat malam tiba dan Devan sudah tertidur pulas di sofa ruang tengah sambil memeluk boneka beruang besar milik anaknya, Nina duduk di depan cermin di kamar. Ia melihat bayangannya sendiri.

Tubuhnya... Berbeda. Pinggulnya membesar, perutnya belum sepenuhnya kencang, dan payudaranya terasa terlalu berat.

Pakaian-pakaian lama tak lagi muat. Bahkan daster longgar pun terasa sempit di bagian dada.

Ia mencoba berdiri dan memutar tubuhnya ke samping, berharap bayangan itu berubah. Tapi tetap saja, yang ia lihat adalah sosok yang tak lagi ia kenal. Sosok yang bahkan... ia sendiri sulit mencintai.

"Apa Devan masih cinta sama aku? Apa dia cuma bertahan karena Nizar kecil?" bisiknya lirih.

Tangannya memegang perutnya yang masih ada sisa lipatan. Air mata menetes diam-diam.

Beberapa hari terakhir Devan memang sibuk. Ia pulang cepat dari kantor, namun selalu tampak lelah. Tak ada lagi pelukan dari belakang saat Nina berdiri di dapur. Tak ada lagi pujian iseng seperti dulu.

Mungkinkah Devan... kecewa? Atau sekadar bosan?

Pikiran-pikiran itu tumbuh menjadi benih kecil dari rasa tidak percaya diri. Meski Devan belum pernah menunjukkan tanda-tanda menjauh, Nina merasa... mulai tak cocok dengannya.

Ia pun mulai menjaga jarak diam-diam. Tidur sering membelakangi Devan. Bicara secukupnya. Tawa pun makin jarang terdengar.

Namun Devan... belum menyadari ada yang berubah.

Besoknya...

“Nina, kamu kenapa akhir-akhir ini diem aja?” tanya Devan sambil memasukkan baju bayi ke mesin cuci.

Nina hanya tersenyum tipis. “Nggak apa-apa. Capek aja.”

“Kamu cantik pakai daster itu,” puji Devan tiba-tiba.

Nina hanya mengangguk tanpa menatapnya.

Dan saat itulah... Devan mulai merasa ada yang berbeda.

1
Eva Karmita
masyaallah bahagia selalu untuk kalian berdua, pacaran saat sudah sah itu mengasikan ❤️😍🥰
Julia and'Marian: sabar ya kak, aku kemarin liburan gak sempat up...🙏
total 1 replies
Eva Karmita
semangat semoga semu yg kau ucapkan bisa terkabul mempunyai anak" yg manis ganteng baik hati dan sopan ya Nina
Eva Karmita
semoga kebahagiaan menyertai kalian berdua 😍❤️🥰
Eva Karmita
lanjut thoooorr 🔥💪🥰
Herman Lim
selalu berjuang devan buat dptkan hati nana
Eva Karmita
percayalah Nina insyaallah Devan bisa membahagiakan kamu ❤️
Eva Karmita
mampir otor 🙏😊
Julia and'Marian: hihihi buku sebelumnya Hiatus ya kak, karena gak dapat reterensi, jadi males lanjut 🤣, makasih ya kak udah mampir 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!