Amirul, yang dikira anak kandung ternyata hanyalah anak angkat yang tak sengaja tertukar pada saat bayi.
Setelah mengetahui jika ia anak angkat, Amirul di perlakukan dengan kasar oleh ibu angkat dan saudaranya yang lain. Apa lagi semenjak kepulangan Aris ke rumah, barang yang dulunya miliknya yang di beli oleh ibunya kini di rampas dan di ambil kembali.
Jadilah ia tinggal di rumah sama seperti pembantu, dan itu telah berlalu 2 tahun lalu.
Hingga akhirnya, Aris melakukan kesalahan, karena takut di salahka oleh ibunya, ia pun memfitnah Amirul dan Amirul pun di usir dari rumah.
Kini Amirul terluntang lantung pergi entah kemana, tempat tinggal orang tuanya dulu pun tidak ada yang mengenalinya juga, ia pun singgah di sebuah bangunan terbengkalai.
Di sana ada sebuah biji yang jatuh entah dari mana, karena kasihan, Amirul pun menanam di sampingnya, ia merasa ia dan biji itu senasib, tak di inginkan.
Tapi siapa sangka jika pohon itu tumbuh dalam semalam, dan hidupnya berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon less22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29
...🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️...
...happy reading...
...⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️...
Saat sepeda motor tukang ojek melaju melewati gerbang rumah, Amirul merasa dada terasa lega. Ia meroboh kantongnya mengeluarkan uang yang telah disiapkan, dan membayarkan tukang ojek tersebut dengan tangan yang sedikit gemetar akibat dingin.
"Terima kasih ya, Bang," ujar Amirul sambil mengusap matanya karena perih terkena angin.
Tukang ojek yang bernama Joko tersenyum lebar, tangannya mengelilingi stang sepeda motornya. "Sama-sama, Mas. Kalau kamu ingin pergi sekolah dengan kecepatan Turbo, biar nggak pernah terlambat lagi, hubungi saja nomor ini ya. Dan jangan lupa kasih bintang 5," kata Joko sebelum ia pergi.
"He he he, iya Bang. Terima kasih banyak ya." Amirul mengangguk sambil menyeka matanya lagi yang perih terkena angin dan percikan air saat perjalanan.
Joko pun menyalakan mesin sepeda motornya, mengeluarkan bunyi ledakan yang ringan, lalu melaju pergi meninggalkan Amirul yang berdiri di depan pintu rumah.
Tanpa menunda lagi, Amirul mengambil kunci dari saku celananya dan membuka pintu rumah dengan gerakan cepat. Ruangan dalam terasa sunyi.
Tanpa melewati ruang tamu, seolah-olah langit akan runtuh jika ia berhenti sejenak, Amirul melesat menuju halaman belakang rumah.
Pintu kayu yang usang berderit saat ia dorongnya, dan mata kepalanya langsung terjepit pada titik tertentu di sudut paling dalam: pohon yang ia tanam, kini berdiri tegak dengan cabang-cabang yang meluas.
Dan kali ini, pohon uangnya bertambah tinggi dan setiap dahannya, berbuah lebat seperti durian yang sedang panen.
"Ya ampun, sebanyak ini buahnya?" tanya Amirul dengan mata membulat sampai terasa nyeri, mulut terbuka lebar tak percaya. Ia mendekat, mengambil selembar uang tersebut.
Tanpa menunggu lama, Amirul pun memetik uang-uang tersebut satu per satu, menyusunnya dalam kardus untuk sementara waktu.
Hatinya berdebar kencang, ini jauh lebih banyak, dan yang ia butuhkan untuk membeli rumah baru. Tapi alasan utamanya tidak berubah: ia harus mengumpulkan uang lebih banyak lagi agar bisa membeli rumah yang lebih besar lagi untuk menyembunyikan pohon uangnya.
Karena yang ia takut ada orang lain yang mencuri pohon itu.
"Saya harus cepat, nih," bisik Amirul sambil memetik buah terakhir.
Setelah memetik semua buah pohon uang sampai tak tersisa satu pun di cabangnya, Amirul menyusun uang-uang itu di atas dasi kayu yang ia tarik dari gudang.
Setiap lembaran seratus ribu dan lima puluh ribu ia susun rapi, membentuk tumpukan yang tinggi seperti menara. Ia mengambil pulpen dan kertas catatan, lalu menghitungnya dengan teliti, jari-jarinya melintasi lembaran uang satu per satu.
"100... 200... 300..." suaranya pelan tapi tegas, mata tak beranjak dari tumpukan uang. Setiap kali mencapai satu juta, ia membuat tanda di kertas. Waktu terasa berjalan cepat, sudah lebih dari sejam ia duduk di situ, tapi ia tak merasa lelah.
Setelah beberapa saat, Amirul mengangkat kepala, matanya membelok ke angka yang tertulis di kertas. Ia menggosok-gosok mata, lalu membaca lagi. "Gila, 30 juta?" suaranya naik setinggi langit, tak percaya dengan hasil yang ia dapatkan.
...⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️...
thanks teh 💪💪💪