Melina Lamthana tak pernah merencanakan untuk jatuh cinta ditahun pertamanya kuliah. Ia hanya seorang mahasiswi biasa yang mencoba banyak hal baru dikampus. Mulai mengenali lingkungan kampus yang baru, beradaptasi kepada teman baru dan dosen. Gadis ini berasal dari SMA Chaya jurusan IPA dan Ia memilih jurusan biologi murnni sebagai program studi perkuliahannya dikarenakan juga dirinya menyatu dengan alam.
Sosok Melina selalu diperhatikan oleh Erick seorang dosen biologi muda yang dikenal dingin, cerdas, dan nyaris tak tersentuh gosip. Mahasiswi berbondong-bondong ingin mendapatkan hati sang dosen termasuk dosen perempuan muda. Namun, dihati Erick hanya terpikat oleh mahasiswa baru itu. Apakah mereka akan bersama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Greta Ela, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Hari-hari perkuliahan berlalu dengan cepat, disertai dengan ketegangan yang tak terlihat antara Erick, Melina, dan Devano. Setiap interaksi di kelas, di koridor, atau di kantin, terasa seperti tontonan bagi Erick, dan sumber kegelisahan bagi Melina. Devano sendiri tetap konsisten, fokus pada pelajarannya, dan sesekali menunjukkan perhatian tulus pada Melina yang seringkali membuat Melina salah tingkah.
Tibalah waktu Ujian Akhir Semester (UAS). Khususnya UAS praktikum pertumbuhan tanaman yang diajar oleh Miss Yolan. Soal-soal yang diberikan cukup rumit, menguji pemahaman mendalam para mahasiswa. Setelah ujian selesai, suasana di kampus mulai sepi. Para mahasiswa berbondong-bondong pulang, menanti hasil dan liburan panjang.
Saat pengisian nilai akhir, Erick harus menghadapi kenyataan yang pahit. Di tangan Miss Yolan, yang mengampu mata kuliah praktikum pertumbuhan, nilai Melina dan Devano mencolok di antara yang lain.
Miss Yolan mengetuk ruangan Pak Erick lalu masuk dengan sopan.
"Permisi Pak Erick, ini rekapan nilai akhir Pertumbuhan Tanaman kelas Biologi" ujar Miss Yolan.
Erick melihat nilai itu dan matanya langsung menuju pada kedua orang itu. Melina berhasil mendapatkan nilai A, begitu pula Devano.
"Miss, apakah nilai ini benar-benar murni?" tanya Erick meyakinkan
"Iya, itu sudah benar, pak. Memang Melina dan Devano meraih nilai tertinggi dikelas ini. Bapak juga bisa melihat bagaimana keaktifan mereka dikelas." ujar Miss Yolan menambahkan.
"Baik, Miss. Terima kasih banyak."
"Baik pak, saya permisi." Miss Yolan lalu keluar dari ruangan Erick.
Saat sudah selesai pengisian nilai, para dosen pun mengadakan rapat akhir semester. Miss Yolan memuji keduanya di rapat dosen, menyebut mereka sebagai dua mahasiswa paling cemerlang di angkatan ini.
Erick merasa geram. Ia duduk di ruang dosen, menatap daftar nilai akhir yang akan ia tanda tangani. Tidak mungkin ia mengisi nilai E pada Devano hanya karena rasa cemburunya.
Profesionalismenya sebagai dosen melarangnya melakukan itu, meskipun ia sangat ingin. Dengan terpaksa, Erick menuliskan nilai akhir Devano dengan IPK 3.99, sedikit lebih tinggi dari Melina yang mendapatkan 3.95. Ia tahu, dengan nilai yang sedekat itu, perbandingan antara keduanya akan semakin terlihat.
Seminggu setelah UAS dan pengisian nilai, liburan semester kembali tiba. Bunga, sahabat sejati Melina, awalnya berniat tidak pulang kampung. Ia ingin menemani Melina di apartemen, takut Melina kesepian lagi.
"Mel, aku di sini aja deh. Temenin kamu. Nanti kita bisa streaming film bareng, atau jalan-jalan ke mall," tawar Bunga dengan antusias.
Melina tersenyum, namun di dalam hatinya, ia menginginkan Erick yang menemaninya. Ia ingin Erick menjemputnya setiap malam, seperti semester lalu. Ia ingin Erick menemaninya full selama libur semester dua ini.
"Nggak apa-apa, Bunga. Kamu pulang aja. Aku beneran nggak sendirian kok, aku udah punya rencana. Lagian tiket pesawat udah kamu beli, kan? Nanti orang tuamu khawatir," Melina meyakinkan Bunga dengan senyum yang dipaksakan.
Setelah sedikit bujukan, Bunga akhirnya setuju. Ia memesan tiket pesawat untuk dua hari lagi.
"Oke deh, kalau kamu beneran nggak apa-apa. Tapi kalau ada apa-apa, langsung telepon aku ya! Jangan sungkan!"
Dua hari kemudian, Bunga pergi ke bandara, meninggalkan Melina sendirian lagi di apartemen. Keheningan kembali melanda Melina.
Di hari yang sama, Devano juga akan pulang ke kampung halamannya. Tiba-tiba, notifikasi DM Instagram Melina berbunyi. Itu adalah pesan pertama dari Devano secara personal.
@Devano12: "Mel, aku pulang ya. Kamu jaga diri di sana. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan chat aku."
Melina terkejut. Pesan itu terasa begitu tulus dan perhatian. Ia merasa sedikit bersalah karena telah salah sangka tentang Devano, yang ternyata memang hanya ingin menjadi teman yang baik.
@Melinaa_: "Iya, Devano. Kamu juga hati-hati di jalan. Selamat liburan."
Malam harinya, Erick menjemput Melina. Seperti biasa, ia mengirim pesan singkat agar Melina menunggunya di gerbang belakang apartemen yang lebih sepi. Melina mengenakan dress merah maroon simpel yang ia punya, bukan gaun mewah dari Erick. Ia merasa tidak ingin memancing emosi pria itu lagi.
Saat Melina masuk ke dalam mobil, suasana terasa canggung. Erick tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia hanya menyalakan mesin dan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Melina menatap wajah Erick yang tampak tegang. Rahangnya mengeras, matanya lurus menatap jalanan di depan.
Erick tidak tahu akan membawa Melina ke mana. Ia hanya ingin berkeliling, menenangkan emosinya yang selama seminggu terakhir ini terus membara akibat kehadiran Devano dan nilai yang nyaris setara.
Tangan Erick mencengkeram setir mobil dengan sangat kuat, emosinya menaik. Melina bisa merasakan aura kemarahan dan frustrasi yang terpancar darinya. Ia merasa takut. Erick tidak lagi memancarkan kehangatan seperti saat mereka berduaan di liburan semester lalu. Kali ini, pria itu terasa dingin dan jauh.
Melina tidak bisa lagi menahan diri. Ia merasa harus memecah keheningan yang mencekam ini.
"Erick... kamu kenapa?" tanyanya pelan, suaranya nyaris berbisik.
Erick tidak menjawab. Ia hanya terus menyetir, pandangannya terpaku pada jalan.
"Erick, aku tahu kamu marah... karena Devano, kan?" Melina mencoba lagi.
"Tapi aku sudah bilang, aku tidak ada apa-apa dengannya. Dia hanya teman. Aku cuma... aku cuma punya kamu."
Kata-kata Melina seperti memicu sesuatu di dalam diri Erick. Ia menghela napas panjang, lalu menghentikan mobil di tepi jalan yang sepi dan gelap. Lampu-lampu kota yang indah di kejauhan tampak buram di mata Melina.
"Kamu pikir semudah itu bagiku, Melina?" suara Erick rendah, namun dipenuhi emosi yang tertahan. Ia memutar tubuhnya menghadap Melina, mata hitamnya menatap tajam.
"Melihatmu dekat dengan dia, melihatnya menatapmu di kelas, bahkan mendapatkan nilai yang sama tingginya denganmu, itu membuatku stres, Melina. Aku sudah berusaha menahannya, tapi aku tidak bisa lagi."
Melina menelan ludah. Ia belum pernah melihat Erick semarah ini.
"Aku takut, Erick," kata Melina jujur.
"Aku takut kamu marah. Aku takut kita kenapa-kenapa."
Erick meraih tangan Melina, menggenggamnya dengan kekuatan yang membuat Melina meringis pelan.
"Aku tidak ingin kehilanganmu, Melina. Aku tidak akan membiarkan siapa pun mengambilmu dariku. Tidak akan ada Devano, tidak ada mahasiswa lain, tidak ada siapa-siapa. Kamu hanya milikku."
Melina menatap mata Erick. Di sana, ia melihat cinta, tapi juga obsesi yang mengerikan. Ia menyadari bahwa ia telah masuk terlalu dalam ke dalam dunia pria ini. Ia mencintai Erick, tapi ia juga takut pada sisi gelapnya.
Liburan dua bulan ini, yang seharusnya menjadi waktu untuk bersenang-senang, kini terasa seperti pertengkaran bagi mereka. Erick tidak hanya ingin bersenang-senang dengannya, ia ingin menunjukkan kepemilikannya.
"I...iya.. maafkan aku Erick." ujarnya pelan.