HARGA SEBUAH KESETIAAN
100% diambil dari kisah nyata
Dewanga hanya ingin diterima. Setelah ditolak berkali-kali karena miskin, ia menikahi Tini—janda delapan tahun lebih tua—dengan harapan menemukan pelabuhan. Yang ia dapat adalah badai tanpa henti. Enam tahun pernikahan menjadi neraka: bentakan setiap hari, hinaan di meja makan, ancaman diusir dari rumah yang bukan miliknya.
Ia terperangkap. Ingin pergi, tapi Aini—putri kecilnya—adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Ketika cinta berubah menjadi penjara, dan kesetiaan menjadi racun, Dewanga harus memilih: bertahan hingga hancur, atau berani menyelamatkan dirinya dan anaknya.
Sebuah kisah yang memilukan tentang cinta yang salah, kesetiaan yang keliru, dan keberanian untuk memilih hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BVB 13:pertemuan di pasar malam
Tiga tahun berlalu sejak Dewanga memutuskan berjualan gorengan.
Kini usianya dua puluh satu tahun. Tubuhnya lebih berisi—tidak lagi kurus seperti dulu. Kulitnya masih gelap terbakar matahari, tapi wajahnya sedikit lebih segar. Usaha gorengannya mulai stabil. Tidak besar, tapi cukup untuk hidup dan mengirim uang ke Rini setiap bulan.
Malam itu, Dewanga mendorong gerobaknya ke pasar malam—tempat baru yang ramai di pinggir kota. Lampu-lampu warna-warni menerangi deretan lapak pedagang. Aroma sate, bakso, dan kue bercampur jadi satu. Orang-orang berlalu lalang—keluarga, pasangan muda, anak-anak yang tertawa riang.
Dewanga memarkir gerobaknya di pojok dekat lapak mainan anak. Ia mulai menyusun gorengan di atas nampan—tahu isi, tempe mendoan, pisang cokelat, bakwan jagung. Aroma hangat minyak goreng mengepul.
"Gorengan! Masih anget! Lima ratus aja!" teriaknya dengan suara lantang.
Beberapa orang mulai mendekat. Membeli. Dewanga melayani dengan senyum ramah—senyum yang sudah ia latih bertahun-tahun meski hatinya tidak selalu bahagia.
***
Sekitar pukul delapan malam, saat Dewanga sedang membungkus pesanan, seseorang berdiri di depan gerobaknya.
Seorang wanita.
Dewanga mendongak.
Wanita itu berusia sekitar akhir dua puluhan—mungkin dua puluh sembilan atau tiga puluh tahun. Wajahnya kurus. Pipinya cekung. Ada bercak hitam—flek—di sekitar pipi dan dahi. Rambutnya diikat asal-asalan. Bajunya sederhana—kaos lusuh dan celana panjang yang sudah pudar warnanya.
Di sampingnya, seorang anak perempuan berusia sekitar tujuh tahun. Gadis kecil itu memakai jilbab putih, baju motif bunga hijau-hitam, dengan senyum lebar yang polos. Tangannya memegang tangan ibunya erat.
"Mas, pisang cokelatnya berapa?" tanya wanita itu dengan suara pelan.
"Lima ratus satu, Bu." Dewanga tersenyum.
Wanita itu merogoh saku celananya. Mengeluarkan beberapa lembar uang lusuh. Menghitung perlahan.
"Ambil dua, Mas."
"Siap." Dewanga membungkus dua pisang cokelat dengan hati-hati, menyerahkannya pada wanita itu.
Anak perempuan di sampingnya langsung tersenyum lebar. "Terima kasih, Om!"
Dewanga tersenyum pada gadis kecil itu. "Sama-sama, Dek."
Wanita itu menyerahkan uang seribu rupiah. Dewanga mengembalikan uang lima ratus ke tangannya yang kurus.
"Terima kasih, Mas." Wanita itu tersenyum—senyum yang lelah tapi tulus.
Dewanga mengangguk.
Mereka hampir berbalik pergi, tapi tiba-tiba anak perempuan itu menoleh lagi. "Om, jualan di sini terus?"
Dewanga tertawa kecil. "Iya. Setiap Sabtu malam. Kenapa, Dek?"
"Nanti Eka datang lagi ya, Om! Enak pisangnya!"
"Oke. Ditunggu." Dewanga melambaikan tangan.
Wanita itu menarik anaknya pelan. "Ayo, Eka. Jangan ganggu Om yang jualan."
"Iya, Mama."
Mereka berjalan menjauh.
Dewanga menatap punggung mereka sejenak—ibu dan anak yang berjalan berdampingan, tangan saling menggenggam. Ada sesuatu yang menyentuh di pemandangan itu.
Tapi Dewanga segera mengalihkan pandangan. Melayani pembeli berikutnya.
***
Minggu berikutnya, wanita itu datang lagi.
Kali ini ia membeli tempe mendoan. Eka—anak perempuannya—masih tersenyum lebar seperti minggu lalu.
"Om, Eka kangen gorengan Om!" kata gadis kecil itu polos.
Dewanga tertawa. "Wah, terima kasih ya, Dek. Ini, Om kasih satu lagi gratis buat Eka."
Mata Eka berbinar. "Benaran, Om?!"
"Benaran."
"Mas, gak usah..." Wanita itu terlihat malu.
"Gak papa, Bu. Buat anak kecil." Dewanga menyerahkan satu tempe mendoan ekstra pada Eka.
Gadis kecil itu langsung menggigit tempe itu dengan lahap. "Enak bangeeeet!"
Wanita itu tersenyum—kali ini sedikit lebih hangat. "Terima kasih, Mas. Mas baik."
"Sama-sama, Bu."
Ada jeda sebentar. Wanita itu terlihat ragu, tapi akhirnya bertanya pelan. "Mas... jualan sendirian?"
Dewanga mengangguk. "Iya, Bu. Sendirian."
"Gak capek, Mas? Dari pagi sampai malam gini?"
Dewanga tersenyum pahit. "Biasa aja, Bu. Namanya juga cari nafkah. Harus kuat."
Wanita itu menatapnya lebih lama. Ada sesuatu di matanya—entah itu kagum, atau kasihan.
"Mas... boleh tanya nama?"
"Dewanga. Biasa dipanggil Dewa."
"Oh. Saya Tini. Ini anak saya, Eka." Tini mengusap kepala anaknya lembut.
"Salam kenal, Bu Tini. Salam kenal, Eka."
Eka tersenyum lebar, tangannya melambai-lambai. "Salam kenal, Om Dewa!"
***
Sejak itu, Tini dan Eka menjadi pelanggan tetap.
Setiap Sabtu malam, mereka datang. Kadang membeli pisang, kadang tahu, kadang tempe. Dewanga selalu memberi satu ekstra gratis untuk Eka—karena ia melihat betapa bahagianya gadis kecil itu setiap kali dapat gorengan.
Perlahan, obrolan mereka mulai lebih panjang.
Tentang cuaca. Tentang pasar malam yang ramai. Tentang harga bahan baku yang naik.
Tapi Dewanga tidak pernah bertanya lebih dalam. Ia hanya melayani dengan ramah, seperti biasa.
Sampai suatu malam, Tini datang sendirian.
Tanpa Eka.
Wajahnya terlihat lebih lelah dari biasanya. Matanya sembab—seperti habis menangis.
"Bu Tini? Sendiri? Eka mana?" Dewanga bertanya dengan nada khawatir.
Tini tersenyum lemah. "Eka tidur di rumah, Mas. Lagi demam."
"Oh... semoga cepat sembuh ya, Bu."
"Amin. Terima kasih, Mas."
Tini membeli dua pisang cokelat seperti biasa. Tapi kali ini, ia tidak langsung pergi.
Ia berdiri di samping gerobak, menatap kosong ke keramaian pasar malam.
Dewanga meliriknya. "Bu Tini... baik-baik aja?"
Tini terdiam sebentar. Lalu ia menoleh, menatap Dewanga dengan mata berkaca-kaca.
"Mas Dewa... boleh saya... boleh saya ngobrol sebentar?"
Dewanga terdiam. Ia melihat wanita di hadapannya ini sedang menahan sesuatu yang berat.
"Boleh, Bu. Silakan."
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Tini mulai membuka cerita.
Cerita yang kelak akan mengubah hidup Dewanga selamanya.
**[Bab 13 Selesai]**