Mengandung Benih Presdir Dingin

Satu bulan berlalu begitu saja. Namun, tak ada perubahan berarti dalam hubungan pernikahan Alika dan Sagara.

Keduanya masih saling menjaga jarak, hidup berdampingan namun terasa seperti dua dunia yang berbeda.

Setiap hari mereka berbicara seperlunya. Tak ada pertengkaran, tapi juga tak ada kehangatan. Semua terasa datar, dingin dan hambar.

Pagi ini, seperti biasa, Sagara bersiap lebih awal untuk berangkat ke kantor. Lee, asisten pribadinya, sudah menunggu di garasi.

Sagara berdiri di depan pintu, merapikan jasnya. Alika mendekat perlahan, dengan senyum tenang yang selalu ia kenakan tiap pagi.

“Anda yakin tidak ingin sarapan?” tanya Alika.

“Aku masih kenyang. Ada meeting yang tidak bisa aku tinggalkan,” jawab Sagara tanpa menoleh ke arah sang istri.

Alika menganggukkan kepala.

“Baiklah, hati-hati di jalan,” ucapnya lembut, lalu menunduk mencium punggung tangan suaminya.

Sagara sedikit terkejut, meski ini bukan kali pertama. Setiap pagi, Alika selalu melakukannya. Mencium tangannya dengan hormat, seolah ia benar-benar suaminya dalam arti sesungguhnya.

Sagara tak pernah menolak, tapi juga tak pernah membalas. Hanya diam, mengangguk, dan melangkah pergi. Namun, hari ini ada yang berbeda.

Entah kenapa, saat bibir lembut Alika menyentuh kulit tangannya, ada rasa hangat yang mengalir perlahan ke dadanya. Seperti percikan kecil di tengah musim dingin.

Ia buru-buru berpaling dan masuk ke dalam mobil.

“Tuan?” tanya Lee yang menangkap kegelisahan samar dari ekspresi Sagara.

“Tidak. Jalan saja.”

**

**

Setelah kepergian Sagara, Alika duduk di halaman belakang rumah. Udara pagi masih sejuk, matahari belum terlalu tinggi.

Di hadapannya, bunga-bunga warna-warni bermekaran dengan anggun. Mawar, melati, dan beberapa anggrek menghiasi taman kecil itu.

Alika tersenyum sambil mengelus perut datarnya.

“Kamu baik-baik saja, Nak?” bisiknya pada sang bayi. “Ibu harap kamu tumbuh sehat, meski kamu berada di antara dua orang tua yang aneh.”

Tiba-tiba, suara bel pintu mengusik keheningan pagi itu.

Alika berdiri, membetulkan gaunnya, dan berjalan pelan menuju pintu depan. Ia tidak menunggu siapapun hari ini.

Saat membuka pintu, matanya membulat. Seorang wanita cantik dengan penampilan sempurna berdiri di hadapannya.

Perempuan itu tersenyum manis, manis yang terasa dingin.

“Hai,” sapanya lembut.

“Anda siapa?” Alika mengernyit.

“Aku Cindy.”

Alika terdiam sejenak, matanya mengamati wanita di hadapannya dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Dia sangat sempurna.

Wajah cantik, tubuh semampai, dan penampilan yang jelas menunjukkan kelas.

“Cindy?” Alika mengulang pelan, mencoba mengingat. Nama itu tak asing. Dan sebelum Alika bisa berkata apa-apa lagi, Cindy kembali melanjutkan.

“Aku kekasih Sagara. Aku yakin kamu pernah mendengar namaku.”

Alika tercekat. Oh, tentu saja. Cindy. Wanita yang sering disebut-sebut di kalangan media sebagai pasangan ideal bagi Sagara sebelum pria itu tiba-tiba menikah secara mendadak.

“Boleh aku masuk?” tanya Cindy sembari menyodorkan tangan ramah.

Alika meremas ujung gaunnya, gugup. Ia tahu, cepat atau lambat, akan bertemu wanita ini. Pria setampan dan sekaya Sagara, tentu tidak mungkin tidak punya masa lalu.

Tapi tetap saja, kenyataan di depan mata membuatnya agak tidak nyaman.

Dengan ragu, Alika menyambut uluran tangan itu.

“Saya Alika. Istri Sagara. Dan juga ibu dari bayinya!” ucap Alika dengan tenang, namun sorot matanya menunjukkan bahwa ia tidak semudah itu digoyahkan.

Cindy menaikkan alis, lalu tersenyum tipis. “Begitu, ya. Jadi ini benar-benar nyata. Kalian memang menikah.”

Alika mengangguk.

“Benar.”

Suasana di antara mereka mendadak sunyi. Hanya suara burung dan semilir angin yang menemani.

“Kamu wanita yang cukup kuat,” kata Cindy tiba-tiba. “Berani menikahi pria yang jelas-jelas tidak mencintaimu.”

Alika menahan napas. Apa-apaan wanita ini, kenapa dia membahas soal cinta padahal Alika sendiri tidak mencintai suaminya. Atau lebih tepatnya belum.

“Aku tidak sedang mencari cinta darinya. Aku hanya ingin bayiku lahir dengan status yang jelas,” jawabnya, masih dengan suara pelan tapi tegas.

Cindy tertawa kecil. “Jawaban yang bagus. Tapi sayang, Sagara bukan pria yang mudah dijinakkan. Percayalah.”

Alika mengangguk. “Aku tidak berniat menjinakkannya.”

Sejenak mata mereka saling bertemu. Ada ketegangan yang tak terucapkan. Dua wanita dengan latar belakang berbeda, tapi sama-sama berdiri di ambang luka yang dibungkus harga diri.

“Aku pamit. Hanya ingin memastikan bahwa kabar ini benar,” ucap Cindy, membalikkan tubuhnya.

Sebelum pergi, ia menoleh.

“Kamu harus kuat, Alika. Karena pria seperti Sagara bisa menghancurkan siapa saja.”

“Benarkah? Aku tidak yakin kalau suamiku akan melakukan itu,” sahut Alika membuat langkah Cindy terhenti. “Bagaimana kalau dia malah lebih dulu jatuh cinta padaku, atau bahkan tidak sanggup meninggalkanku sedetik pun?”

Ucapan Alika membuat kedua tangan Cindy terkepal erat. Wanita itu pergi tanpa mengatakan apapun.

Alika hanya menatap punggung Cindy yang perlahan menjauh. Dan setelah pintu tertutup, ia kembali mengelus perutnya.

“Tenang, Nak. Ibu tidak akan hancur. Lagipula, ibu sudah pernah hancur lebih dari ini, bukan?”