“Lo cantik banget, sumpah,” bisiknya. “Gue gak bisa berhenti mikirin lo. Pingin banget lakuin ini sama lo. Padahal gue tahu, gue gak seharusnya kayak gini.”
Tangan gue masih main-main di perutnya yang berotot itu. “Kenapa lo merasa gak boleh lakuin itu sama gue?”
Dia kelihatan kayak lagi disiksa batin gara-gara pertanyaan itu. “Kayak yang udah gue bilang ... gue gak ngambil apa yang bukan milik gue.”
Tiba-tiba perutnya bunyi kencang di bawah tangan gue, dan kita berdua ketawa.
“Oke. Kita stop di sini dulu. Itu tadi cuma ciuman. Sekarang gue kasih makan lo, terus lo bisa kasih tahu gue alasan kenapa kita gak boleh ciuman lagi.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Manipulasi
"Gue benaran nyesel lo harus ngalamin semua itu. Gue nyesel keluarga gue yang bikin lo gitu. Mereka ngerampas masa kecil lo." Suara gue lemah, masih susah buat percaya kalau semua ini benar-benar terjadi.
Dia mundur sedikit, "Nggak ... Nggak ada yang 'ngambil' apa pun dari kita. Kita keluar dari sana utuh, dan malah jadi lebih kuat gara-gara itu. Dan kakak lo tuh, beberapa bulan setelah kejadian itu, kecelakaan di kapal, kan? Itu juga ditutupin, Ailsa."
Kepala gue serasa mutar-mutar.
"Maksud lo apa? Dia kan hilang kendali, itu kecelakaan ..."
"Semua orang di kota ini tahu dia lagi mabok berat sama nge-fly waktu itu, Ailsa. Chou bahkan sampai dirawat di rumah sakit sebulan penuh gara-gara kecelakaan itu. Tapi dia juga dibungkam ... sama bokap lo, katanya sih begitu. Waktu itu ceritanya simpang siur, tapi yang pasti, ada empat orang di kapal itu ... dan gak ada satu pun yang pernah ngomongin lagi. Mereka pasti diancam atau disogok. Entah gimana caranya, tapi mereka jadi takut dan diem seribu bahasa. Abis itu, kakak lo juga nggak pernah nongkrong lagi sama mereka, kan? Karena mereka tahu kebenarannya."
Gue usap pelipis, mencoba menyusun ulang semua yang baru saja gue dengar.
Gue ingat kecelakaan itu. Malam itu rumah gue kacau banget. Gue masih SMA. Yang gue ingat cuma tangisan dan kepanikan.
"Katanya mesin kapalnya rusak," bisik gue pelan. "Dan Caspian juga luka parah waktu itu ... dari situ dia mulai dikasih resep opioid."
"Kakak lo sudah jadi pecandu sebelum kecelakaan kapal itu, Ailsa. Mungkin belum separah setelah kejadian, tapi dia sudah sering pesta dan semua orang tahu itu. Mereka nutupin semuanya karena punya duit buat bungkam siapa aja. Semua orang di sekeliling mereka cuma jadi korban. Lo kira nyokap lo tahu soal itu, hemm!!?"
Gue geleng kepala cepat-cepat. "Nyokap gue tuh orang baik, Nauru. Dia nggak bakal bisa nerima hal kayak begitu."
Tapi ... gue juga pernah mikir hal yang sama soal bokap dan kakak gue. Sekarang semuanya kayak mutar doang di kepala.
"Gue gak tahu. Tapi yang gue tahu, bokap lo dateng ke rumah sakit buat ketemu Onny, dan dari situlah semuanya mulai balik nyerang ke arah kita."
"Lo percaya kalau gue benaran nggak tahu apa-apa soal semua ini, kan? Gue mau lo tahu kalau gue ... gue nggak pernah, dan nggak bakal pernah, ngebelain semua ini."
Dia menyenderkan dahinya ke dahi gue.
"Gue tahu lo siapa, Ailsa Batari. Dan itu juga alasan kenapa gue sebenarnya nggak mau berhubungan sejauh ini sama lo. Tapi gue nggak bisa jauh dari lo, sekeras apa pun gue coba."
"Kenapa lo nggak mau dekat sama gue? Karena lo pikir gue bakal nyalahin lo sama kayak mereka?"
“Awalnya, iya. Gue pikir lo bakal belain mereka. Sumpah, gue sama temen-temen bahkan ngira lo udah tahu semua ini. Tapi makin lama, gue sadar ... lo benar-benar gak tahu."
"Kok lo bisa yakin?"
"Karena hati lo baik banget. Lo sibuk banget jagain semua orang di sekeliling lo, sampai lo gak sadar gak ada yang jagain lo balik." Dia elus pipi gue pelan, dan gue langsung menyandar ke tangannya.
"Lo mau lindungin gue dari mereka, Nauru?"
Gue nggak tahu kenapa gue tanya itu. Maksudnya, kenapa dia harus mau melindungi gue, setelah semua yang keluarga gue lakukan ke dia?
"Gue bakal lindungin … kalau lo izinin."
Gue nggak pernah merasa se-nyambung ini sama orang lain. Tapi di saat yang sama, dunia gue kayak runtuh pelan-pelan.
"Gue nggak ngerti kenapa lo masih mau sama gue, setelah semua yang keluarga gue lakuin ke lo, ke Hazerrie … dan entah siapa lagi." Suara gue gemetar, dan di kalimat terakhir yang keluar, ada isakan kecil yang gue tahan.
"Karena lo pantas dapatin itu. Gue tahu lo sayang banget sama keluarga lo, dan jujur aja … buat gue, lebih gampang nerima apa yang kakak lo lakuin daripada yang bokap lo lakuin."
"Kenapa?" tanya gue pelan.
Buat gue, dua-duanya sama-sama menyakitkan.