"Bagaimana rasanya... hidup tanpa g4irah, Bu Maya?"
Pertanyaan itu melayang di udara, menusuk relung hati Maya yang sudah lama hampa. Lima tahun pernikahannya dengan Tama, seorang pemilik bengkel yang baik namun kaku di ranjang, menyisakan kekosongan yang tak terisi. Maya, dengan lekuk tubuh sempurna yang tak pernah dihargai suaminya, merindukan sentuhan yang lebih dalam dari sekadar rutinitas.
Kemudian, Arya hadir. Duda tampan dan kaya raya itu pindah tepat di sebelah rumah Maya. Saat kebutuhan finansial mendorong Maya bekerja sebagai pembantu di kediaman Arya yang megah, godaan pun dimulai. Tatapan tajam, sentuhan tak sengaja, dan bisikan-bisikan yang memprovokasi h4srat terlarang. Arya melihatnya, menghargainya, dengan cara yang tak pernah Tama lakukan.
Di tengah kilau kemewahan dan aroma melati yang memabukkan, Maya harus bergulat dengan janji kesetiaan dan gejolak g4irah yang membara. Akankah ia menyerah pada Godaan Sang Tetangga yang berbaha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31
"Ayo, Maya," kata Arya, suaranya lembut, menarik Maya mendekat. "Pasta saya sudah dingin."
Maya melangkah bersamanya, meninggalkan halaman depan yang terasa semakin kecil, seolah dunia lamanya mengecil di belakangnya. Ia melirik sekilas rumahnya, tempat Tama mungkin sedang makan malam sendirian, tidak tahu apa yang sedang terjadi di rumah tetangga sebelah. Sebuah perasaan bersalah yang tajam menusuk hatinya, namun rasa ingin tahu dan gair4h terhadap Arya jauh lebih dominan. Ia tak bisa menolak.
Arya membimbingnya masuk melalui pintu samping rumahnya, langsung menuju dapur. Aroma pasta yang lezat langsung menyambut mereka. Dapur Arya terlihat bersih dan modern, jauh berbeda dari dapurnya yang sederhana.
"Silakan duduk, Maya," kata Arya, menarik kursi di meja makan yang sudah tertata rapi. Lilin menyala di tengah meja, memancarkan cahaya remang yang menambah kesan int!m.
Maya duduk perlahan, jantungnya masih berdebar kencang. Ia menatap Arya yang kini menuangkan pasta ke piring mereka. Pria itu terlihat tenang, seolah semua yang terjadi adalah hal yang wajar.
"Bagaimana harimu?" tanya Arya, menyodorkan piring pasta pada Maya.
"Baik, Arya," jawab Maya, suaranya sedikit bergetar. Ia mengambil garpunya, mengaduk pasta di piring.
"Saya senang mendengarnya," Arya tersenyum, ia duduk di hadapan Maya. "Saya juga tidak sabar menunggu Anda hari ini." Matanya menatap Maya dalam, sebuah tatapan yang penuh arti.
Maya menunduk, pipinya memerah. Kata-kata Arya selalu berhasil membuatnya merasa diinginkan.
Mereka makan dalam diam. Hanya suara dentingan sendok dan garpu yang terdengar. Maya mencoba menikmati pasta itu, rasanya memang lezat. Namun, pikirannya terlalu penuh untuk bisa fokus pada makanan. Ia terus memikirkan Tama.
Setelah makan malam, Arya mengajak Maya ke ruang tamu. Mereka duduk di sofa besar yang nyaman. Ruangan itu terasa hangat. Arya mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Maya.
"Anda terlihat masih gelisah, Maya," kata Arya, suaranya lembut, mengusap punggung tangan Maya perlahan dengan ibu jarinya.
"Saya... saya hanya memikirkan suami saya, Arya," bisik Maya, jujur.
Arya menghela napas tipis. "Saya tahu ini tidak mudah. Tapi Maya, Anda harus ingat. Anda berhak
Bahagia. Anda berhak mendapatkan apa yang tidak bisa dia berikan."
Kata-kata itu lagi-lagi menghantam Maya. Arya selalu tahu bagaimana menyentuh titik terlemahnya. Ia tahu apa yang Maya rindukan dalam pernikahannya.
"Apakah Anda benar-benar bisa memberikan kebahagiaan itu, Arya?" Maya bertanya, menatap Arya. Sebuah pertanyaan yang keluar begitu saja, tanpa ia sadari.
Arya tersenyum, sebuah senyum yang penuh keyakinan. "Saya bisa. Dan saya akan buktikan itu pada Anda." Ia menarik tangan Maya, mendekatkan ke bib!rnya, lalu menclum punggung tangan Maya perlahan. Cluman itu terasa begitu lembut.
"Saya akan membuat Anda merasa menjadi wanita paling diinginkan di dunia," bisik Arya, suaranya serak. "Saya akan menunjukkan pada Anda apa arti gair4h yang sesungguhnya."
Maya memejamkan mata, merasakan sensasi cluman Arya di punggung tangannya. Sebuah sensasi yang begitu berbeda dari semua sentuhan yang pernah ia rasakan dari Tama.
Arya melepaskan tangan Maya. Ia mencondongkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya ke wajah Maya. Matanya menatap bibir Maya. Sebuah ketegangan yang tak tertahankan memenuhi ruangan.
"Saya ingin sekali... merasakan Anda lagi, Maya," bisik
Arya, suaranya begitu rendah, begitu mendesak.
Maya tidak bisa lagi me nolak. Tubuh nya te rasa lumpuh. Ciu*man itu se makin dalam, semakin me nuntut. Tangan Arya kini ber gerak, me narik b4ju Maya per lahan dari b4hu nya. Se buah s3ntuhan yang mem buat Maya mendes4h. Ia tahu, malam ini, ia akan merasakan apa yang selama ini ia dambakan. Sebuah api yang membakar, dan ia siap untuk terbakar di dalamnya.
***
Waktu se olah ber henti. Hanya ada mereka ber dua, teng gelam dalam clu*man yang me mabuk kan. Arya me narik Maya lebih dekat, men dekap nya erat. Tangan Arya kini mem bel4i punggung Maya, per lahan turun ke pingg4ng nya. Jem4ri nya me ny3ntuh kul!t Maya yang halus.
Tang4n Arya kini turun dari pingg4ng Maya, me ngus4p p4ha bagian dalam nya. Maya me mejam kan mata, me rasa kan napas nya mem buru.
Arya me lepas kan c!u*man nya. Ia bangkit sedikit dari sofa, me narik tangan Maya. "Ayo, Maya. Ada tempat yang lebih nyaman untuk kita."
Arya mem bimbing nya me naiki tangga. Langkah mereka pelan, di iringi ke heningan yang penuh ke tegangan. Mereka ber henti di depan pintu kamar tidur Arya. Arya mem buka pintu itu per lahan, lalu me natap Maya, se buah senyum tipis ter ukir di bibir nya.
"Selamat datang kembali, Maya," bisik Arya.
Maya me langkah masuk. Kamar itu gelap, hanya di terangi oleh cahaya remang dari lampu tidur di samping ranjang.
Arya me nutup pintu di belakang mereka. Ia me langkah men dekat ke arah Maya, me m3luk nya dari belakang. Tangan nya me lingk4ri pingg4ng Maya, me narik nya men dekat, se hingga tubuh mereka me n3mpel erat.
"Anda siap, Maya?" bisik Arya, suara nya serak, tepat di telinga Maya.
Maya me mejam kan mata. Se buah per tanyaan yang me nuntut jawaban, se buah perbtanyaan yang me nentu kan segala nya. Ia tahu ini akan me ngubah hidup nya, meng hancur kan pondasi pernikahan nya. Namun, ada dorongan yang tak bisa ia lawan, se buah ke butuhan untuk me rasa kan apa yang Arya janji kan.
Ia me ngangguk pelan, sebuah isyarat yang nyaris tak ter lihat.
Arya ter senyum puas. Ia mem balik kan tubuh Maya per lahan, me maksa nya meng hadap nya. Mata nya me natap Maya dalam, memancar kan gair4h yang mem bakar.
"Malam ini, Maya," bisik Arya, suara nya rendah dan menbdesak. "Saya akan me nunjuk kan pada Anda apa arti ke bahagiaan yang se sungguh nya untuk yang ke dua kali nya."
Ia me nunduk kan kepala nya, bib!r nya men dekat ke
bib!r Maya. Se buah ciu*man yang dalam dan me nuntut. Maya mem balas clu*man itu, tangan nya me lingk4ri leher Arya, me narik nya lebih dekat. Ia me rasa kan sentuhan Arya yang se makin berani, se makin int!m, di punggung nya, lalu ber gerak turun. Batas terakhir telah runtuh. Ia telah me nyerah kan diri nya se penuh nya pada Arya, pada gair4h yang di tawarkan nya.
gak bakal bisa udahan Maya..
kamu yg mengkhianati Tama...
walaupun kamu berhak bahagia...
lanjut Thor ceritanya