NovelToon NovelToon
Karmina Dan Ketua OSIS

Karmina Dan Ketua OSIS

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Horor / Action / Ketos / Balas Dendam / Mata Batin
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Ira Adinata

Prediksi Karmina mengenai kehidupan Dewa--ketua OSIS di sekolahnya--serta kematian misterius seorang mahasiswi bernama Alin, justru menyeret gadis indigo itu ke dalam kasus besar yang melibatkan politikus dan mafia kelas kakap. Akankah Karmina mampu membantu membalaskan dendam Dewa dan Alin? Ataukah justru mundur setelah mengetahui bahwa sasaran mereka bukanlah orang sembarangan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sesal

"Ada apa kalian mau membicarakan suami saya? Apa kalian tahu di mana suami saya berada?" tanya wanita itu memandang Yuniza.

"Bu, sebaiknya kita ngobrol di suatu tempat saja. Nggak enak kalau dikuping sama orang lain," ujar Yuniza. "Oya, nama Ibu siapa? Saya Yuniza, dokter forensik di salah satu rumah sakit Jakarta, dan ini adik saya, namanya Karmina," lanjutnya sembari mengulurkan tangan.

"Rukayah," jawab wanita itu menyalami Yuniza untuk sesaat, lalu berpindah menjabat tangan Karmina. Matanya sesekali memicing, merasa aneh dengan penampilan Yuniza dan Karmina yang bagaikan langit dan bumi.

Selanjutnya, wanita tua yang diketahui bernama Rukayah itu mengajak kedua tamunya ke dalam sebuah rumah semi-permanen. Yuniza dan Karmina tak melepaskan pandanganya pada keadaan sekitar yang berantakan bagaikan kapal pecah. Kendati demikian, mereka tetap menjaga sikap pada istri Badrun, si empunya kediaman.

Setelah menyuguhkan dua gelas air putih, Rukayah duduk di hadapan dua tamunya. Ditatapnya Yuniza, yang tampak lebih rapi dan cantik. Kelas sosial yang lebih tinggi dari Rukayah, membuat sang dokter tampak lebih dihormati dibanding Karmina.

"Ibu ada perlu apa ngomongin suami saya? Suami saya udah lama nggak pulang-pulang," kata Rukayah.

"Begini, Bu. Dua bulan lalu rumah sakit kami kedatangan jenazah yang tidak diketahui identitasnya. Umurnya sekitar enam puluh atau tujuh puluh tahunan," tutur Yuniza.

"Lalu, apa hubungannya dengan saya dan suami saya?" tanya Rukayah memandang Yuniza dan Karmina dengan bingung.

"Saya cuma berusaha mencaritahu, Bu. Barangkali Ibu kehilangan anggota keluarga. Namanya Badrun," jawab Yuniza.

"Badrun? Badrun mah suami saya, Bu. Udah dua bulanan dia kagak pulang-pulang. Saya pikir dia marah gara-gara dibentak oleh saya. Jadi, ya sudah, saya nggak berani nyariin. Suami saya itu emang begitu kalau marah. Daripada minta maaf, malah kelayapan nggak pulang-pulang," tutur Rukayah diselingi tawa kecil.

Karmina menyunggingkan senyum, seolah mengerti bahwa ucapan Rukayah tak seringan kedengarannya. Adapun Yuniza, merasa prihatin dengan hubungan antara Rukayah dan Badrun. Romansa orang-orang kecil ternyata cukup rumit bagi Yuniza.

"Kalian tahu di mana Badrun? Apa dia udah kawin lagi sama cewek lain? Atau narik becak di tempat lain?" tanya Rukayah dengan mata berbinar-binar.

Menyadari tatapan penuh harap wanita tua itu, Yunizar termenung sejenak. Sesekali ia menoleh pada Karmina, seakan tak yakin untuk menyampaikan kabar duka. Akan tetapi, bagaimanapun juga ketenangan Badrun lebih penting untuk saat ini. Dipeganginya tangan Rukayah, sambil memandang prihatin.

"Ibu yang tabah, ya. Jenazah yang kami temukan dua bulan lalu itu tidak lain adalah suami Anda, Badrun," terang Yuniza.

Seketika, Rukayah melepaskan pegangan Yuniza dari tangannya. "Apa?! Mana mungkin! Laki aye cuma ngambek doang! Mana mungkin dia mati konyol gitu aja, apalagi sampe bunuh diri," cerocosnya dengan suara tinggi.

Yuniza berdiri, lalu merangkul Rukayah dan berusaha menenangkannya. "Bu, kami sudah mencoba mencaritahu dengan berbagai cara, termasuk meminta bantuan Karmina, adik saya yang indigo. Saya harap, Ibu bisa menerimanya."

Meleleh air mata Rukayah. Wanita tua itu bersandar ke bahu Yuniza sambil menangis sesenggukan. Ada rasa sakit di hatinya yang kian menyeruak. Rukayah benar-benar menyesal, belum sempat meminta maaf atas kesalahannya yang membentak suami ketika hendak mencari nafkah.

Karmina tertegun menyaksikan Rukayah menangis dalam pelukan Yuniza. Ia tak menyangka, bayangan kebencian Rukayah dalam penerawangannya justru berbeda jauh dari kenyataan yang dilihat hari ini. Dengan mendesah lemah, Karmina ikut berdiri, mengusap punggung wanita tua itu.

Selesai mencurahkan semua kesedihan, Rukayah memandang kembali wajah Yuniza seraya berkata, "Kalau gitu, di mana jasad suami saya? Saya pengen lihat untuk terakhir kalinya."

"Secepatnya akan kami antarkan kemari, Bu. Ibu yang sabar, ya," kata Yuniza mengusap lengan Rukayah.

"Saya sangat menyesal udah marahin suami saya sebelum dia meninggal. Saya sedih, belum bisa minta maaf sama dia," lanjut Rukayah, menangis tersedu-sedu lagi.

Terenyuh hati Karmina menatap penyesalan di wajah Rukayah. Diusapnya punggung wanita tua itu, dan berkata, "Yang kuat, ya, Bu. Saya yakin, Pak Badrun sudah memaafkan Ibu. Sekarang dia hanya ingin tenang dan dikuburkan dengan sewajarnya."

Rukayah mengangguk, kemudian mengusap air matanya. Meski ia belum sempat meminta maaf, setidaknya melihat jasad sang suami dapat mengobati rasa penyesalan terdalamnya.

Selesai berdiskusi dengan Rukayah, Yuniza bertemu dengan kepala RT setempat. Ia menyampaikan, bahwa jenazah Badrun hari ini juga akan dibawa ke sana. Tentu saja, Pak RT mengabarkan para warganya agar segera mengadakan acara pemakaman untuk Badrun.

Dalam perjalanan pulang, Karmina masih saja terdiam. Gadis itu benar-benar tak mengerti dengan sikap Rukayah yang begitu berbeda. Sementara itu, Yuniza yang masih mengendarai mobil, sesekali melirik pada Karmina.

"Kok kamu melamun gitu? Lagi mikirin apa?" tanya Yuniza.

"Saya nggak ngerti, Bu. Waktu melihat penerawangan tentang Pak Badrun, saya melihat Bu Rukayah begitu marah. Tapi sekarang, kenapa dia malah balik menyesal? Ini aneh. Kalau misalkan benci sama suami sendiri, ngapain nangis segala pas tahu orang yang dibencinya meninggal?" tutur Karmina sembari mengerutkan dahi.

"Hubungan suami istri itu unik, Karmina, apalagi setelah berjalan selama bertahun-tahun. Mereka bisa saja mengatakan saling benci, tapi keesokannya ternyata malah akur lagi kayak biasa. Bapak sama ibu kamu juga pasti begitu. Coba sekali-kali kamu perhatikan mereka," jelas Yuniza, sembari mengemudi.

"Iya juga, sih," cetus Karmina termangu.

"Nanti kalau kamu udah nikah, kamu pasti paham rasanya. Atau minimal ... kalau kamu punya pacar," imbuh Yuniza.

"Saya belum minat pacaran, Bu," jawab Karmina sambil tertunduk.

"Ah, yang bener? Kamu nggak tertarik sama cowok, gitu? Misalnya suka sama Dewa," celetuk Yuniza diiringi senyum simpul.

Seketika, pipi Karmina merah merona. Gadis itu tersipu-sipu sambil mendunduk malu, apalagi ketika mengingat kembali momen Dewa hendak diurut oleh Pak Rohman. Karmina menggeleng cepat, lalu menutup muka.

"Eh? Kok jadi salting gitu? Ciyeee ... kamu naksir sama Dewa, ya?" goda Yuniza.

"E-Enggak, kok, Bu. Siapa juga yang mau pacaran sama Dewa," sanggah Karmina memonyongkan bibirnya.

"Eh, ngomong-omong, keseharian Dewa di sekolah gimana, sih? Apa dia bergaul sama teman lainnya atau ikut organisasi?"

"Kalau bergaul, sih, jarang, Bu. Dia lebih sering menyendiri, tapi ikut kegiatan OSIS, kok. Malahan dia yang jadi ketuanya," jawab Karmina.

"Begitu, ya. Syukurlah kalau dia udah ada kemauan ikut berorganisasi. Saya khawatir, kondisi mentalnya mengganggu dia buat beraktivitas sehari-hari," kata Yuniza.

Karmina mengernyitkan kening, lalu menoleh pada Yuniza. "Emangnya ada apa sama mental Dewa, Bu? Apa Ibu tahu sesuatu?"

"Dulu dia sempat dibawa ke psikiater setelah mengalami guncangan jiwa akibat menyaksikan sendiri papanya yang babak belur. Bahkan, di sekolahnya dia kerap dirundung dan diganggu," ungkap Yuniza, memandang lurus ke depan.

Mendengar perkataan Yuniza, Karmina mengangguk takzim. "Oh, jadi itu alasannya dia bertekad buat membasmi perundungan di sekolah waktu pemilihan ketos, ya. Pantesan," gumamnya.

"Tadi kamu bilang, Dewa yang jadi ketua OSIS-nya, ya. Gimana ceritanya dia jadi ketua? Dulu waktu SMP, dia anaknya minderan dan pendiam. Kok bisa, masuk SMA jadi berubah drastis?"

"Kalau itu, saya kurang tahu, Bu. Saya kenal sama Dewa baru-baru ini aja. Cuma ... yang saya tahu, dulu pernah beredar rumor kalau Dewa nembak orang dewasa. Kabar itu simpang siur, sih."

"Hm ...." Yuniza mendesah pelan. "Itu salah satu yang saya khawatirkan dari dia."

"Maksud Ibu?" Karmina menoleh sambil menatap heran.

"Orang depresi bisa melakukan dua kemungkinan. Menyakiti diri sendiri atau malah melukai orang lain. Saya harap, Dewa tidak melakukan keduanya, apalagi sekarang sudah nggak punya orang tua," tutur Yuniza dengan raut cemas begitu kentara.

"Ngeri banget, ya," cetus Karmina bergidik ngeri.

"Karmina, saya mohon, tolong awasi Dewa. Kalau perlu, tegur dia jika ketahuan melakukan perbuatan yang salah. Jadilah teman yang baik buat dia. Kasihan, kalau dibiarkan menyendiri terus menerus. Saya khawatir, dia melakukan hal yang tidak diinginkan," ujar Yuniza.

"Eh?" Karmina tercengang sambil menoleh pada Yuniza.

Sementara itu, Dewa berjalan menyusuri koridor gelap di area basement sebuah apartemen. Semakin jauh ia melangkah, tampak beberapa orang pria berkumpul di sana. Di antara mereka, Dewa-lah lelaki paling muda.

"Nah, itu dia!" seru seorang pria berkulit hitam yang akrab disapa Pace, menoleh pada Dewa.

"Ada apa kita kumpul di sini?" tanya Dewa, memandangi Franky yang sedang duduk memimpin anak-anak buahnya, rata-rata berusia dua puluh hingga tiga puluh tahunan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!