PENDEKAR Mabuk memiliki nama asli Suto Wijaya Kusuma dan dia adalah seorang pendekar pembela kebenaran dan menumpas kejahatan. Perjalanan nya dalam petualangannya itu banyak menghadapi tantangan dan rintangan yang sering kali membuat nyawa nya terancam. Namun pendekar gagah dan tampan itu selalu punya solusi dalam menghadapi permasalahan tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ikko Suwais, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PART 11
KALAU Bukan karena wajah cantik yang murung menahan kesedihan, Suto Sinting masih tetap ingin pergi temui si Jahanam Tua sendirian. Tapi rasa iba melihat wajah cantik melenturkan kekecewaan yang tampak mendalam, akhirnya Pendekar Mabuk terpaksa izinkan si cantik Karina Larasita ikut pergi pada keesokan harinya.
"Kau boleh ikut, tapi tak boleh bikin masalah
apa-apa!". ujar Suto Sinting bagai mengadakan perjanjian sebelumnya.
"Aku dapat mengatasi masalahku sendiri," balas si cantik Karina.
"Kau pun harus menurut dengan perintahku, jangan membandel, nanti bikin repot aku saja"
"Apakah kau suka jika aku menjadi gadis penurut?!"
"Kau akan semakin cantik jiką menjadi gadis
penurut."
"Baik. Aku akan menuruti apa katamu!" jawab Karina dengan tegas.
"Sekali kau tidak menurut apa kataku, aku akan meninggalkanmu di tengah hutan!"
"Aku sudah biasa hidup di hutan. Kurasa aku tak keberatan dengan peraturanmu!!" ujar Karina dengan nada ketus karena hatinya merasa jengkel terhadap aturan-aturan dari pemuda yang dianggapnya cerewet itu.
"Setahuku mulut perempuan tidak secerewet mulutmu," gerutunya pelan, membuat Suto Sinting berpaling menatapnya sambil sunggingkan senyum
geli, tapi Karina berlagak tidak mengetahui pandangan mata Suto Sinting.
Arah mereka tetap ke negeri Bardanesya, karena Pendekar Mabuk yakin si Jahanam Tua tetap Ingin temui Raja Gundalana untuk menanyakan kebenaran keterangan Dewi Ranjang tentang si penakluk Hantu Urat Iblis itu. Mulanya Karina mengusulkan untuk langsung mendatangi tempat tinggal si Jahanam Tua dl Pulau Wingit, tapi Suto tidak setuju dengan gagasan itu.
"Hanya buang-buang waktu saja," ujarnya sambil teruskan langkah menuju ke wilayah negeri Bardanesya.
"Suto, berhenti sebentar!" seru Karina yang sempat tertinggal tiga langkah di belakang Pendekar Mabuk. Seruan gadis itu terasa menegangkan, sehingga Pendekar Mabuk sempat tersentak kaget dan buru-buru berpaling menatapnya dengan pandangan mata cukup tajam.
"Ada apa, Karina?!"
"Pandanglah ke arah sana, di belakang batu besar berlumut itu!" sambil Karina menuding arah yang dimaksud. Pendekar Mabuk pun segera lemparkan pandangan matanya ke arah batu besar berlumut. Di bawah batu itu tampak sepasang kaki terbujur kaku. Badan si pemilik sepasang kaki itu tertutup batu besar itu. Melihat warna pucat pada telapak kaki bercelana hitam itu, Suto dan Karina pendapat bahwa kaki itu adalah kaki orang yang telah tewas. Maka mereka pun bergegas dekati batu besar berlumut itu untuk melihat siapa orang yang tewas di balik batu itu.
"Oooh...?!" Suto Sinting setengah terpekik begitu melihat sosok mayat yang tergeletak di balik batu besar berlumut itu. Karina hanya tersentak tanpa suara, napasnya bagaikan terhenti di kerongkongan. Tapi gadis itu segera berkerut dahi pertanda merasa asing dengan mayat tersebut. Sedangkan Suto Sinting justru berwajah tegang dan pandangi seluruh tubuh mayat itu, agaknya ia mengenali siapa orang yang tewas di balik batu besar berlumut itu.
Pendekar Mabuk tak bisa lupa dengan wajah tua berusia sekitar enam puluh tahun itu yang mempunyai rambut abu-abu, jenggot dan kumis pendek abu-abu, jubah biru dan celana hitam membungkus tubuh kurusnya. Hati pendekar muda itu trenyuh dan segera dirundung kesedihan, karena ia tahu persis sosok mayat itu adalah si Wabah Langit, yang pernah membantu Suto ketika Suto mengejar seorang wanita cantik, tokoh aliran sesat yang tempat persembunyiannya sukar ditemukan siapa pun, kecuali
Suto Sinting dan Nirwana Tria,
"Kau kenal dengan mayat pak tua ini?!" tanya Karina dengan suara lirih.
"Sangat kenal! Dia bernama Wabah Langit. Aku pernah bermalam di gubuknya saat lakukan pengejaran terhadap si Bayangan Setan alias Peri Kahyangan." jawab Suto dengan suara bergetar dan menahan kesedihan. Orang yang tampaknya galak dan ganas tapi sebenarnya berhati baik itu sempat melekat dalam ingatan Suto. Bahkan Suto punya rencana untuk berkunjung menengok tokoh aliran putih itu sambil mengenang masa-masa pengejaran si Bayangan Setan. Hubungan baik Suto dengan Wabah Langit sempat membuat Suto terkesan oleh jiwa tokoh tersebut. Karenanya, kematian si Wabah Langit membuat Suto Sinting merasa kehilangan sesuatu yang cukup menyedihkan.
Pertanyaan dalam batin Suto yang paling dominan bukan 'mengapa Wabah Langit dibunuh', tapi siapa pembunuhnya?' Sebab keadaan mayat Wabah Langit tampak masih segar, masih belum membusuk. Dugaan Suto, orang itu dibunuh sekitar beberapa waktu sebelum ia dan Karina tiba di tempat itu.
"Aneh. Darahnya berbau wangi?" gumam Karina.
Pendekar Mabuk juga sebenarnya mencium bau wangi seperti aroma rempah-rempah bercampur wangi pandan. Tetapi perhatian Pendekar Mabuk tidak tertuju pada aroma wangi itu. la lebih Tertarik memandangi keadaan mayat tersebut.
Mayat si Wabah Langit tak mempunyai luka sedikit pun. Tetapi darah keluar dari sekitar leher seperti orang habis dipenggal. Darah wangi pandan itu berceceran mengelilingi bagian leher dan membasahi sekitar dada pula. Tapi di leher maupun di dada tak ada luka seujung jarum pun.
"Aneh sekali luka ini?!" gumam Suto Sinting sambil memeriksa dengan membolak-balikkan badan mayat. Matanya memandang sejelas-jelasnya, karena hatinya sangsi dengan penglihatannya sendiri.
"Coba kau periksa, Karina. Benarkah mayat ini tanpa luka sedikit pun?!"
Karina tak mau memeriksa, ia hanya berkata,
"Dari tadi aku sudah merasa heran. Kusangka mata ku yang bodoh tak bisa melihat luka. Ternyata kau pun tak menemukan luka di tubuh mayat ini."
"Tapi darahnya yang keluar cukup banyak dan ia seperti..."
"Seperti dipenggal lehernya!" sahut Karina.
"Ya. Dan... kau lihat sendiri, kepalanya masih menempel dengan raganya, bukan?"
"Itu yang membuatku sejak tadi diam sambil memendam keheranan."
Pendekar Mabuk menarik napas panjang. Akhir nya ia putuskan untuk memakamkan jenazah Wabah Langit di bawah batu besar berlumut itu. Tetapi benak Suto masih diliputi tanda tanya besar dan hatinya diresahkan oleh rasa penaşaran terhadap misteri kematian si Wabah Langit itu.
"lImu apa yang bisa membunuh lawan tanpa luka tapi darah korban bisa keluar sebanyak itu?" suara Suto Sinting terdengar seperti menggumam. Karina yang berjalan di samping kanan Pendekar Mabuk itu segera menimpali kata-kata tersebut.
"Aku pernah mendengar Guru bercerita tentang ilmu 'Saka Badai' yang bisa membuat lawan tewas seketika tanpa timbulkan luka. Tapi tidak keluarkan darah seperti mayat tadi! Wmu 'Saka Badai' hanya membuat lawan mati seketika tanpa luka."
"Siapa pemilik ilmu itu?"
"Ratasewakota, penguasa Teluk Boleng.! ia tokoh aliran hitam. Tapi sekarang sudah tewas di tangan ksatria dari Tanah Gangga."
"Apakah dia punya murid?"
"Entah, Guru tidak singgung-singgung tentang murid si Ratasewakota. Tapi yang jelas..."
"Ssst...!" potong Suto.
Karina segera memandang dengan dahi berkerut, karena saat itu Suto Sinting tampak sedang menyimak sebuah suara yang ditangkap oleh pendengarannya. Tapi Karina merasa tidak mendengar apa-apa, karena itulah ia segera ajukan tanya kepada Suto.
"Ada apa?!"
"Aku mendengar jeritan seseorang."
"Aku tidak," tegas Karina.
"Tadi," jawab Suto sambil masih menelengkan kepala mencari sumber datangnya suara jeritan yang didengarnya tadi. "Suara itu seperti suara jeritan seorang wanita. Hanya sekejap dan cepat menghilang."
"Aku tidak mendengar suara apa-apa!" Karina agak ngotot.
Tentu saja, sebab suara itu bertumpuk dengan suara bicaramu tadi."
Karina akhirnya diam, matanya memandang ke sana-sini sambil mencoba menangkap suara sejauh mungkin. Tapi yang didengarnya hanya suara hembusan angin dan gemerisiknya dedaunan.
"Suara itu sepertinya dari arah barat sana!"
Mata mereka memandang ke arah barat. Suto menyambung ucapannya.
"Mungkin dari balik bukit yang ada di sana itu!"
"Jauh sekali?!" ujar Karina dengan mata memandang sebuah bukit kecil yang letaknya memang cukup jauh dari tempatnya berdiri.
"Kurasa tak mungkin di balik bukit itu, Suto."
"Sebaiknya kita periksa dulu!"
Pendekar Mabuk segera berkelebat tanpa menunggu persetujuan dari Karina. Mau tak mau gadis itu mengikutinya walau hatinya setengah tak setuju, karena dianggap membuang-buang waktu. Suto Sinting berlari cepat, 'namun tidak menggunakan jurus 'Gerak Siluman', sehingga Karina bisa mengimbangi kecepatan lari si pendekar tampan itu.
☺🙏💪
mampir yaaa