NovelToon NovelToon
Ketika Takdir Menemukan Langit

Ketika Takdir Menemukan Langit

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / CEO / Office Romance
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Lacataya_

Embun Nadhira Putri, 28 tahun, terjebak antara tuntutan pekerjaan dan desakan keluarganya untuk segera menikah. Ketika akhirnya mencoba aplikasi kencan, sebuah kesalahan kecil mengubah arah hidupnya—ia salah menyimpan nomor pria yang ia kenal.

Pesan yang seharusnya untuk orang lain justru terkirim kepada Langit Mahendra Atmaja, pria matang dan dewasa yang tidak pernah ia pikirkan akan ia temui. Yang awalnya salah nomor berubah menjadi percakapan hangat, lalu perlahan menjadi sesuatu yang jauh lebih berarti.

Di tengah tekanan keluarga terutama sang Mama, rutinitas yang melelahkan, dan rasa takut membuka hati, Embun menemukan seseorang yang hadir tanpa diminta.
Dan Langit menemukan seseorang yang membuatnya ingin tinggal lebih lama.

Terkadang takdir tidak datang mengetuk.
Kadang ia tersesat.
Kadang ia salah alamat.

Dan kali ini…
takdir menemukan Langit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6 – Notifikasi dan Satu Suara yang Masih Terngiang

Pagi itu, sinar matahari menembus pelan lewat tirai tipis kamar Embun, jatuh di dinding dalam bentuk garis-garis keemasan yang bergerak lembut seperti sapuan kuas pelukis. Cahaya itu menghangatkan sebagian ruangan, memantul pada rak buku kecil, meja rias sederhana, dan tumpukan skincare yang belum ia rapikan semalam. Udara di kamar masih bercampur sisa dingin AC yang bekerja terlalu keras, membuat embun halus menempel di permukaan kaca jendela.

Dari lantai bawah, aroma kopi yang baru diseduh mulai merayap naik—wangi manis dan pahit yang biasanya menjadi alarm alami bagi Embun setiap pagi. Aroma itu menyelinap ke dalam kamar seperti undangan untuk bangun dan menghadapi dunia.

Tapi pagi ini… bukan itu yang membuat matanya terbuka.

Di samping bantalnya, ponsel Embun terus bergetar pelan sejak beberapa menit lalu, deretan notifikasi muncul seperti antrean tamu tak diundang. Layarnya berkedip, memantulkan cahaya kecil-kecil yang menari di permukaan selimutnya. Nada getar itu menyusup masuk ke dalam tidurnya, mengusik perlahan sampai akhirnya ia terjaga dengan satu mata terbuka lebih dulu.

Embun menggeliat malas di bawah selimut, menariknya hingga menutupi bahu seakan masih ingin bersembunyi dari dunia. Tapi ponselnya kembali bergetar—sekali, dua kali, lalu tiga kali berturut-turut.

“Haaah… apaan lagi sih pagi-pagi begini…” gumamnya dengan suara serak khas baru bangun.

Ia meraih ponsel itu dengan gerakan malas, sempat menjatuhkan sedikit sebelum akhirnya berhasil menggenggamnya. Layar menyala terang, menampilkan daftar notifikasi yang seolah menunggu giliran untuk diperhatikan.

Embun memejamkan mata sejenak, menyerah pada kenyataan bahwa pagi ini sudah ribut duluan. “Ya Tuhan… hari baru mulai lima menit tapi dramanya udah kayak jam empat sore,” gumamnya dengan suara serak.

Ia menarik napas, meraih ponsel dengan mata yang masih setengah berdamai dengan dunia. Layar HP langsung menyala terang, menusuk mata, tetapi dua chat paling atas justru yang pertama membuatnya benar-benar bangun.

📱 Dion_Pion: Selamat pagi, Bun. Udah sarapan? Aku semalem mimpi kita ngobrolin film favorit.

📱 Ari_21: Hoy HRD, semaleman gue nunggu nomor WA lo. Kok malah nggak ada?

Embun mengerjap. Oh iya…

Ia langsung tepar tadi malam. Saking malunya setelah salah nyimpen kontak, salah kirim voice note, dan ngobrol sama pria asing yang bahkan bukan target chat-nya…

Ia baru inget, Ari bahkan belum dapat nomor WhatsApp yang bener.

“Aduh… dua cowok, dua gaya, satu kepala yang belum siap menghadapi hidup,” desah Embun sambil menepuk pelan pipinya.

Rambutnya masih awut-awutan seperti antena mencari sinyal. Ia bersandar ke headboard, mengatur posisi yang paling memungkinkan untuk multitasking: bangun tapi masih bermalas-malasan.

Dengan jempol bergerak lambat tapi pasti, ia mulai membalas.

📱 Embun_Pagi → Dion: Pagi juga, Dion. Mimpinya kok random banget sih 😅

Lalu ia berpindah ke chat Ari yang sedang menunggu jawaban.

📱 Embun_Pagi → Ari: Sorry Ari, semalem HP gue langsung ngehang. Chat-an di aplikasi ini aja ya, sama aja kok.

Dan ya… itu bukan sepenuhnya bohong. Setelah kejadian memalukan semalam, Embun tidak siap mengambil risiko salah simpan nomor untuk kedua kali. Main aman jelas lebih masuk akal.

Balasan Ari datang secepet orang rebutan diskon tanggal cantik.

📱 Ari_21: Ohhh, ya udah kalau gitu.

Singkat. Cepat. Kayak nahan baper.

Selang beberapa detik, notifikasi lain muncul.

📱 Dion_Pion: Haha, iya agak random sih. Tapi… semalem kamu juga ada di mimpi itu, jadi aku anggap pertanda baik aja ☕️

Embun menahan suara. Pipinya otomatis memanas. “Dion… kamu tuh… kenapa halus banget sih?” keluhnya sambil nyengir malu.

Ia menatap kedua chat itu bergantian—dari Ari yang absurd dan to the point, ke Dion yang manis dan berbahasa rapi. Sekilas ia merasa seperti lagi casting pemeran utama film romantis.

Bergantian, ia meladeni chat kedua pria itu. Sedikit tawa. Sedikit senyum. Sedikit speechless. Banyak deg-degan.

Akhirnya, ketika semua balasan sementara selesai, Embun menaruh HP di atas dadanya.

Kepalanya menatap langit-langit kamar, napasnya mengalir pelan.

“Yang satu bikin ngakak…” Ia menoleh ke kiri.

“Yang satu bikin hangat…” Ia menoleh ke kanan.

“…tapi—” Kalimat itu menggantung di udara.

Karena tiba-tiba, seolah diputar ulang oleh otaknya sendiri… bayangan suara semalam kembali muncul. Suara bariton ringan yang terdengar jujur tanpa niat flirting sama sekali.

“Aku nggak pernah ikut audisi Indonesian Idol.”

Deg. Embun membeku.

Itu… itu suara yang sama sekali tidak ia harapkan hadir di hidupnya. Suara yang muncul karena satu kesalahan kecil: salah kirim voice note.

Dan anehnya… itu suara yang justru paling menempel di kepalanya pagi ini.

Wajah Embun langsung memanas seketika, merah padam seperti habis lari dikejar tagihan listrik. Ia menepuk pipinya sendiri pelan-pelan, seolah ingin menyadarkan dirinya.

“Aduh, Buuunnn… kenapa sih lo belum move on dari salah kirim semalem? Itu kan cuma orang random!” bisiknya sambil menutup muka dengan bantal sebentar.

Tapi otaknya menolak tunduk. Rasa penasaran itu tetap menggelitik, membelit pelan seperti benang yang makin lama makin narik-narik pikiran.

Dengan ragu-ragu, ia membuka aplikasi chat. Recent chat paling atas masih terpampang jelas — Mr. Don’t Know, tanpa foto, tanpa keterangan… tapi justru paling bikin jantungnya berdebar.

Jari telunjuknya melayang di atas layar, gemetar dikit. “Jangan, Bun. Jangan. Jangan. Lo udah cukup malu semalem,” gumamnya kilat, seakan menegur dirinya sendiri.

Ia hendak menutup layar, jempolnya sudah bergerak— TAPI. Takdir punya selera humor yang aneh. Sebuah notifikasi baru muncul tepat di depannya.

Mr. Don't Know: Pagi, narator parfum. Suara lo masih kedengeran di kepala gue.

Embun membeku. Benar-benar membeku.

“ASTAGA…” Tangannya refleks menutup mulut, tapi kedua matanya langsung membulat dengan campuran syok dan girang yang ia sendiri nggak mau akui.

Senyum kecil, malu-malu tapi jelas terpampang, muncul begitu saja. Lalu Ia buru-buru mengetik.

Embun: Kok lo masih inget sih?! Gue udah bilang salah kirim 😭

Balasannya datang hanya beberapa detik kemudian — enteng tapi nancep.

Mr. Don't Know: Iya, makanya gue balas lagi. Soalnya gue penasaran. Orang yang bisa salah kirim se-random itu biasanya punya kisah menarik.

Embun mengerutkan kening sambil nyengir kecil. “Nih orang… santainya bisa bikin jantung gue olahraga pagi.”

Ia mengetik lagi sambil menghela napas malu:

Embun: Hahaha kisahnya nggak menarik sumpah. Cuma jempol gue yang pengkhianat.

Balasan dari si nomor misterius itu muncul lagi—lebih halus, lebih pelan, tapi entah kenapa terasa kayak nyerempet hati.

Mr. Don't Know: Mungkin jempol lo cuma lebih cepat dari hati lo.

Embun tertegun. Ia menatap layar lekat-lekat, bibirnya sedikit terbuka.

“Waduh… kalimatnya kayak halus tapi… nyentuh,” gumamnya, memeluk ponsel kayak memeluk rahasia baru.

Dada Embun terasa hangat aneh, semacam rasa penasaran bercampur geli bercampur deg-degan random. Ia bangkit dari kasur, masih pakai baju tidur yang kusut, lalu berjalan ke dapur sambil tetap menggenggam HP erat-erat.

“Ari lucu, Dion manis…” Ia bergumam sambil melangkah ke ruang tengah. “…ini orang asing misterius tapi kalimatnya… kayak nempel di kepala.”

Saat ia sampai di ruang tengah, Mama Raina sudah duduk manis di sofa, menyeruput teh hangat sambil menonton infotainment pagi. Suara sandal Embun membuat Mama menoleh.

Tatapannya langsung berubah curiga.

“Nah loh, Bun…” Mama menyipitkan mata. “Baru jam segini udah senyum-senyum kayak bintang iklan teh botol.”

Embun melotot kecil, tapi senyum di bibirnya gagal disembunyikan. “Mah, sumpah… aku kasih tau ya, aku tuh sekarang kayak lagi main catur tapi bidaknya tiga cowok.”

Mama Raina menaikkan satu alis dengan elegan. “Yakin bukan kamu yang jadi bidak di papan permainan mereka?”

Embun memandang langit-langit, mendesah panjang seperti aktris sinetron.

“Ihh enggak ya, Mah…” ia menatap layar HP-nya lagi. “…anak Mama cantik gini gak mungkin jadi bidak catur.” Lanjutnya dengan percaya diri.

Tiga notifikasi masih menari-nari, saling dorong rebut spotlight — masing-masing dengan gaya yang beda: Ari yang absurd, Dion yang hangat, dan … Si nomor misterius yang ia simpan dengan nama: “Mr. Don't Know”

Dan entah kenapa… justru nama itu yang paling lama bertahan di pikirannya.

*

Kantor Global Farmasi

Kantor hari itu terasa jauh lebih sibuk dari biasanya—seperti hari Senin yang memutuskan bertransformasi menjadi hari chaos nasional. Printer di pojok ruangan berdentum tak kenal lelah, suaranya kadang mulus, kadang tersendat seperti sedang protes jam kerja. Telepon kantor berdering dari berbagai sisi, bersahut-sahutan seperti sedang menyusun irama kacau mereka sendiri.

Aroma kopi instan bercampur dengan dinginnya AC—dingin level kulkas tiga pintu—mengisi ruangan HRD. Di tengah semua hiruk-pikuk itu, Embun duduk tegak di meja HRD-nya. Rambutnya ia kuncir setengah, blazer abu tipis membalut tubuhnya, dan wajahnya mencoba terlihat profesional.

Sayangnya… profesionalisme itu hanya bertahan 40%. Sisa 60% pikirannya sedang sibuk mikirin tiga notifikasi yang muncul pagi tadi dan satu suara bariton misterius yang anehnya masih berkeliaran di kepala.

Setiap beberapa menit, matanya melirik ke ponsel yang tergeletak di samping mouse pad—seolah HP itu memanggil, “Bun… liat gue… cek notif gue…”

Di sebelahnya, Karin sedang mengetik cepat sambil makan keripik kentang. Ini adalah kombinasi yang sudah jadi trademark-nya: sibuk tapi pasrah pada hidup.

Tanpa menoleh, Karin buka suara, “Kok lo senyum-senyum sendiri sih, Bun? Ada yang baru di payroll atau di hati?”

Embun hampir keselek udara. Ia cepat-cepat menegakkan duduk, bersikap seolah ia sangat fokus pada layar monitor.

“Payroll, lah. Gimana sih lo,” katanya sok tenang.

Karin langsung memutar kursinya, menatap Embun tajam dari ujung rambut sampai ujung meja. “Payroll gak bikin pipi lo semerah itu.”

Embun berhenti mengetik. “Rin… sumpah jangan mulai,” rintihnya sambil menatap monitor seperti berharap ada pop-up ajaib bertuliskan “Save Your Dignity?”

Sayangnya—yang muncul berikutnya justru Doni, staf IT yang dikenal sebagai king of nimbrung tanpa diundang. Dengan gaya sok cool, dia meletakkan map di meja Embun.

“Wih, HRD kita pagi-pagi udah glowing,” katanya sambil menyeringai. “Boleh dong tips skincare-nya?”

Embun menoleh lambat, memicingkan mata. “Skincare gue namanya kerja lembur.”

Karin nyaris tersedak keripik sambil nyeletuk, “Atau mungkin… chat lembur sama cowok kemaren?”

Doni langsung memasang wajah kepo maksimal. “Chat lembur? Waduh—waduh. HRD kita ini deket sama yang mana, nih? Yang absurd? Yang elegan? Atauaa…”

Embun langsung panik. “ENGGAK!” serunya terlalu keras.

Seluruh ruangan HRD spontan menengok. Beberapa staf yang lagi rapat kecil bahkan berhenti mengetik. Embun terkejut sendiri. “Eh—bukan… maksud gue… ya ampun…”

Karin menepuk bahu Embun pelan, santai banget seolah baru menenangkan anak kecil yang habis jatuh. “Tenang, Bun. Cinta tuh nggak bisa di-privacy mode, bestie.”

Doni mengangguk seperti profesor. “Betul. Notifikasi boleh dimute… tapi hati nggak bisa di-silent.”

Embun menempelkan dahinya ke meja. “Sumpah ya… kalian berdua tuh musuh produktivitas.”

Karin berdiri sambil minum air mineral, lalu berkata dramatis, “Musuh produktivitas? Bisa jadi. Tapi bestie pendukung kisah cinta lo? DEFINITELY.”

Doni menunjuk dirinya sendiri. “Gue juga mendukung! Tenang aja, Bun. Data percintaan lo aman kok.”

“Doni…” Embun menatapnya tajam. “Lo aja data slip gaji bisa hilang dua bulan lalu.”

Doni langsung membalik badan, pura-pura sibuk. “Itu laptop-nya, Bun. Laptop-nya.”

Embun akhirnya menunduk ke layar laptop, mencoba kembali fokus walau sudut bibirnya tetap tertarik naik sedikit. Ia mengetik data karyawan sambil berusaha mengabaikan ponselnya yang berkedip pelan.

Tapi wajahnya tidak bisa bohong. Ada kilau aneh—campuran deg-degan, geli, dan malu—yang tidak pernah muncul sebelumnya.

Sementara Embun masih berusaha fokus ke data karyawan yang bikin mata sepet, HP-nya bergetar lagi—tiga kali berturut-turut, dengan suara khas notifikasi aplikasi chat yang hanya muncul kalau ada keributan serius.

Embun melirik sebentar. Dan benar saja.

Group Chat: Tiga Peri Tanpa Sayap

Grup yang isinya Bia, Lona, dan dirinya sendiri. Tempat semua gosip, curhat, emosi nasional, dan teori konspirasi cinta diproduksi tanpa filter. Begitu dibuka, chat dari Lona langsung menyerang seperti petir di siang bolong.

Lona: EEEMMMMBBBUUUUUUUNNNN!! 😤 GIMANA KELANJUTAN APP DATING LO?! UDAH LO DOWNLOAD KAN???!

Embun langsung menutup mulut sambil cengengesan. “Ya ampun, ini orang belum minum es teh apa? Kok udah ngamuk duluan.”

Ia mulai mengetik.

Embun: Udah, tapi sumpah awalnya gue cuma iseng. Tapi ya… emang jadi agak rame sih.

Tidak butuh lama, nama Bia muncul.

Bia: Rame tuh maksudnya banyak match? Atau banyak yang bikin lo bingung? 😏

Embun merengut kecil sambil menahan tawa. “Emang jahat banget nih dua orang.”

Embun: Keduanya, mungkin. Tapi… gue kemarin malah salah kirim voice note ke orang random.

Pause. Tiga titik “typing…” muncul dari dua nama sekaligus. Embun sudah bisa membayangkan: satu bakal jerit, satu bakal menganalisis.

Benar saja.

Lona: HAHAHAHAHAHA ASTAGAAAAA 😭😭😭😭😭😭😭 LO GAK BOLEH ISENG LAGI, BUN!! TERUS GIMANA?? DIA BALAS GAK?? SUARANYA GANTENG KAN?? 😭🔥🔥🔥

Layar nyaris bergetar saking agresifnya energi Lona. Disusul pesan Bia yang jauh lebih tenang… tapi bikin kena mental.

Bia: Lona, napas dulu. Tapi jujur… gue juga mau tau. Balasan cowoknya gimana?

Embun ngakak kecil, pipinya sudah capek senyum dari tadi. “Kenapa sahabat gue dua-duanya kayak reporter infotainment begini…”

Ia mengetik lagi.

Embun: Dia jawab santai banget malah. Kayak… misterius tapi lucu. Terus… ya udah. Sekarang gue jadi penasaran sendiri.

Detik berikutnya, Lona kembali meledak.

Lona: MBUUUUNNNNN 😭😭😭 GUE UDAH GAK BISA FOKUS NGEDIT FOTO NIH!! KITA HARUS KETEMU SORE INI DI KAFE LANGGANAN!! GUE MAU DENGER VERSI LIVE-NYA!!

Embun : Lonaaa, ilangin huruf besar lo, mata gue sakit liatnya

Lona: Iya iya 

Bia: Setuju. Jam lima sore? Setelah lo pulang kantor, Bun. Kopi gue yang bayarin, asal lo cerita dari awal sampe akhir.

Embun memutar bola mata walaupun senyum lebar terpampang jelas.

Embun: Kalian berdua tuh jebakan batman beneran… Tapi yaudah, fix. Abis kerja kita ketemu di kafe biasa.

Langsung muncul sorakan khas Lona.

Lona: YESSSSS!! Prepare mental lo yaa, Bun! Gue bakal analisis karakter si “misterius salah nomor” itu dengan metode ilmiah: FEELING PEREMPUAN SEJATI 💅🏻✨

Bia, seperti biasa, langsung ngegas.

Bia: Feeling Lona itu cuma 30% ilmiah, 70% gosip.

Lona: Yang penting akurat 😤

Embun tidak tahan lagi. Tawanya meledak sampai hampir meluber kopi yang dibawakan Karin tadi. Karin otomatis menoleh, menatap penuh kecurigaan. “Grup temen-temen cewek lo lagi ribut ya?”

Embun mengangguk sambil menutup layar HP-nya. “Ho oh. Rame banget.”

Karin nyengir. “Lo mau keluar abis kerja?”

Embun mengangguk pelan. “Iya… anak-anak ngajakin ketemuan. Katanya mereka butuh denger cerita dari gue.”

Karin memutar kursi sambil senyum lebar. “Bagus. Dari tadi muka lo tuh kayak butuh dua hal: kopi dan klarifikasi.”

Embun mengambil tisu, lalu melemparkannya ke arah Karin. “Sialan lo!”

Karin menangkis sambil cekikikan. “Tenang, Bun. Kadang curhat sama sahabat lebih menyembuhkan daripada cuti dua hari.”

Embun hanya bisa mendesah sambil tersenyum. Dan untuk beberapa detik, kantor yang heboh terasa sedikit lebih ringan.

**

tbc

1
Bia_
ferdi lu bener bener ya,
Al_yaa
greget banget sama bab ini, gak sabar nunggu lanjutannya, updatenya bisa langsung 5 bab gak thor,penasaran bangettt
Al_yaa
cepatt cari orang bodoh itu papiiii
Al_yaa
cefatt rekrut diaa langitttt
KaosKaki
rasakno koe fer
KaosKaki
boleh gak berkata kasar buat di Ferdi /Panic//Panic/
Bubuuu
ceritanya bagus banget 👍👍😍😍
Al_yaa
yg buat virus perempuan, diremehin pulak tapi bikin satu gedung gonjang ganjing /Joyful/
aRa_
hebat banget embun, langsung ulti si Ferdi pake virus biar kicep
aRa_
bajigur banget si Ferdi /Panic/
aRa_
baru telponan aja udh deg degan ya embun
Al_yaa
ferdi, lo syibal banget yakk/Angry/
Al_yaa
pandangan pertama awal aku berjumpa /Hey//Hey/
Al_yaa
one step closer langit, berawal dari callan lama lama video callan dehhh
Bia_
akhirnya akhirnya /Scream/
Bia_
yaloh mereka udah Callan aja
KaosKaki
huuwwaaa akhirnya mereka ketemu tapi gak kenal /Sob//Sob//Sob/
KaosKaki
ada apa inih, kenapa bapaknya angkasa nongol. tor ada apa ini coba jelaskan
KaosKaki
bener bener dah ya, embun sama langit udah kaya anak abg banget /Facepalm/
Bia_
wow apakah akan ada plot twist Pemirsa 🤭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!