Lima mahasiswa mendaki Gunung Arunika untuk hiburan sebelum skripsi. Awalnya biasa—canda, foto, rasa lelah. Sampai mereka sadar gunung itu tidak sendirian.
Ada langkah ke-enam yang selalu mengikuti rombongan.
Bukan terlihat, tapi terdengar.
Dan makin lama, makin dekat.
Satu per satu keanehan muncul: papan arah yang muncul dua kali, kabut yang menahan waktu, jejak kaki yang tiba-tiba “ada” di tengah jejak mereka sendiri, serta sosok tinggi yang hanya muncul ketika ada yang menoleh.
Pendakian yang seharusnya menyenangkan berubah jadi perlombaan turun gunung… dengan harga yang harus dibayar.
Yang naik lima.
Yang turun… belum tentu lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irmann Nhh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19 UNIVERSE ARUNIKA— Jalan Pulang Selalu Mengarah ke Arunika
GPS masih aktif.
Titik lokasi Kayla bergerak pelan tapi konsisten — mengikuti jalan raya ke arah barat.
Bukan naik kendaraan. Berjalan.
Itu yang paling menakutkan.
Tidak ada manusia waras berjalan puluhan kilometer sendirian di malam hari.
Tidak tanpa alasan.
Tidak tanpa sesuatu yang memandu.
Aku berdiri, mengambil jaket, sepatu, tas. Refleks, tanpa pikir. Tubuh bergerak sebelum otak memutuskan.
Sari berdiri menghalangi pintu.
“Raka, jangan. Itu yang gunung mau.”
Aku menatap dia, suara patah: “Kalau kita biarin Kayla jalan sendirian sampai Arunika… dia hilang.”
Sari menggenggam bahuku keras. “Kalau lo kejar… lo hilang.”
“Aku nggak bisa biarin dia sendirian, Sar.”
Dia menggeleng cepat, hampir putus asa. “Orang yang mau nyelametin semua orang biasanya mati duluan.”
Aku mendekatinya, suara rendah: “Aku nggak mau jadi penyebab dia hilang.”
“Dan gue nggak mau lo hilang,” Sari membalas, suaranya pecah.
Mata kami sama-sama merah.
Ada momen beberapa detik ketika kami hanya menatap — diam, getir, tanpa jawaban.
Sampai akhirnya Sari menurunkan tangannya dan berkata pelan, hampir menyerah:
“Kalau lo mau pergi… gue ikut.”
Aku langsung menggeleng. “Nggak. Ini antara gue dan Kayla. Lo jangan ikut.”
Sari tertawa pendek — bukan senang, tapi sinis ke arah keadaan. “Lu pikir gunung bakal biarin gue diem di kota? Kalau gue nggak ikut, rasa bersalah gue ke lu bakal bikin pintu gue kebuka. Gue yang hilang duluan.”
Dia diam sebentar, lalu menambahkan lirih:
“Kalau satu dari kita harus hilang… gue mau ada di sana. Jangan biarin gue nunggu kabar kayak orang bego.”
Aku nggak punya kekuatan untuk melawan argumen itu.
Karena benar — menunggu seseorang hilang jauh lebih menyiksa daripada hilang bersama.
Jadi kami pergi.
Naik motor.
GPS terus hidup.
Titik lokasi Kayla bergerak stabil — ke arah desa sebelum pos pendakian Arunika.
Hampir seperti seseorang membimbingnya langkah demi langkah.
Di perjalanan, angin malam dingin sampai menusuk tulang.
Tapi dingin bukan masalah.
Yang mengerikan adalah sunyi jalanan.
Tidak ada mobil.
Tidak ada motor.
Tidak ada manusia.
Seolah seluruh dunia memberi jalan pada kami… dan pada Kayla.
Jam 02:40 dini hari.
Kami sampai di desa terakhir sebelum basecamp.
Ada satu warung yang biasa buka 24 jam untuk pendaki. Lampunya menyala.
Tapi tidak ada pelanggan.
Tidak ada suara TV.
Tidak ada pedagang.
Hanya seorang lelaki tua duduk di kursi plastik depan warung.
Tatapannya kosong ke langit.
Sari turun duluan. “Permisi Pak… ada cewek lewat sini? Tinggi segini… rambut panjang… sendirian…”
Lelaki tua itu tidak menjawab.
Setelah beberapa detik, dia hanya mengangkat tangannya lemah dan menunjuk… ke arah gerbang pendakian.
Aku menelan ludah.
Sari meremas tanganku kuat.
“Dia udah di sana…”
Kami belari menuju gerbang.
Dan tepat ketika sampai… aku melihat sesuatu yang membuatku hampir jatuh berlutut:
Kayla berdiri membelakangi kami.
Di depan gerbang kayu bertuliskan “SELAMAT DATANG DI GUNUNG ARUNIKA.”
Dia tidak bergerak.
Tidak menoleh.
Hanya berdiri diam… seperti sedang menunggu izin.
Sari menarik lenganku cepat ke belakang. “Jangan panggil nama dia! Jangan.”
Aku mengangguk — meski seluruh tubuhku ingin memanggil Kayla sampai suara habis.
Kami mendekat pelan-pelan, langkah kami hampir tidak bersuara.
Sari pelan berbisik: “Kalau Kayla melihat atau mendengar kita… gunung akan pakai perasaan dia untuk buka pintu kita.”
Tapi saat kami mendekat… Kayla akhirnya bicara duluan.
“Aku tahu kalian di belakang aku.”
Darahku membeku.
Dia menoleh perlahan.
Wajah Kayla terlihat normal. Tidak kosong. Tidak kerasukan. Tidak pucat.
Dia seperti Kayla yang biasa — tapi dengan mata merah karena menangis.
Dia tersenyum tipis ketika melihatku. “Sebelum lo marah… gue cuma mau bilang satu hal.”
Aku menahan napas.
“Aku nggak takut mati.
Aku cuma takut ninggalin kamu sendirian.”
Kalimat itu…
tepat itu…
yang membuat gunung mencintai dirinya.
Sari lirih memohon: “Kayla… bukan kayak gitu cara nolong orang. Lo nggak harus ngorbanin diri buat nunjukkin rasa sayang.”
Kayla menatap Sari. “Kalau gue nggak melindungin dia… siapa?”
Aku merasakan hal paling menyakitkan:
Kayla bukan ingin mati.
Bukan ingin menghilang.
Dia hanya ingin berarti.
Dan gunung Arunika tahu bagaimana menjadikan keinginan itu jebakan.
Aku akhirnya bicara — suara pecah total:
“Kay… pulang sama gue. Bukan lewat sini.”
Kayla menggeleng pelan. “Gue cuma bisa pulang kalau pintu Raka tertutup.”
Aku gemetar. “Siapa bilang begitu?”
Kayla menatapku, dan jawabannya lebih mengerikan daripada suara hantu mana pun:
“Raka yang bilang.”
Sari langsung menutup mulut, terkejut. “Ka… lu ngomong apaan ke dia…?”
Aku memutar ingatan, mencari kapan aku pernah mengatakan itu —
dan kemudian semuanya kembali seperti potongan puzzle jatuh ke tempatnya.
Malam di rumah… saat aku bilang:
“Kalau aku bisa milih, aku lebih baik hilang daripada ninggalin orang yang aku sayang.”
Kalimat itu mengunci pintuku sendiri.
Dan Kayla… mengambil alih kalimat itu untuk dirinya:
“Kalau Raka bisa hilang demi orang yang dia sayang… kenapa gue nggak bisa?”
Itu bukan manipulasi gunung.
Itu manipulasi hati manusia.
Sari langsung menarik napas panjang dan menarik sesuatu dari tasnya — kertas pesan dari Lintang.
Kertas itu bergetar di tangan Sari, tapi dia membacanya keras-keras:
“Jangan bawa siapa pun.
Jangan ajak siapa pun.
Jangan biarkan baris kelima muncul.”
Kayla menatap tulisan itu lama.
Air matanya mengalir… tapi bibirnya tersenyum seperti orang yang sudah memaafkan dunia terlalu banyak.
“Telat, Sar… gue udah jadi baris kelima.”
Aku menggeleng keras. “Enggak! Namanya hilang lagi! Daftar belum final!”
Kayla menatapku — bukan dengan harapan, tapi dengan penyerahan.
“Justru karena belum final… gue datang buat nentuin hasilnya.”
Dan saat itu aku akhirnya sadar:
Kayla datang bukan karena gunung memanggil.
Kayla datang karena dia takut aku memilih orang lain untuk menggantikan posisinya.
Bukan cinta.
Bukan mati.
Tapi ketakutan menjadi tidak cukup penting.
Sari menahan tangis: “Kayla… please… lo berharga tanpa harus ngorbanin diri. Lo nggak perlu jadi korban buat dicintai.”
Kayla tersenyum lembut. “Aku tahu. Tapi kalau ada harga untuk bikin seseorang hidup… gue rela bayar.”
Dan saat dia melangkah ke gerbang…
Aku sadar.
Kalau Kayla melewati gerbang… pintuku tertutup — aku selamat.
Tapi aku akan hidup selamanya dengan dosa bahwa seseorang memilih untuk hilang demi aku.
Gunung tidak membunuh manusia.
Gunung membuat manusia saling membunuh diri.
Dan saat Kayla menaruh tangan di gerbang pendakian…
Sari berteriak paling keras dalam cerita ini:
“RAKA — PILIH!!! SEKARANG!!!
PILIH SIAPA YANG LO RELAIN: LO ATAU KAYLA?!”
Dan itu pertanyaan yang tidak boleh dijawab…
karena begitu aku menjawabnya —
dunia mana pun akan runtuh.
Mataku menghadap Kayla.
Tapi tanganku digenggam Sari.
Dan di detik itu…
aku sadar:
Pilihan yang kubuat akan menentukan siapa yang hidup, siapa yang hilang… dan siapa yang kosong.
Aku buka mulut untuk menjawab —
tapi bab ini berhenti di detik sebelum kata pertama keluar.
Karena di sinilah takdir berubah menjadi tragedi —
bukan karena gunung…
tapi karena hati manusia harus memilih siapa yang paling layak diselamatkan.
pintu tertutup terbuka aja
lama banget horonrnya datang
geram sekali sama mereka main kabur aja
terasa banget horor nya.
aku suka horor