Fahira Azalwa, seorang gadis cantik yang harus menelan pahitnya kehidupan. Ia berstatus yatim piatu dan tumbuh besar di sebuah pesantren milik sahabat ayahnya.
Selama lima tahun menikah, Fahira belum juga dikaruniai keturunan. Sementara itu, ibu mertua dan adik iparnya yang terkenal bermulut pedas terus menekan dan menyindirnya soal keturunan.
Suaminya, yang sangat mencintainya, tak pernah menuruti keinginan Fahira untuk berpoligami. Namun, tekanan dan hinaan yang terus ia terima membuat Fahira merasa tersiksa batin di rumah mertuanya.
Bagaimana akhir kisah rumah tangga Fahira?
Akankah suaminya menuruti keinginannya untuk berpoligami?
Yuk, simak kisah selengkapnya di novel Rela Di Madu
By: Miss Ra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 6
Akhir pekan ini, Zidan sedang melakukan perjalanan menuju Pesantren, tempat di mana sang istri sedang tinggal di rumah orang tua angkatnya. Setelah melakukan perjalanan selama satu jam, akhirnya Zidan telah sampai di sana.
Kedatangan Zidan disambut antusias oleh Fahira. Abah dan Umi sebagai orang tua angkat Fahira pun ikut menyambut hangat menantu kesayangannya itu. Abah angkat Fahira bernama Kiyai Syarif Adnan Hakeem dan Umi angkat Fahira bernama Nur Jamilah Azahra. Fahira juga mempunyai kakak lelaki yang bernama Muhammad Rayhan Akbar.
Meskipun Fahira hanya anak dan adik angkat, tapi semuanya sangat menyayanginya. Karena Abah Syarif tidak mempunyai anak perempuan. Rayhan yang dulu merengek meminta adik perempuan tak disengaja dipertemukan oleh Fahira saat Ayah dan Ibunya meninggal karena kecelakaan. Ayah Fahira menitipkan dia pada sahabatnya, yaitu Abah Syarif Dan beliau pun menerimanya dengan senang.
"Assalamualaikum Abah, Umi. Apa kabar?" ucap Zidan saat menyalami mereka, saat berdiri di depan rumahnya yang terletak di belakang Pesantren.
"Waalaikumsalam, kami baik, alhamdulillah. Mari, silakan masuk, Nak Zidan," sahut Abah Syarif.
Zidan akhirnya masuk, diikuti istrinya dari belakang. Fahira lalu berjalan ke dapur dan menyiapkan minuman juga beberapa camilan untuk sang suami yang baru saja datang dari kota.
"Silakan, Nak Zidan, diminum tehnya. Bagaimana kabar di kota? Dan Ibu mu sehat kan?" tanya Umi Jamilah setelah duduk di ruang tamu menemui menantunya.
"Alhamdulillah, Ibu dan Eva sehat. Oh, iya, di mana Rayhan, Umi?" tanya Zidan basa-basi.
"Rayhan baru saja tadi pergi ke luar kota, menggantikan Abah untuk kajian di sana," sahut Abah Syarif menyela jawaban Umi Jamilah.
Mereka pun kini mengobrol hingga berakhir di meja makan untuk makan malam. Selesai makan malam, mereka mengobrol sejenak di ruang keluarga, lalu Abah dan Umi berpamitan untuk istirahat karena sudah jam sembilan malam.
"Abah dan Umi istirahat dulu, ya, Nak Zidan? Kau istirahat lah, sejak dari Jakarta kau belum istirahat, kan?" kata Umi Jamilah.
"Iya, Abah, Umi. Setelah ini saya akan istirahat," sahut Zidan tersenyum sopan.
Setelah kepergian mertuanya untuk beristirahat di kamarnya, kini Zidan mengajak Fahira untuk istirahat di kamar.
"Ayo, Sayang, kita istirahat. Aku juga ada suatu hal penting yang mau dibicarakan," ajak Zidan.
"Hal penting? Memangnya Abang mau bicara apa?" tanya Fahira penasaran sambil berjalan di samping suaminya.
"Kita bicara di kamar saja. Aku juga merindukan ciumanmu," bisik Zidan menggoda istrinya.
Fahira yang mendengar itu tersipu malu. Dia mencubit lengan Zidan pelan untuk menghilangkan rasa malunya. Kini keduanya melangkah menaiki tangga menuju kamarnya. Zidan duduk di tepi kasur dan menepuk-nepuk pahanya, memberi kode pada sang istri untuk duduk di atas pahanya.
"Sini duduklah, aku ingin bicara denganmu."
Fahira akhirnya duduk di atas pangkuan Zidan sesuai perintahnya. Zidan memeluk pinggang istrinya dan mengecup bibirnya singkat.
"Abang mau bicara apa? Kenapa serius sekali?" tanya Fahira penasaran.
"Begini, ehem," Zidan menetralkan tenggorokannya sesaat dan menatap Fahira, lalu kembali bicara. "Sayang, apa kau yakin dengan keputusanmu, menyuruhku untuk menikah lagi?" tanya Zidan dengan hati-hati.
Hal itu membuat ekspresi Fahira berubah sedih. Dia lalu menarik napasnya dalam dan menatap dua netra milik suaminya, kemudian menjawab pertanyaannya.
"Bang, aku yakin. Aku telah siap ikhlas jika Abang ingin menikah lagi. Asalkan Abang juga harus bersikap adil."
"Sayang, bukan pria sebaik Nabi yang bisa bersikap adil pada dua istrinya. Yang Abang tanyakan, apa kau benar-benar yakin dengan ucapanmu itu?" tanya Zidan sedikit menarik napas. "Aku hanya tidak ingin suatu saat kau justru meninggalkan aku hanya karena aku menikahi wanita lain," sambungnya.
Fahira nampak berfikir sejenak. Dia selama di Pesantren juga telah menyiapkan hatinya untuk berusaha ikhlas jika suaminya nanti menikah lagi.
"Insyaallah, Aira siap, Abang. Apa Abang sudah menemukan perempuan yang akan Abang nikahi?" balas Fahira balik bertanya.
"Ya, sudah ada. Abang juga sudah ada perjanjian dengannya. Namanya Viola, dia..."
Zidan menceritakan semuanya pada Fahira dari awal bertemu dengan Viola di Club malam. Sampai dia mengajaknya ke rumah makan dan bicara dengan Viola, bahkan menyepakati perjanjian yang sudah mereka sepakati bersama. Zidan telah menceritakan semuanya, tak ada yang ditutupi dari Fahira.
Fahira yang mendengar ceritanya, membuat wajahnya seketika berubah tegang.
"Jadi, dia seorang wanita 'kupu-kupu malam'?" tanya Fahira.
"Iya. Kau tidak masalah, kan, dengan rencana Abang?" balas Zidan balik bertanya.
"Tapi, Bang, dia wanita malam. Apa Abang tidak takut terkena penyakit menular?"
"Kau tenang saja masalah itu. Kita akan mengobatinya jika memang dia ada sedikit penyakit. Dan Abang tidak akan menyentuhnya sebelum dia sembuh. Dia juga bilang..."
Zidan yang mendengar Fahira nampak bergetar karena hampir menangis, akhirnya membawa Fahira ke dalam pelukannya dan berusaha menenangkan Fahira. Zidan mengusap kepalanya lembut dan mengecup pucuk kepalanya singkat.
"Sudahlah, sekarang kita lebih baik istirahat. Sudah malam, besok kita akan pergi jalan-jalan. Kau mau?" tanya Zidan berusaha mengembalikan senyum di bibir istrinya.
"Jalan-jalan kemana?" balas Fahira balik bertanya.
"Terserah kamu, kau mau pergi kemana? Ke pantai, ke Mal, atau bahkan ke tempat wisata yang lain?"
"Aku pengen ke pantai, Bang. Rasanya sudah lama sekali kita tidak jalan berdua seperti awal kita menikah," sahut Fahira masih dipangkuan sang suami.
"Oke, baiklah. Besok kita ke pantai. Ya sudah, kita tidur, yuk? Abang capek," kata Zidan tersenyum.
"Abang enggak minta nafkah batin? Aira sudah sehat, Bang."
Fahira menawarkannya dengan terang-terangan karena itu memang kebiasaannya yang selalu menawarkan diri pada sang suami jika Zidan sudah lama tidak meminta haknya.
...----------------...
Bersambung....
tapi sayangnya semua sudah di lihat Fahira
dan Fahira inilah resikonya mau di madu pasti sakit dan sangat sakit
dan ku harap kamu sedikit tehas ke ubu mertuamu jangan terlalu lemah dan psrah gotu aja
udah ngehadapin dua istri
tiba di rumah ibumu udah ngadepin ibu dan adikmu juga nikmati hidupmu ya zidan pasti bnyk drama nya
gak di madu hati dan pisik sakit
di madu malah tambah sakit