Satu tahun penuh kebahagiaan adalah janji yang ditepati oleh pernikahan Anita dan Aidan. Rumah tangga mereka sehangat aroma tiramisu di toko kue milik Anita; manis, lembut, dan sempurna. Terlebih lagi, Anita berhasil merebut hati Kevin, putra tunggal Aidan, menjadikannya ibu sambung yang dicintai.
Namun, dunia mereka runtuh saat Kevin, 5 tahun, tewas seketika setelah menyeberang jalan.
Musibah itu merenggut segalanya.
Aidan, yang hancur karena kehilangan sisa peninggalan dari mendiang istri pertamanya, menunjuk Anita sebagai target kebencian. Suami yang dulu mencintai kini menjadi pelaku kekerasan. Pukulan fisik dan mental ia terima hampir setiap hari, tetapi luka yang paling dalam adalah ketika Anita harus berpura-pura baik-baik saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Batasan yang Ditarik Ulang
Pagi hari itu, suasana di kamar Anita terasa tegang meskipun sudah tidak ada lagi suara monitor. Anita, yang kini sudah bisa duduk bersandar, merasakan tubuhnya perlahan menarik diri dari jurang sepsis. Ia lemah, tetapi hidup.
Dr. Sherly sedang mengawasi suster yang merapikan peralatan medis, memasukkannya ke dalam tas besar. Sherly telah melakukan pemeriksaan terakhir pada Anita, dan kondisinya stabil.
Saat itulah Aidan masuk. Ia berpakaian rapi, kemejanya licin dan tanpa kerutan. Ia terlihat seperti CEO yang siap kembali ke kerajaan korporatnya, dan ia ingin memastikan tidak ada sisa-sisa krisis yang mengganggu jadwalnya.
Aidan tidak menanyakan kabar Anita. Ia langsung berbicara kepada Sherly.
"Terima kasih, Sher," kata Aidan, nadanya profesional, tanpa kehangatan seorang sahabat. "Aku sudah transfer biaya jasamu dan suster. Kalian bisa meninggalkan rumahku sekarang."
Permintaan itu dingin dan langsung. Itu adalah perintah penggusuran yang terselubung.
Sherly mendongak, matanya yang tajam menatap Aidan. Ia tahu ini akan terjadi. Anita sudah stabil, dan kehadiran Sherly beserta tatapan menghakiminya adalah pengganggu bagi otoritas Aidan.
"Anita memang sudah stabil, Aidan," jawab Sherly tenang. "Tapi dia belum pulih. Infeksinya parah, dan dia butuh setidaknya dua minggu full di tempat tidur."
Aidan berjalan mendekat, kini pandangannya tertuju pada Anita. Anita, yang masih terlalu lemah untuk bereaksi, hanya bisa menatapnya dengan ketakutan.
"Aku bisa mengawasinya sendiri," kata Aidan, nada suaranya menyiratkan penghinaan. "Aku tidak perlu suster dan biaya harian yang mahal untuk melihatnya tidur. Kamu sudah melakukan tugasmu. Aku akan memberitahumu jika ada masalah."
Meskipun Aidan bersikeras bahwa ia bisa mengawasi Anita, Sherly tahu itu adalah kebohongan. Aidan hanya ingin membersihkan rumahnya dari saksi dan kembali memegang kendali penuh atas korbannya.
"Aidan," tekan Sherly, mengabaikan suster yang kini memandang ke lantai. "Kamu harus mengerti. Dia tidak boleh mengalami stres apa pun. Jika demamnya naik lagi, atau jika ia kembali mengalami nyeri tekan di perut, aku harus segera tahu. Aku akan tinggalkan obat-obatan dan kontak ku."
Aidan mendengus. "Aku sudah dengar. Jangan khawatirkan hal itu. Sekarang tolong, kami butuh privasi."
Ini adalah tes kekuasaan terakhir. Aidan ingin menunjukkan bahwa ia masih menjadi penguasa di rumah ini, dan Sherly, meskipun sahabatnya, hanyalah seorang kontraktor yang dibayar.
Sherly tahu ia tidak bisa melawan. Aidan telah membayar mahal untuk kerahasiaan ini. Satu-satunya cara ia bisa membantu Anita adalah dengan meninggalkannya dengan perlindungan dan janji yang diam.
Sherly menoleh ke Anita. Ia melihat ketakutan yang jelas di mata Anita saat melihat Aidan kembali memegang kendali.
Sherly berjalan ke sisi ranjang, mengambil ponselnya. Dengan gerakan yang sangat cepat dan tersembunyi dari pandangan Aidan, Sherly menuliskan nomor ponselnya di selembar kertas kecil dan menyembunyikannya di bawah botol pereda nyeri di meja samping Anita.
"Ini," kata Sherly lantang, memberikan bungkusan obat kepada Anita. "Minum ini sesuai jadwalku, tanpa kecuali. Jangan lupa makan. Dan Nita..." Sherly menatap mata Anita dalam-dalam, mengirimkan pesan yang tidak bisa didengar Aidan. "Jika kamu butuh sesuatu, meskipun hanya untuk berbicara. Hubungi aku."
Anita membalas tatapan itu dengan air mata yang menggenang. Air mata itu adalah janji dan terima kasih. Itu adalah pengakuan bahwa ia kini memiliki sekutu, meskipun sekutu itu adalah sahabat suaminya sendiri.
Suster, yang sudah mengerti situasinya, berpamitan singkat. Sherly mengambil tasnya.
"Aku akan menghubungimu setiap hari untuk memantau, Aidan. Jawab teleponku," Sherly memperingatkan, memenangkan poin terakhir dengan memaksa adanya komunikasi.
"Aku akan menjawab jika perlu," balas Aidan dingin.
Sherly dan suster itu akhirnya pergi. Pintu depan tertutup dengan suara pelan.
Keheningan melanda rumah itu. Hanya ada Anita, yang terbaring lemah, dan Aidan, yang berdiri di tengah kamar, mengawasi.
Aidan berjalan ke meja samping ranjang dan mengambil bungkusan obat yang ditinggalkan Sherly. Ia memastikan tidak ada hal mencurigakan. Ia puas. Lingkungan klinis yang mengganggu telah hilang. Saksi yang menghakimi telah pergi.
Aidan menoleh ke Anita, tatapannya kini kembali tajam dan penuh perhitungan.
"Dua hari kamu sudah memberiku kerugian yang besar, Anita," kata Aidan, nadanya kembali pada dominasi. "Sherly bilang kau harus istirahat. Aku akan membiarkannya. Tapi jika kamu sudah bisa berjalan besok, kamu harus segera menghubungi toko. Utang itu tidak libur."
Anita hanya bisa memejamkan mata, membiarkan ancaman itu berlalu. Ia tahu, Aidan telah merebut kembali wilayahnya.
Namun, di bawah botol pereda nyeri, tersembunyi secarik kertas yang memberinya harapan: kontak Dr. Sherly, satu-satunya sekutu yang ia miliki di dalam penjara amannya ini. Perang psikologis akan segera dimulai kembali.