Demi melunasi utang ayahnya yang menumpuk, Rumi rela menikah kontrak dengan Radit, duda kaya raya yang kehilangan istrinya tiga tahun silam karena perceraian.
Bagi mereka, pernikahan ini tak lebih dari sekadar kesepatakan. Rumi demi menyelamatkan keluarganya, Radit demi menenangkan ibunya yang terus mendesak soal pernikahan ulang. Tak ada cinta, hanya kewajiban.
Namun seiring waktu, Rumi mulai bisa melihat sisi lain dari Radit. Pria yang terluka, masih dibayang-bayangi masa lalu, tapi perlahan mulai membuka hati.
Saat benih cinta tumbuh di antara keterpaksaan, keduanya dihadapkan pada kenyataan pahit, semua ini hanyalah kontrak. Dan saat hati mulai memiliki rumah, mereka harus memilih. Tetap pada janji atau pergi sebelum rasa itu tumbuh semakin dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurAzizah504, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Anwar Jatuh Pingsan
Novi berdiri di depan tumpukan sayuran, memandangi satu per satu dengan saksama. Tapi saat tangannya baru mau meraih brokoli, suara berat yang terlalu dikenalnya, menyusup di telinga.
"Kamu lagi milih sayur, aku lagi milih masa depan? Lama bener perasaan."
Novi langsung noleh. Dan seperti dugaan, Nauval berdiri di sebelahnya. Rapi. Wangi. Dan menyebalkan. Bibirnya tersungging miring, senyum khas yang pernah bikin Novi kelepek-kelepek.
"Nauval?" nada Novi datar. "Ngapain di sini?"
"Nyari kamu. Aku cari di hatimu, nyasar ke supermarket," balasnya cepat.
Novi mendesah. "Kalau gombal bisa dijual, kamu udah jadi miliarder."
Nauval tertawa, ikut meraih satu ikat kangkung. "Kalau aku miliarder, aku bakal beli semua kata-kata manis buat kamu doang. Jadi nggak ada orang lain yang bisa manis-manis kecuali aku."
Novi melirik tajam, tapi pipinya sudah mulai panas.
"Kamu kenapa?" Nauval mencondongkan diri. "Kepanasan ya? Sini, aku tiupin. Tapi jangan nyuruh aku pergi lagi, Nov. Aku udah cukup jauh dari kamu waktu itu. Sekarang, aku nggak niat mundur lagi."
Novi terdiam.
Nauval melanjutkan, suaranya menurun satu oktaf, serius tapi tetap lembut, "Aku tahu aku bukan yang sempurna, Nov. Tapi kalau kamu kasih aku satu alasan buat tetap di sampingmu, aku akan jadi alasan kenapa kamu nggak pernah sendiri lagi."
Novi menunduk. Tangannya sibuk merapikan wortel padahal tidak berantakan.
Lalu Nauval dengan santainya nyodorin keranjang. "Udah, sini. Berat itu bawaanmu. Masa aku cowok diem aja? Nanti kangkungmu patah, masa depan kita bisa ikut gagal panen."
Novi mencoba menolak, tapi akhirnya menyerah. Ia tahu, dari semua kegombalan Nauval, ada yang terasa jujur dan nyata di dalamnya.
Dan saat mereka berjalan menuju kasir, Nauval bergumam kecil, cukup dekat di telinga Novi.
"Kalau kamu masih belum siap, nggak apa-apa. Tapi jangan larang aku buat siap jagain kamu."
Sebelum Novi sempat membalas, ponsel Nauval berbunyi. Ia melirik sebentar.
Nauval berbicara tentang pekerjaan. Pria itu tampak begitu serius di hari liburnya.
Novi tak lagi berharap akan perasaannya. Dia bukannya tak tahu. Saat hari syukuran Rumi, Nauval menghindar darinya.
Mungkin pria ini tak mau berjuang. Atau mungkin saja, perasaan itu telah hilang.
Selesai belanja, Nauval dengan santai menawarkan bantuan. "Biar aku anterin kamu pulang, Nov."
Novi sempat menolak, tapi akhirnya menyerah melihat wajah Nauval yang terlalu niat jadi 'pahlawan supermarket' sore ini.
Mobil Nauval melaju pelan, diiringi lagu mellow yang diputar lirih dari radio. Suasana di dalam mobil terasa nyaman, sedikit canggung, tapi juga hangat.
"Kamu sering gitu, ya, Val?"
"Sering gimana?"
"Nawarin anterin cewek-cewek yang kamu temuin di tempat belanja?"
"Hanya kalau cewek itu namanya Novi."
Novi meliriknya sambil tersenyum, memikirkan tentang Nauval yang selalu punya cara untuk menggodanya.
"Waktu itu kamu cantik banget, Nov."
Nauval tiba-tiba berkata. Tak ada lagi tawa atau gurauan.
"Kapan?"
"Pas acara syukuran Rumi. Kamu beneran cantik banget."
"Terus kenapa ngomongnya sekarang? Kenapa nggak waktu itu aja?"
Nauval tertawa kecil. Sorot matanya berubah sendu. "Aku sengaja nggak nyamperin kamu. Aku takut kamu nggak nyaman karena pengakuanku ke kamu."
Sunyi. Hanya suara lagu dan deru AC mobil yang terdengar.
Novi menunduk sebentar. Hatinya menghangat, tapi juga bingung. Ia menggigit bibir pelan, mencoba meredam degup jantung yang mulai tak beraturan.
"Novi ...." Ia menoleh sesaat, lalu kembali menatap jalan. "Aku nggak tau reaksi kamu bakalan gimana setelah ini. Tapi, aku mau bilang lagi, kalau aku suka kamu. Bukan cuma karena kamu manis atau mandiri. Tapi karena kamu bikin aku ngerasa pengin pulang."
Mobil pun tiba di depan gedung apartemen.
Novi hendak membuka seatbelt-nya, tapi Nauval menahannya dengan sentuhan lembut di pergelangan tangan.
Sejenak waktu terasa melambat. Novi terpaku. Ia tak berani menatap langsung, tapi bisa merasakan betapa tulus tatapan Nauval menelusup ke arahnya.
"Nov, jawab aku. Kamu mau jadi pacar aku? Kalaupun kamu nolak aku lagi, tolong kasih tau aku alasannya apa. Biar aku perbaiki. Dan saat aku memintamu lagi, aku kembali sebagai versi terbaik dari diri aku."
Hening. Novi menatap Nauval, napasnya terasa dangkal. Ada rasa hangat yang melingkupinya, tapi juga takut. Ia menunduk sebentar, lalu perlahan mengangkat wajahnya kembali.
"Kamu yakin, Val? Aku bisa nyebelin, loh. Nggak bisa masak, dan kalau marah bisa diem seminggu."
Nauval terkekeh pelan, lega. "Bagus. Biar seimbang. Aku juga nyebelin, nggak bisa masak, dan suka ngambek kalau kamu sibuk."
Novi tertawa kecil. Matanya mulai berbinar, seperti cahaya kecil yang baru saja dipantik setelah lama padam. "Iya. Aku mau."
Nauval mendesah pelan, seperti baru saja menahan napas panjang. Ia mengulurkan tangan, menyentuh jemari Novi perlahan. "Deal. Tapi satu permintaan."
"Apa?"
"Jangan pernah nyoba beli hati orang lain lagi. Hatiku udah milik kamu dari awal."
Novi tersenyum, lalu menggenggam tangannya erat. Di antara lampu kota yang menyala samar dan lagu mellow yang terus mengalun, ia tahu, hatinya baru saja pulang.
"Hm, biasanya kalau udah jadian, boleh dapet hadiah nggak?"
Novi memiringkan kepala, bingung. "Hadiah apaan?"
Nauval perlahan mendekat. Jarak wajah mereka makin dekat.
Novi menahan napas. Matanya mulai terpejam, refleks.
Lalu ....
Tap. Jitakan ringan mendarat di kepala Novi.
"Berharap apa, hayoooo?" kata Nauval sambil tertawa senang.
Novi membuka mata, syok. "NAUVAL!"
Dengan muka merah dan kesal bercampur malu, Novi langsung mendorong pintu mobil dan keluar.
"Udah ah! Ganggu orang aja."
Nauval cepat-cepat menurunkan kaca jendela mobilnya. Kepalanya muncul keluar, memanggil Novi yang sudah hampir masuk ke lobi apartemen.
"Novi!"
Gadis itu menoleh malas. "Apa lagi?"
Nauval tersenyum lembut. Kali ini tulus, tidak pakai candaan.
"Makasih, ya. Tidur yang nyenyak, Pacarku."
Novi menahan senyum, pura-pura cemberut. Tapi langkahnya jadi ringan. Hatinya sudah penuh bunga.
...****************...
Hari itu, Rumi pulang ke rumah Anwar tanpa memberi kabar. Hanya ingin mengantarkan makanan dan melihat keadaan ayahnya.
Saat tiba, rumah itu sepi. Tidak terkunci, seperti biasa. Ia masuk pelan-pelan.
"Pak?" panggilnya dari ruang tamu.
Tidak ada jawaban.
Langkahnya menuntunnya ke dapur, kosong. Ke kamar depan, juga kosong. Dan ketika membuka pintu kamar belakang, hatinya seperti diremas.
Anwar tergeletak di lantai, memegangi perutnya. Wajahnya pucat, tubuhnya basah oleh keringat dingin.
"Pak?! Ya Allah, Pak!" Rumi langsung berlari, berlutut di samping tubuh ayahnya. Ia mengguncang pelan.
Anwar membuka mata dengan lemah. "Rumi ...."
"Pak, Bapak kenapa?! Kenapa bisa kayak gini?!"
Rumi ingin menangis. Tangannya panik mencari ponsel.
"Udah, jangan hubungi siapa-siapa dulu. Jangan panik. Bapak cuma ... kecapean."
Lalu akhirnya, semua gelap gulita.
Suasana rumah sakit itu sunyi. Hanya suara monitor detak jantung dan napas berat yang terdengar di ruangan rawat inap.
Rumi duduk di samping ranjang, menggenggam tangan ayahnya yang masih lemah. Pandangannya kosong, hatinya masih belum pulih dari syok.
Pintu kamar terbuka cepat. Radit muncul dengan wajah cemas, dasinya masih tergantung longgar dan kemeja belum sempat diganti.
"Sayang!" Ia langsung menghampiri. "Gimana Bapak?"
Rumi berdiri, memeluknya erat. "Tadi Bapak pingsan di rumah. Aku ... aku panik banget, Mas."
Radit menatap wajah Rumi yang sembab. Ia mengelus kepala istrinya lembut, lalu menoleh ke arah ranjang.
"Jadi, apa kata dokter? Sebenarnya Bapak sakit apa?" suara Radit gemetar.
"Komplikasi, Mas," jawab Rumi pelan, menahan tangis. "Semua organ dalam Bapak rusak. Hati, jantung, paru-paru, semuanya hancur karena rokok dan alkohol. Tadi Bapak juga sempat muntah darah. Aku takut, Mas. Aku takut kehilangan Bapak."
Radit langsung menarik tubuh istrinya ke dalam pelukan. Ia bisa merasakan kegelisahan yang sama—panik, takut, sedih, semuanya menyatu di dadanya.
"Tenang ya, Rum. Kamu lagi hamil. Jangan terlalu larut. Aku nggak mau kamu atau anak kita kenapa-kenapa," ucapnya lembut, mencium ubun-ubun Rumi.
Di ranjang rumah sakit, Anwar perlahan membuka mata. Pandangannya samar, tapi cukup jelas untuk menangkap wajah menantunya.
"Maaf ganggu kamu kerja," gumamnya lirih, suara serak itu seperti membawa beban bertahun-tahun yang tertahan.
Radit menggeleng, lalu duduk di kursi di samping tempat tidur. Tatapannya lembut, tulus. Tak ada dendam yang tersisa di sana.
"Bapak nggak pernah ganggu. Bapak itu keluarga."
Anwar tertegun. Kalimat sederhana itu menampar perasaannya. Dulu, Radit yang dia benci, yang tak pernah dia anggap. Tapi hari ini, orang itu duduk di sampingnya, menjaganya, bahkan memaafkannya.
Di luar sana, bahaya loh
Berat memang, tapi aku yakin kamu kuat.