Nadira Elvarani yakin hidup pahitnya akan berakhir setelah menerima lamaran Galendra, lelaki mapan yang memberinya harapan baru.
Tapi segalanya berubah ketika ia terlibat skandal dengan Rakha Mahendra—anak bos yang diam-diam menginginkannya—menghancurkan semua rencana indah itu.
Di antara cinta, obsesi, dan rahasia, Nadira harus memilih: hati atau masa depan yang sudah dirancang rapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon itsclairbae, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 — Pilihanku, Untuk Kita
Nadira dan Rakha masih berpelukan di sofa. Keduanya tampak enggan beranjak, seolah ada pembicaraan yang belum selesai di antara mereka. Sebenarnya, hanya Rakha yang masih merasa ada yang belum selesai. Bagi Nadira, semuanya sudah selesai.
“Sayang...” panggil Rakha pelan, nyaris seperti bisikan.
“Hmm?” Nadira mendongak, menatap wajah suaminya. Tangannya masih sibuk memainkan kancing baju Rakha, sementara tangan satunya kini melingkar di pinggang lelaki itu—seolah tidak ingin ada jarak di antara mereka.
“Kamu serius tidak ingin bekerja?” tanya Rakha, berharap kali ini Nadira menjawab dengan jujur.
Ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mudah cemburu, bahkan jika Nadira menyebut nama Dimas. Ia ingin belajar menahan perasaan itu—terhadap siapa pun.
“Aku serius,” jawab Nadira mantap. Ia menghentikan gerakan tangannya dan menegakkan tubuh, menatap suaminya lekat-lekat.
“Lihat mataku baik-baik,” pintanya, sambil menunjuk matanya sendiri. Rakha menuruti, menatapnya dalam-dalam.
“Impian terbesarku adalah menjadi istri yang melayani suaminya setiap hari—memasak, menyiapkan segala keperluannya. Itu sudah jadi cita-citaku sejak dulu. Dan sekarang aku melakukannya bersamamu, suamiku,” ucap Nadira tulus.
Rakha tidak menemukan kebohongan dalam sorot mata Nadira. Setidaknya, itu membuatnya sedikit lega. Istrinya tidak sedang memendam keinginan yang terpaksa dikorbankan demi menyenangkannya.
“Tadi aku bertanya pendapatmu bukan karena aku ingin bekerja, tapi karena kamu bilang, Ayahmu ingin aku bekerja. Lagi pula, perusahaan itu juga milikmu,” jelas Nadira tanpa ada satupun yang disembunyikan.
“Benar hanya karena itu?” tanya Rakha, memastikan kembali. Ia ingin istrinya menjalani hidup bersamanya tanpa tekanan apa pun—entah karena pekerjaan yang tidak disetujui, atau hal lainnya.
“Iya, Sayang,” jawab Nadira lembut, membelai wajah Rakha penuh kasih.
Rakha menggenggam tangan istrinya di pipinya, lalu mengecupnya pelan. Sentuhan itu cukup untuk meredakan gejolak di dadanya.
“Sudah, ya. Jangan dipikirkan lagi soal ini,” pinta Nadira lembut. Ia sudah merasa nyaman dengan keluarga kecil mereka, dan tidak ingin Rakha meragukan hal itu.
“Ngomong-ngomong soal bekas kecupan, punyamu masih kalah jauh. Di tubuhku lebih banyak,” ucap Nadira, sengaja mengalihkan topik. Ia bahkan melepaskan beberapa kancing piyamanya untuk menunjukkan buktinya.
Rakha terkekeh melihat tingkah istrinya. Bekas kecupannya memang tersebar hampir di seluruh tubuh Nadira—cara halusnya menandai miliknya. Sementara itu, bekas kecupan Nadira di tubuh Rakha masih tampak malu-malu, ragu-ragu. Hanya satu-dua yang terlihat, salah satunya di leher.
“Apa kita akan melakukannya lagi malam ini?” goda Rakha, sambil memandangi tubuh Nadira. Sorot matanya menyiratkan bahwa ia sudah siap, jika istrinya memang menginginkannya.
Tanpa diduga, Nadira bangkit dari sofa dan duduk di pangkuan Rakha, menghadapnya nyaris tanpa jarak.
Ia mendekatkan wajahnya perlahan. Napas mereka saling bersentuhan. Tatapan mereka terkunci. Rakha menahan napas, menebak apa yang akan terjadi.
Namun, alih-alih mengecup bibirnya, Nadira justru memeluk leher Rakha erat-erat. Dengan suara pelan, nyaris seperti hembusan angin, ia berbisik di telinganya.
“Aku ngantuk sekarang,” ujarnya manja, lalu menyandarkan kepala di bahu Rakha.
Rakha spontan membulatkan mata. Ia menahan tawa yang hampir meledak. Semua sinyal yang diberikan Nadira membuatnya berpikir mereka akan melangkah lebih jauh. Ternyata, istrinya hanya ingin tidur dalam pelukannya.
Tidak butuh waktu lama, Nadira benar-benar terlelap dalam posisi itu—menyerupai anak koala yang lengket pada induknya. Rakha yang menyadari istrinya telah tertidur, perlahan bangkit, lalu mengangkat tubuh Nadira dengan hati-hati dan membaringkannya di atas kasur.
Setelah membaringkan tubuh istrinya, Rakha menarik selimut hingga menutupi Nadira sampai sebatas dada. Ia lalu berbaring di sisi ranjang lainnya, masuk ke dalam selimut, dan meraih tubuh Nadira dalam pelukannya—mencari kehangatan dari kehadiran perempuan yang kini menjadi rumahnya.
“Mimpi indah, Sayang,” bisiknya lembut di telinga Nadira, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan malam.
Rakha mengecup pelipis istrinya sekali lagi, lalu memejamkan mata dengan senyum kecil di wajahnya. Perlahan, tubuhnya pun tenggelam dalam kehangatan malam dan mimpi yang datang tanpa perlu dijemput.
***
Rakha membuka mata saat merasakan kecupan hangat mendarat di keningnya, disusul bisikan lembut yang menggelitik telinganya.
"Sayang, bangun," bisik Nadira, suaranya nyaris seperti doa yang menenangkan pagi.
Meski biasanya sulit terbangun, kali ini Rakha justru membuka mata lebih cepat—seolah tubuhnya tahu siapa yang memanggil.
"Eum?" gumamnya pelan, sebelum pandangannya menangkap sosok Nadira yang sudah rapi dan duduk di sampingnya, tersenyum dengan mata yang penuh kasih.
"Bangun, mandi. Aku sudah menyiapkan sarapan untuk kamu," ucap Nadira sambil mengelus lembut puncak kepala Rakha.
Sentuhan itu terasa begitu nyaman sampai-sampai Rakha ingin tetap tenggelam di bawah selimut. Tapi ia tahu persis—kalau sudah mepet waktu ke kantor, Nadira bisa berubah dari manis jadi galak dalam hitungan detik.
Dengan enggan namun pasrah, Rakha menggeser selimut dan duduk perlahan, mengucek matanya sambil melirik istrinya yang sedang tersenyum puas melihatnya bangun.
Cup.
Sebuah kecupan mendarat tepat di bibirnya. Lembut, manis, dan terasa seperti suntikan semangat pagi hari. Seketika tubuh Rakha yang semula masih berat pun terasa lebih ringan.
“Ayo, mandi sekarang. Ciuman lainnya akan menyusul di meja makan,” ujar Nadira sambil berbalik dan melangkah keluar kamar.
Rakha menatap punggung istrinya yang menjauh, senyum lebar masih mengembang di wajahnya. Sepertinya, dibangunkan dengan ciuman dan kata-kata manis seperti itu akan menjadi rutinitas baru yang tidak ingin ia lewatkan setiap pagi.
***
Setelah mandi dan mengenakan baju yang Nadira siapkan di atas kasur—seperti pagi kemarin—Rakha bergegas menuju ruang makan. Kali ini, ia sengaja membawa dasi yang belum terpasang, berharap bisa mengulang momen kecil yang diam-diam ia sukai.
Nadira, yang sedang sibuk di dapur, segera menyadari kehadirannya. Tanpa perlu diminta, ia menghampiri Rakha dan langsung meraih dasi yang melingkar di leher suaminya. Jemarinya lincah dan tenang, seperti sudah terbiasa melakukan hal itu sejak lama.
"Aku buatkan cemilan untuk kamu makan di kantor. Nanti jangan lupa dibawa, ya," ucapnya pelan, fokus pada dasi yang sedang ia rapikan.
"Iya, Sayang," balas Rakha, matanya menatap wajah istrinya yang begitu serius dan lembut dalam waktu yang bersamaan.
Begitu tangan Nadira menyelesaikan dasi di lehernya, Rakha langsung menyodorkan wajah dengan ekspresi penuh harap.
“Ciumannya mana?” tanyanya, seperti anak kecil yang menagih janji permen dari ibunya.
Nadira tertawa pelan, lalu menarik kerah kemeja suaminya agar sedikit menunduk. Bibirnya kemudian mendarat lembut di bibir Rakha. Bukan sekadar tempelan cepat, tapi serangkaian kecupan manja yang membuat Rakha memejamkan mata, menikmati tiap detiknya.
"Sudah, sekarang kita sarapan," ucap Nadira setelah mengakhiri ciumannya.
Rakha mengangguk kecil, senyuman masih terukir di wajahnya, seperti baru mendapatkan hadiah terbaik untuk memulai hari.