NovelToon NovelToon
Bayangan Sang Triliuner

Bayangan Sang Triliuner

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Mafia
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: EPI

Fandi Dirgantara dikenal sebagai pewaris muda triliunan rupiah — CEO muda yang selalu tampil tenang dan elegan di hadapan dunia bisnis. Namun, di balik senyum dinginnya, tersimpan amarah masa lalu yang tak pernah padam. Ketika malam tiba, Fandi menjelma menjadi sosok misterius yang diburu dunia bawah tanah: “Specter”, pemburu mafia yang menebar ketakutan di setiap langkahnya. Ia tidak sendiri — dua sahabatnya, Kei, seorang ahli teknologi yang santai tapi tajam, dan Alfin, mantan anggota pasukan khusus yang dingin dan loyal, selalu berada di sisinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rahasia tiga gadis

Fandi menarik katana hitamnya dari sarung.

Cahaya bilahnya memantul dingin di udara malam.

Dan pada saat itu—

Tak ada lagi ruang untuk kebohongan.

Kilau bilah tajam itu membuat wajah Sila seketika memucat. Tubuhnya gemetar hebat, napasnya tersengal.

“Aku sudah cukup sabar selama ini,” ucap Fandi rendah, tatapannya nyalang dan dingin.

“Tapi kau terus mencari masalah denganku, ya, wanita sialan.”

Sreeet—!

“Aaarrrgghh!!”

Jeritan Sila memecah malam ketika bilah katana menyayat pahanya. Darah mengalir, tubuhnya ambruk terduduk di lantai, menjerit kesakitan.

Suara itu menembus hingga ke dalam rumah.

David tersentak. Ia berlari keluar—dan langsung membeku.

“A… ada apa ini?” suaranya bergetar hebat.

Fandi menoleh perlahan. Tatapannya menusuk, penuh ancaman.

“Apakah Anda tidak bisa mendidik putri Anda,” ucapnya tajam,

“hingga berani menyebarkan berita palsu tentang diriku?”

David menelan ludah. Lututnya hampir goyah.

“Aku… aku tidak tahu apa-apa,” katanya tergagap.

“Tenanglah. Aku akan menghukumnya. Aku pastikan dia mengklarifikasi semua kebohongan itu.”

Sila meringkuk di lantai, menahan luka dan tangis.

Fandi kembali menatapnya—lebih tajam dari sebelumnya.

“Dua jam,” katanya dingin.

“Jika kau belum klarifikasi… kupastikan kau mati malam ini.”

Tanpa menunggu jawaban, Fandi berbalik.

Mobil menyala.

Bukan Fandi yang menyetir—Alfin.

Mobil itu melesat meninggalkan rumah, menyisakan ketakutan yang menggumpal di udara.

Di dalam rumah.

David berjalan mendekati Sila.

Plaaak!

Tamparan keras mendarat di pipi putrinya.

“Kau tahu apa yang telah kau lakukan?!” bentaknya gemetar oleh amarah.

“Aku dan almarhum ibumu sial memiliki anak sepertimu!”

Ia mencengkeram dagu Sila kasar.

“Anggun harus mati di tangan Bang Atha karena ulahmu, wanita sialan!”

David menyeret Sila masuk ke rumah, menghempaskannya ke sofa.

“Sekarang buat klarifikasi!” bentaknya.

“Rekam dirimu. Akui semua kebohonganmu. Kirim ke semua wartawan yang kau bayar!”

Ia mendekat, suaranya berubah mengerikan.

“Kalau tidak… aku sendiri yang menyerahkanmu ke Fandi. Dan kau akan mati saat itu juga.”

“Papa tega menyerahkan aku?!” teriak Sila histeris.

Plaaak!

“Aaarrgghh!!”

“Kau pantas mati!” teriak David.

“Cepat buat video itu!”

Tangis Sila pecah. Tangannya gemetar hebat. Dengan napas tersengal, ia merapikan rambutnya, mengusap air mata, lalu menyalakan kamera.

Video Klarifikasi – Sila

“Selamat malam. Saya Sila.

Saya ingin meminta maaf atas berita yang beredar saat ini.

Semua itu tidak benar.

Saya bukan tunangan Tuan Muda Fandi Dirgantara.

Dan tidak ada wanita simpanan bernama Epi.

Semua itu adalah kebohongan yang saya buat sendiri.

Saya memohon maaf sebesar-besarnya kepada keluarga Dirgantara dan semua pihak yang dirugikan.”

Video itu diunggah.

Dikirim ke wartawan.

Dan—

Dalam hitungan detik, dunia berbalik arah.

🔥 KOMENTAR NETIZEN 🔥

💬 “Jadi selama ini fitnah? Jijik banget sama manusia kayak gini.”

💬 “Baru ketahuan langsung minta maaf. Dasar pengecut.”

💬 “Mukanya polos, kelakuannya iblis.”

💬 “Kasihan banget keluarga Dirgantara difitnah cewek murahan.”

💬 “Ini contoh wanita yang haus validasi.”

💬 “Hancur reputasi orang demi ego sendiri. Gila.”

💬 “Pantesan ditinggal. Mental busuk.”

💬 “Klarifikasi karena ketahuan, bukan karena sadar.”

💬 “Gak kasihan, ini pelajaran.”

💬 “Main api sama Dirgantara? Bunuh diri namanya.”

💬 “Semoga diproses hukum juga.”

💬 “Cewek model begini bikin malu kaum perempuan.”

💬 “Karma kerja cepat.”

💬 “Fitnah level dewa, tanggung jawab nol.”

💬 “Sekarang rasain sendiri.”

Komentar terus mengalir.

Menghantam.

Menghancurkan.

Sila menatap layar—

wajahnya pucat, napasnya gemetar.

Sila masih terduduk lemas di sofa ruang tamu.

Wajahnya kusut, matanya merah, pikirannya kacau.

“Sial…” gumamnya lirih, rahang mengeras.

“Kenapa aku jadi bahan gunjingan seperti ini…”

Tring… triiing…

Ponselnya berdering.

Nama temannya muncul di layar.

Sila mendecih kesal.

“Pasti mau nanya itu… sialan.”

Ia bangkit tertatih, pincang akibat luka di kakinya, lalu berjalan masuk ke kamar dan membanting pintu keras-keras.

Sementara itu, di warung kecil dekat kontrakan—

Kei masih duduk, secangkir kopi sudah dingin di depannya.

Tatapannya sesekali melirik ke arah kontrakan tiga gadis itu.

Dari kejauhan, sebuah mobil mendekat.

Kei langsung berdiri.

“Itu mobil Fandi…”

Ia cepat membayar kopi dan gorengan, lalu berjalan menuju tempat mobil itu berhenti. Begitu pintu terbuka—

Dug.

Kei masuk.

“Gimana, Fan?” tanyanya langsung.

“Entahlah,” jawab Fandi datar, tapi ada bara marah di suaranya.

“Kalau dia tidak klarifikasi… aku benar-benar membunuhnya.”

“Kenapa tadi kau tidak sekalian membunuhnya?” tanya Kei blak-blakan.

Fandi terdiam sejenak.

“Aku tidak tega pada Paman David,” katanya akhirnya.

“Bagaimanapun dia masih keluarga ayah. Dan istrinya baru meninggal… itu pun karena ayahku.”

Ia menghela napas berat.

“Aku menahan diri… untuk sekarang.”

Kei mengangguk pelan.

“Mereka aman-aman saja,” lanjut Kei.

“Tapi aku agak heran. Tiga gadis itu tadi seperti memasang sesuatu di gerbang. Aku tidak tahu pasti apa.”

Fandi menoleh tajam.

“Benarkah? Mereka melakukan apa?”

“Aku tidak tahu detailnya,” jawab Kei jujur.

“Tapi kelihatannya seperti pengamanan. Sejauh ini tidak ada yang mencurigakan.”

Fandi terdiam, menatap kontrakan itu sesaat sebelum mengalihkan pandangan.

“Baiklah,” katanya pendek.

Mesin mobil menyala.

Mereka pergi meninggalkan area itu.

Rumah Fandi.

Tidak ada percakapan sepanjang jalan.

Begitu sampai, Fandi langsung naik ke lantai dua, masuk ke kamar, membersihkan diri. Tak lama kemudian ia turun—hanya mengenakan kaus dan celana training.

Ia tidak melihat Kei atau Alfin.

Dan tidak peduli.

Ia langsung masuk ke mobil lagi dan pergi tanpa tujuan jelas.

Di kontrakan.

Epi, Rami, dan Rora baru saja selesai makan.

Mereka duduk bertiga di ruang kecil itu, suasana sunyi namun tegang.

“Kita kabur ke sini buat menghindari kasus itu,” ucap Rami pelan,

“tapi malah mengalami hal seperti ini lagi.”

“Iya,” sahut Rora.

“Padahal kita sudah hidup normal bertahun-tahun. Tapi kita juga tidak bisa terus diam. Masa cuma pasrah?”

Rami menoleh ke Epi.

“Pi… kenapa kamu tidak melawan waktu itu?”

“Sampai kamu terluka dan dirawat lama seperti ini.”

Epi menunduk.

“Kalau aku melawan,” katanya lirih,

“aku takut keadaannya jadi lebih parah. Kita ke sini memang untuk menjauh dari mereka… tapi sepertinya masalah itu tetap mengejarku.”

Rora meraih tangan Epi.

“Tenang. Kita hadapi bersama.”

Rami mengangguk.

“Dan kita tidak boleh lengah. Belakang kontrakan cukup luas. Kita bisa latihan. Setidaknya tahu cara bertahan.”

“Iya,” kata Rora serius.

“Kita tidak bisa cuma jadi korban.”

Epi menghela napas.

“Ada satu hal lagi,” ucapnya pelan.

“Aku bahkan tidak tahu siapa yang menculikku. Pandanganku kabur waktu itu…”

Suasana mendadak sunyi.

“Intinya,” Rora memecah keheningan,

“kita harus tetap waspada.”

Mereka saling menatap.

Di jalan yang tak jauh dari kontrakan itu, mobil Fandi berhenti dalam bayangan gelap.

Mesinnya mati. Lampu padam.

Jam di dashboard menunjukkan pukul 00.00.

Namun Fandi belum juga pergi.

Ia masih duduk di balik kemudi, tubuh tegak, mata tak lepas dari bangunan kontrakan di seberang sana. Setiap gerakan sekecil apa pun ia amati. Setiap suara malam terasa mencurigakan.

Sunyi.

Terlalu sunyi.

Di dalam kontrakan, Epi membuka pintu kamar pelan.

Ia menoleh ke kiri dan kanan.

Tidak ada Rora.

Tidak ada Rami.

Gadis itu menghela napas, lalu melangkah keluar rumah dan berdiri di depan pintu.

“Hah…”

Ia mengusap wajahnya lelah.

“Aku tidak bisa latihan di belakang,” gumamnya kesal.

“Ternyata ada acara… tengah malam begini malah ramai. Kalau ketahuan, habis sudah.”

Ia melirik jam ponselnya, lalu kembali menghela napas panjang.

Akhirnya, Epi duduk di teras kontrakan.

Kedua lengannya memeluk lutut.

“Hah…”

Napasnya terdengar berat.

“Apakah kami akan kembali seperti sebelumnya…”

“…jadi buronan lagi…”

Kata-kata itu hanya keluar sebagai bisikan di dalam hatinya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!