"Nikah Dadakan"
Itulah yang tengah di alami oleh seorang gadis yang kerap di sapa Murni itu. Hanya karena terjebak dalam sebuah kesalahpahaman yang tak bisa dibantah, membuat Murni terpaksa menikah dengan seorang pria asing, tanpa tahu identitas bahkan nama pria yang berakhir menjadi suaminya itu.
Apakah ini takdir yang terselip berkah? Atau justru awal dari serangkaian luka?
Bagaimana kehidupan pernikahan yang tanpa diminta itu? Mampukan pasangan tersebut mempertahankan pernikahan mereka atau justru malah mengakhiri ikatan hubungan tersebut?
Cerita ini lahir dari rasa penasaran sang penulis tentang pernikahan yang hadir bukan dari cinta, tapi karena keadaan. Happy reading dan semoga para readers suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imelda Savitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pindah II
Begitu pintu apartemen tertutup di belakang mereka, Murni terpaku di tempatnya. Ketika matanya menjelajahi seluruh isi ruangan yang didominasi warna coklat kayu dan krem yang hangat. Apartemen bergaya studio itu tidak memiliki banyak sekat, yang membuatnya terlihat luas dan rapi.
Kaan menyalakan lampu, membuat keseluruhan ruangan tampak lebih hidup. Cahaya lembut menyapu lantai kayu yang mengkilap, memperlihatkan interior elegan dibalut kesederhanaan.
Sebuah sofa coklat berada di tengah ruangan, menghadap televisi layar lebar yang menempel di dinding. Di sisi lain tampak dapur terbuka dengan rak-rak modern dan peralatan serba metalik.
Kaan meletakkan tas Murni di atas sofa lalu melangkah ke arah pintu samping.
“Ini... kamarmu." Katanya sambil menunjuk pintu pertama yang ada di sebelah kanan.
“Kalau butuh sesuatu, ini kamar saya.” Timpalnya, menunjuk pintu disebelah kiri yang merupakan pintu kamarnya.
Murni mengangguk kecil. “I-Iya, mas.” Balas Murni sedikit gugup karena merasa canggung.
Kaan sadar jika hubungan diantara mereka berdua masih belum bisa dikatakan dekat. Dan ia juga tak ingin memaksa Murni untuk tinggal satu kamar dengannya, apalagi setelah melihat betapa gugupnya wanita itu sejak tadi.
Suasana di antara mereka terasa senyap. Hanya ada bunyi AC yang mengalun lembut dan detik jam dinding.
Untuk mencairkan suasana hening di antara mereka, Kaan beralih berjalan menuju ruang tamu.
“Um... This is the TV. Kalau bosan, kamu bisa nonton. TV-nya sudah saya setel. So, kamu tinggal memilih film yang ingin ditonton." Jelasnya, tanpa menoleh.
Murni melangkah perlahan mendekati televisi itu. Matanya membesar ketika melihat ukuran layar yang hampir seukuran jendela kamar rumahnya di kampung.
“Besarnya… kayak papan pengumuman di balai desa.”
Jujur saja, Murni baru pertama kali melihat TV selebar dan setipis itu, sebab selama ini ia menonton televisi menggunakan TV tabung. Itupun ia hanya bisa menonton tv di rumah Ayu karena ia tidak punya.
Kaan menjangkau remote yang tergeletak di atas meja, lalu menyerahkannya ke Murni. “Ini remote-nya.”
Murni menerima benda itu dengan kedua tangannya dan menggenggamnya pelan seperti memegang sesuatu yang rapuh. Jarinya menggantung di atas tombol-tombol tanpa berani menekan.
Melihat itu, Kaan mendekat dan berdiri di belakangnya. “Tombol yang merah ini tombol power, untuk menyalakan TV.” Jelasnya, suaranya terdengar rendah, nyaris seperti bisikan.
Lalu jari Kaan bergerak dan menekan tombol power itu.
Dalam sekejap, layar besar pun menyala, menampilkan siaran berita berupa potongan kejadian terkini di kota.
Lalu suara Kaan kembali terdengar ketika menjelaskan beberapa fitur yang ada di remote.
"Ini untuk mengganti saluran, ini untuk merekam acara yang tidak sempat kamu tonton, and ini untuk menyetel volume." Jelas Kaan sambil menunjuk beberapa tombol.
Tapi bagi Murni, apa pun yang muncul di layar terasa kabur. Ia hanya mendengar suara Kaan, yang menjelaskan volume, saluran, dan fitur lainnya.
Murni meneguk ludah tanpa sadar. Saat Kaan mencondongkan tubuhnya sedikit, ia bahkan merasa jika punggungnya sudah menempel di dada bidang Kaan. Sesekali Murni bisa merasakan hembusan napas hangat yang mengenai sisi wajahnya, terasa halus, namun cukup untuk membuat kulitnya bergidik.
Kaan terus bicara, sementara lawan bicaranya tidak terlalu fokus mendengarkan penjelasannya, akibat konsentrasi Murni yang sudah buyar kemana-mana. Murni hanya bisa mengangguk pelan sambil menatap layar, padahal pikirannya sibuk menahan degup jantung yang semakin makin liar.
Jarak mereka terlalu dekat. Dan suara Kaan yang berat, ditambah kehangatan tubuhnya di belakang semuanya terasa membingungkan bagi Murni.
Sampai akhirnya Kaan selesai menjelaskan semua tombol di remote dan fitur-fitur yang bisa digunakan untuk menonton.
“Paham?” tanyanya pelan, masih berdiri dekat di belakang Murni.
Murni sempat tersentak kecil, lalu buru-buru mengangguk. “Uh... Iya paham ma-”
Duk!
“Akh!” Sebuah erangan pendek terdengar dari belakangnya.
Murni spontan berbalik dengan wajah panik.
“Eh! Mas kenapa?”
Kaan segera mengusap dagunya dengan ekspresi meringis. "Sshhtt.."
"Astagfirullah, maaf mas. Aku ndak sengaja... Sakit banget ya mas?" Tanya Murni dengan terburu-buru, alisnya bertaut bersamaan dengan kedua matanya yang membesar, menelusuri wajah Kaan dengan cemas.
“No problem." Jawab Kaan sedikit terkekeh meski jelas masih kesakitan.
Murni langsung menunduk dalam-dalam, wajahnya memerah. “Sekali lagi maaf mas."
Kaan hanya mengangguk pelan sambil mengangkat sebelah tangan, seolah berkata ‘tidak apa-apa’. Lalu ia menarik napas pendek dan berkata santai, “Ayo, saya tunjukkan dapurnya sekarang.”
Mereka pun bergeser ke arah dapur. Di sana, cahaya lampu hangat menyinari area dapur minimalis yang modern. Warna-warna netral mendominasi ruangan tersebut, seperti putih, coklat kayu, dan sedikit aksen hitam pada perlengkapan.
“Ini kulkasnya, isinya hanya ada minuman, tapi nanti kita bisa belanja bahan-bahan makanan bersama.” kata Kaan sambil menunjuk satu per satu benda yang ada.
“Ini microwave, mudah dipakai, nanti saya tunjukkan penggunaanya." Jelasnya, dan kembali menjelaskan benda-benda yang terbilang canggih disana agar istrinya itu tidak kebingungan ketika menggunakan nya.
Murni mengangguk-angguk pelan, matanya membesar ketika melihat bentuk dan tombol-tombol dari tiap benda canggih yang Kaan tunjukkan. Sebagian terasa familiar, sementara sebagiannya lagi terasa seperti barang dari dunia lain baginya.
“Kalau yang ini?” Tanya Murni sambil menunjuk mesin berbentuk persegi tinggi dengan sudut-sudut melengkung, bagian depannya mengilap seperti logam, dan ada teko kaca bening yang duduk manis di atas pelat pemanas hitam.
"Ini mesin pembuat kopi biasa." Jawab Kaan sambil menyentuh bagian atas mesin.
"Ooh…” Murni manggut-manggut, walau wajahnya masih setengah bingung.
Kaan menyandarkan tubuh ke dinding dapur dengan ekspresi ringan. “Kalau kamu mau masak apa pun, pakai saja semuanya. Nanti saya bantu jelaskan cara penggunaan alat yang tidak kamu tahu.”
Murni menoleh cepat. “Mas Kaan bisa masak?”
“Uh... Yeah, saya bisa." Jawabnya akhirnya, tapi nada suaranya terdengar sedikit naik di akhir, seolah kalimat itu lebih seperti pertanyaan daripada pernyataan.
Murni tersenyum kecil. “Kalau ada waktu Mas mau ajarin aku bikin makanan orang-orang kota?" Tanya Murni.
Kaan hanya mengangguk ringan, menandakan ia setuju.
Kemudian Kaan membiarkan Murni melihat-lihat dapur sendirian. Istrinya itu tampak antusias mengamati tiap peralatan, meskipun sesekali alisnya berkerut ketika melihat peralatan asing yang terbilang baru dilihatnya.
Kaan melirik jam tangannya. Jarum pendek sudah melewati angka sepuluh, dan jarum panjang mendekati angka sembilan yang menunjukkan jika saat itu pukul 10:45.
Ia sempat tertegun, sebelum akhirnya memanggil Murni. "Murni."
Murni segera menoleh dari depan kompor, “Iya, Mas?”
"Saya harus berangkat ke kantor sekarang. Kalau kamu butuh apa-apa, langsung telepon saya”
Murni mengangguk. “Iya, Mas.”
Kaan bergegas keluar dari dapur, menuju pintu utama. Tangannya hampir mencapai kenop ketika satu hal melintas di pikirannya, membuatnya menghentikan langkahnya.
Ia berbalik, dan tepat saat itu, Murni baru saja keluar dari dapur dan berdiri tak jauh darinya.
"Ah yeah,” ucap Kaan, suaranya sedikit lebih serius. “Kalau ada orang asing datang, jangan pernah buka pintunya. Kalau ada orang asing yang terlihat mencurigakan segera telepon saya. Paham?”
Murni mengangguk cepat. “Paham mas.”
“Masih ingat cara menelponnya, seperti yang saya ajari kemarin?”
Murni mengangguk lagi, kali ini dengan senyum kecil. “Ingat, Mas.”
Sejak ponsel jadul miliknya hangus dilahap api, Kaan sempat membelikannya ponsel pintar baru dan mengajarinya cara memakainya. Meski awalnya canggung, Murni tetap berusaha mengingat semua yang diajarkan Kaan dan mencoba beradaptasi dengan ponsel layar sentuhnya.
Kaan akhirnya memutar kenop pintu.
“Mas!”
Langkahnya terhenti lagi, dan menoleh cepat kebelakang.
Murni mendekat, lalu tanpa ragu meraih tangan Kaan dan menyalaminya pelan. “Hati-hati, Mas.”
Kaan sempat tertegun, lagi-lagi ia terkejut dengan tindakan yang baru-baru ini ia terima.
“Ah… y-yeah." Balasnya akhirnya, sedikit kikuk.
Sebelum akhirnya ia membuka pintu dan melangkah keluar, lalu menutupnya kembali di belakangnya, meninggalkan Murni sendiri di dalam apartemen untuk pertama kalinya.
Selepas keberadaan Kaan pergi, keheningan seketika menyelimuti seluruh ruangan. Murni memilih duduk di sofa, sembari tangannya menyentuh ujung bantal kecil sofa itu, sesekali matanya menyapu sekeliling apartemen yang masih terasa asing baginya.
Dddrrr... Dddrrr...
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Murni segera mengeluarkan ponselnya yang ia simpan di dalam tas bawaan.
Adam
Murni langsung menggulir layar ponselnya seperti yang telah dia pelajari dari Kaan kemarin. Ia menekan ikon hijau.
“Assalamualaikum.” Suara lembut dan akrab langsung terdengar.
“Waalaikumsalam, Mak! Emak sehat?” Murni sontak berseri-seri, wajahnya langsung berbinar hanya karena mendengar suara ibunya.
“Alhamdulillah sehat, kamu bagaimana, sehat nak?”
“Sehat, Mak. Alhamdulillah.” Jawabnya dengan nada ceria.
Suara Mita terdengar lega di seberang, lalu menanyakan bagaimana kehidupan Murni di tempat barunya. “Kamu di sana gimana? Sudah bisa nyatu belum sama lingkungan?”
Murni menyesuaikan duduknya, membetulkan posisi ponsel di telinganya. “Alhamdulillah, mak. Awal-awal memang canggung, apalagi pas pertama datang ke rumah Mas Kaan. Tapi semuanya baik-baik aja, Mas Kaan juga baik. Sekarang kami tinggal berdua di apartemen miliknya.”
“Oh, sudah pindah ke apartemen?” Suara Mita terdengar terkejut sekaligus khawatir.
"Apartemen itu apa nak?" Lanjutnya sebelum Murni sempat menjawab pertanyaan pertama.
“Itu mak, tinggal di rumah tapi rumahnya di dalam gedung yang tinggi. Kayak..." Murni mencoba mencari kecocokan yang pas biar ibunya paham apa yang ia jelaskan.
"Kayak hotel mak! Apartemennya bagus. Luas, bersih… peralatannya juga aneh-aneh semua, tapi Mas Kaan sabar banget ngajarin." Kata Murni sambil tersenyum sendiri.
Ia pun mulai menceritakan semuanya dari pertama datang, bertemu dengan keluarga Kaan, hingga hari-harinya belajar hal-hal baru. Namun, ada satu hal yang sengaja ia simpan, yakni mengenai peristiwa penyerangan beberapa minggu lalu. Karena ia yang tak ingin membuat keluarganya khawatir.
ga cocok msk ke circle kaan. 😅😅😅
aq plg ga suka sm tokoh pajangan yg bermodal baik hati & cantik aja tp ga pny kontribusi apa2 di alur cerita. 🤣🤣🤣