"Nikah Dadakan"
Itulah yang tengah di alami oleh seorang gadis yang kerap di sapa Murni itu. Hanya karena terjebak dalam sebuah kesalahpahaman yang tak bisa dibantah, membuat Murni terpaksa menikah dengan seorang pria asing, tanpa tahu identitas bahkan nama pria yang berakhir menjadi suaminya itu.
Apakah ini takdir yang terselip berkah? Atau justru awal dari serangkaian luka?
Bagaimana kehidupan pernikahan yang tanpa diminta itu? Mampukan pasangan tersebut mempertahankan pernikahan mereka atau justru malah mengakhiri ikatan hubungan tersebut?
Cerita ini lahir dari rasa penasaran sang penulis tentang pernikahan yang hadir bukan dari cinta, tapi karena keadaan. Happy reading dan semoga para readers suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imelda Savitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tertangkap
Di malam hari yang sunyi, udara dingin menelusup perlahan ke dalam kamar Kaan. Lampu utama sengaja tidak dinyalakan, menyisakan hanya cahaya kebiruan dari layar laptop yang menyinari sebagian wajahnya. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, namun matanya masih terjaga, terpaku pada barisan kode dan dokumen yang terus ia buka-tutup tanpa jeda.
Tiba-tiba, jari-jarinya berhenti menari di atas keyboard. Napasnya terhela pelan saat ia menyandarkan punggungnya ke kursi kerjanya. Ia melepas kacamata tipis yang bertengger di hidungnya, lalu memijat pangkal hidungnya dengan jari-jari telunjuk dan ibu jarinya, mencoba meredam denyut halus yang mulai terasa.
Tatapan matanya terarah ke dinding kamar yang temaram, tempat bayangannya sendiri terpantul samar akibat pantulan cahaya dari layar laptopnya. Namun, bukan bayangan itu yang mengisi pikirannya, melainkan ingatan kejadian tadi sore, di mana Kaan bertemu wanita bernama Aria yang di kenal Murni. Sosok Aria itu berbanding jauh dengan sosok Aria yang ia kenal.
Perlahan-lahan kedua alisnya berkerut, menandakan sebuah pikiran keras yang tengah melanda pikirannya.
"Aria?" gumamnya dalam hati.
Yang ia tahu, Aria adalah wanita paruh baya yang tinggal di unit sebelah bersama cucu laki-lakinya. Kaan mengenal Aria sebagai sosok wanita berumur yang ramah yang kadang menyapanya di lorong, dan tak jarang mengeluhkan masalah lift yang sering mogok.
"Apa mungkin, dia cucunya yang lain?" Batin Kaan, matanya menyipit memikirkan kemungkinan itu.
Ada sesuatu yang tidak pas. Sesuatu yang membuat nalurinya bereaksi.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Kaan meraih ponsel dari meja kerjanya, lalu menekan satu nomor dari daftar panggilan cepatnya.
Tut... tut...
Tak butuh waktu lama sebelum suara seorang pria menyahut dari seberang sana.
“Halo, pak. Ada yang bisa saya bantu?”
Kaan bersandar di kursinya kembali, lalu menjawab dengan suara lelah yang rendahnya terdengar mantap.
“Saya butuh kau mencari tahu identitas seseorang.”
"Siapa, Pak?" tanya pria di seberang.
“Seorang wanita muda,” jawab Kaan. “Namanya Aria. Dia tinggal di unit 709 di gedung ini. Tidak perlu terlalu dalam. Cari tahu saja latar belakangnya. Saya ingin tahu latar belakangnya."
Hening sejenak sebelum suara di seberang berkata, “Baik, akan saya urus secepatnya.”
Selepas itu, Kaan langsung menutup sambungan teleponnya. Layar laptopnya masih menyala, namun pikirannya sudah jauh berlayar ke tempat lain.
.
.
.
Keesokan harinya, Aria kembali datang ke apartemen Murni dengan tangan penuh. Di dalam kantong kertas berlogo lucu yang ia bawa, tercium aroma manis dari beberapa jenis kue yang baru saja ia beli.
“Aku bawa oleh-oleh,” ujar Aria sambil tersenyum cerah. “Ini dari toko kue yang baru buka minggu lalu." Katanya, "lagi viral di media sosial, laris banget!”
Murni tersenyum kecil menerima kantong itu. Sejak pertemuan pertama mereka, Aria menjadi satu dari sedikit orang yang membuat Murni merasa nyaman dan tidak kesepian selama tinggal di apartemen.
Sikap Aria yang hangat dan cerewet dalam kadar pas membuat percakapan mereka selalu mengalir. Aria seperti lawan bicara yang tepat bagi Murni yang merupakan tipe seorang introver yang lebih banyak menyimak, dan butuh waktu untuk terbuka.
Hubungan mereka pun tumbuh perlahan, dari sekadar tetangga menjadi sahabat. Mereka sering duduk di balkon sambil menyeruput teh, bertukar cerita yang menarik, mencoba resep makanan dari media sosial, hingga membandingkan harga sayur di minimarket. Kadang, mereka bereksperimen membuat cemilan viral, yang biasanya berakhir gagal total.
Sementara itu, hubungan Murni dan Kaan masih berjalan dengan kaku. Kaan yang jarang pulang tepat waktu, sering kali baru tiba saat Murni sudah tertidur. Komunikasi mereka pun masih sebatas hal-hal singkat, yang membuat hubungan mereka terasa berjalan di tempat.
.
.
.
Hari itu, saat Murni dan Aria duduk bersama di ruang tengah, Aria berseru, “Eh! Aku kemarin bikin es kul-kul, loh. Yang lagi rame banget di medsos itu!”
Mata Murni berbinar. “Es kul-kul? Yang dari pisang itu ya mbak?”
“Iya!” Aria tertawa. “Aku kira itu es baru, ternyata gampang banget bikinnya.”
Murni terkekeh. “Aku dulu juga sering bikin itu waktu kecil mbak. Pake pisang kepok, yang agak masam. Dikasih coklat leleh, kadang juga ditabur kacang. Rasanya, nendang di lidah.”
“Wah, berarti kamu udah pro duluan ya,” goda Aria sambil tertawa. “Aku baru tau cara bikinnya kemarin.”
Murni tersenyum, lalu berkata, “Kalau di kampungku, itu namanya ‘es pisang cetak’."
Aria tergelak. “Es pisang cetak? Waduh, beda nama doang ya. Tapi tetep enak!”
"Iya, lucu ya mbak. Di kota, dikasih nama keren dikit langsung viral,” sahut Murni sambil ikut tertawa.
Tawa mereka menggema lembut di antara dinding apartemen, menebar kehangatan yang tidak banyak diketahui orang. Di luar, langit mulai meredup, tapi di antara dua perempuan itu, cerita terus tumbuh, seperti adonan kue yang mengembang dalam loyang, menunggu untuk dinikmati bersama.
Obrolan mereka tentang es kul-kul masih diselingi tawa kecil, hingga mendadak Aria terdiam. Matanya membulat, diikuti postur tubuhnya mendadak kaku sesaat. Kedua tangannya mencengkeram pangkuannya, lalu perlahan terangkat menepuk-nepuk pahanya sendiri dengan wajah gelisah.
Murni memperhatikan perubahan itu dengan kening berkerut. Sebelum sempat bertanya, Aria sudah berdiri dengan terburu-buru. Wajahnya terlihat gelisah, “Aduh! Aku… aku harus pulang sekarang!”
“Kenapa mbak?” Murni ikut berdiri, dan ikut panik melihat gelagat aneh itu.
Aria melangkah cepat menuju pintu, nyaris setengah berlari dengan nafasnya memburu.
“Aku tadi masak air… aku lupa matiin kompornya!” katanya dengan suara gemetar.
Murni ikut tersentak. “astagfirullah, mbak!” serunya sambil menyambar kerudung tipis yang tadi ia letakkan di sandaran kursi, lalu menyusul Aria yang sudah melesat ke luar.
Tangga dan lorong apartemen terasa panjang dan sunyi saat mereka berlari. Bunyi langkah mereka menggema, menyisakan kecemasan yang mencekam. Aria lebih dulu sampai di depan pintu unit apartemennya, dan langsung membukanya dengan gugup, sampai nyaris menjatuhkan kuncinya.
Murni berhenti tepat di ambang pintu, dadanya ikut naik-turun di picu andrenalin yang tiba-tiba.
“Mbak, semuanya baik-baik aja?” tanyanya dengan nada khawatir.
Hening, tidak ada jawaban apapun dari dalam. Murni yang berdiri di ambang pintu masuk dengan perlahan melangkah masuk.
"Mbak? Mbak Aria...?"
Tiba-tiba sebuah kain menutupi setengah wajahnya.
"Mmpp!!" Murni mencoba memberontak, tapi tubuhnya keburu di cegat seseorang dari belakang.
Bau kain yang apek dan samar aroma bahan kimia memenuhi hidungnya. Murni ingin menjerit, tapi suaranya terasa tercekat di tenggorokannya. Tangannya berusaha mencengkeram serbet yang menutupi separuh wajahnya.
Dengan tenaga yang dipaksakan, Murni berbalik tapi hanya sempat melihat bayangan hitam di sudut matanya sebelum detik berikutnya dunianya terasa berputar.
Kepalanya terasa berat, dan dalam hitungan detik, kegelapan langsung menyelimuti seluruh pandangannya. Tubuhnya limbung, sebelum akhirnya jatuh membentur lantai koridor tanpa suara.
ga cocok msk ke circle kaan. 😅😅😅
aq plg ga suka sm tokoh pajangan yg bermodal baik hati & cantik aja tp ga pny kontribusi apa2 di alur cerita. 🤣🤣🤣