"Aku ingin kau menjadi orang yang menyusuinya."
Sienna menatap pria di hadapannya dengan mata membelalak, yakin bahwa ia pasti salah dengar. “Maaf, apa?”
Arsen Ludwig, pria yang baru diperkenalkan sebagai sponsor klub ice skatingnya, menatapnya tanpa ekspresi, seolah yang baru saja ia katakan adalah hal paling wajar di dunia.
“Anakku, Nathan. Dia menolak dot bayi. Satu-satunya cara agar dia mau minum susu adalah langsung dari sumbernya.”
Jantung Sienna berdebar kencang.
“Aku bukan seorang ibu. Aku bahkan belum pernah hamil. Bagaimana bisa—”
“Aku tahu,” potong Arsen cepat. “Tapi kau hanya perlu memberikan dadamu. Bukan menyusuinya secara alami, hanya membiarkan dia merasa nyaman.”
Ini adalah permintaan paling aneh yang pernah ia terima. Namun, mengapa ia tidak langsung menolaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
...****************...
Pagi di rumah Arsen terasa berbeda. Bukan seperti di apartemen kecilku dulu yang sunyi, juga bukan seperti di Milan yang penuh tekanan. Di sini, semuanya terasa… mewah, luas, tapi juga asing.
Aku menggeliat di tempat tidur, menatap langit-langit dengan perasaan kosong. Nathan masih tidur di sampingku, wajah polosnya terbenam di bantal kecilnya. Aku menarik napas panjang. Dulu, aku benci anak kecil. Mereka ribut, rewel, dan terlalu bergantung. Tapi Nathan… entah kenapa, aku tidak bisa menjauh darinya.
Aku pelan-pelan turun dari tempat tidur, membiarkan Nathan tetap terlelap. Saat membuka pintu kamar, aku terkejut melihat seorang pelayan sudah berdiri di depan pintu, membawa nampan berisi sarapan.
"Selamat pagi, Nyonya," katanya dengan hormat.
Aku nyaris tersedak udara. "Jangan panggil aku begitu."
Dia tampak ragu. "Tapi…—"
"Panggil saja Sienna," potongku cepat.
Pelayan itu mengangguk dan menaruh nampan di meja kecil di dalam kamarku. Aku menatap bubur hangat dan teh herbal di atas nampan itu. Tidak ada kopi, mungkin Arsen sudah memberi tahu kalau aku tidak boleh minum kafein selama pemulihan.
"Arsen di mana?" tanyaku sambil mengambil sendok."Tuan sedang bekerja di ruang kerjanya, tapi beliau berpesan kalau Anda membutuhkan sesuatu, langsung saja bilang."
Aku mengangguk, lalu membiarkan pelayan itu pergi. Aku mulai makan dengan perlahan, menikmati keheningan pagi ini. Tapi tidak bertahan lama, karena Nathan tiba-tiba menggeliat dan mulai menangis.
Aku buru-buru meletakkan sendok dan naik ke tempat tidur, menggendong Nathan yang mulai rewel.
"Hei, kau sudah bangun?"
Nathan hanya merintih kecil, wajahnya menggemaskan saat masih setengah sadar. Aku menggoyang-goyangkan tubuhnya sedikit, berusaha menenangkannya.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka tanpa mengetuk. Arsen berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja putih dengan beberapa kancing terbuka di bagian atas. Rambutnya masih agak berantakan, seperti baru saja bangun atau terlalu sibuk untuk menyisirnya.
"Dia rewel?" tanyanya.
Aku mengangguk sambil mengusap punggung Nathan. "Sepertinya lapar."
Arsen berjalan mendekat, matanya menatap Nathan dengan lembut. "Aku bisa menyuruh pelayan menyiapkan susu."
Aku terdiam. Dulu, aku tidak akan peduli apakah anak ini makan atau tidak. Aku bahkan tidak akan menyentuhnya. Tapi sekarang, tanpa berpikir panjang, aku menggendong Nathan erat, mencoba menenangkannya.
"Aku bisa mengurusnya," gumamku.
Arsen menatapku sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah. Kalau butuh sesuatu, panggil aku."
Dia berbalik dan keluar dari kamar, meninggalkan aku yang masih menggendong Nathan. Aku menghela napas panjang.
Hidupku sekarang… jauh berbeda dari yang kubayangkan. Aku seorang istri kontrak dan ibu pengganti untuk anak ini. Entah sampai kapan, tapi satu hal yang pasti—aku tidak bisa lagi membenci anak kecil.
...****************...
Aku baru saja selesai mengganti baju Nathan ketika pintu kamar terbuka. Arsen masuk dengan langkah santai, tangan dimasukkan ke dalam saku celananya.
"Dia makin lengket sama kau," ucapnya tiba-tiba.
"Memangnya kenapa?" Aku menoleh, melihat Nathan yang duduk di pangkuanku sambil memainkan jari-jarinya.
"Mungkin dia sudah melupakan papanya sendiri." Arsen menghela napas, berjalan mendekat, lalu duduk di tepi ranjang.
"Kau merasa sedih?" Aku terdiam, menatap wajahnya yang tampak lebih serius dari biasanya.
"Tentu saja. Aku ayahnya, tapi sekarang dia lebih nyaman denganmu." Dia tertawa kecil, tapi tidak terdengar seperti biasanya.
Nathan mendongak, matanya yang bulat menatap Arsen seakan memahami pembicaraan kami. Aku mengelus rambutnya pelan, berpikir sejenak sebelum menjawab.
"Dia masih bayi, Arsen. Wajar kalau dia lebih nyaman dengan seseorang yang selalu ada di dekatnya."
"Tapi tetap saja… aku merasa sedikit tersisih." Arsen menatap Nathan dengan senyum tipis.
"Kau juga jarang ada. Kerjamu terlalu banyak." Aku menghela napas, mengerti perasaannya.
"Aku harus memastikan semuanya berjalan lancar. Termasuk kehidupan kita yang tiba-tiba berubah ini." Dia mengangkat bahu, ekspresinya tetap tenang.
Aku tidak bisa membantah. Pernikahan kontrak ini, status kami, semua ini memang tiba-tiba.
Arsen tiba-tiba bergerak dan dengan santainya berbaring di ranjangku, kedua tangannya digunakan sebagai bantal di belakang kepalanya. Aku menatapnya kaget. "Hei! Kenapa kau tiduran di sini?"
"Aku lelah," jawabnya santai, tanpa niat untuk bangun.
"Tidur di kamarmu sendiri." Aku menghela napas panjang, menatapnya dengan kesal.
"Kenapa? Takut aku tidur di sini?" Dia membuka satu mata, ekspresinya menggoda.
"Bukan takut. Aku hanya tidak suka berbagi ranjang." Aku menahan keinginan untuk melempar bantal ke wajahnya.
"Aku tidak akan merepotkanmu. Biarkan aku beristirahat sebentar saja." Dia menutup matanya lagi, terlihat nyaman.
"Lihat? Kau malah membuat Nathan ikut naik ke atasmu." Aku mendecak kesal saat Nathan tiba-tiba menarik baju Arsen dan berusaha naik ke dadanya.
"Setidaknya dia masih mengingatku." Arsen membuka mata dan tersenyum lebar saat Nathan akhirnya berhasil memanjat.
Aku hanya bisa menghela napas. Hidup bersama Arsen Ludwig benar-benar tidak akan pernah tenang.
Nathan tertawa kecil di atas dada Arsen, tangannya menarik-narik kerah kaos pria itu seolah ingin memastikan ayahnya tetap di sana. Arsen hanya membiarkan, bahkan sesekali mengelus kepala anaknya dengan penuh kasih sayang.
Aku memperhatikan mereka dalam diam, entah kenapa dadaku terasa sedikit sesak. Ada sesuatu yang mengganjal, tapi aku tidak tahu apa.
"Lihat ini," Arsen tiba-tiba bersuara sambil melirik ke arahku. "Katanya Nathan sudah lebih dekat denganmu, tapi sekarang dia lebih memilih papanya, kan?"
Aku mengerjapkan mata, tidak sadar sejak kapan aku memperhatikan mereka begitu lama.
"Apa maksudmu?" tanyaku datar, berusaha menyangkal perasaan aneh yang tiba-tiba muncul.
Arsen terkekeh, ekspresi wajahnya terlihat menggoda. "Kau cemburu?"
Aku terdiam. Cemburu? Aku? Itu terdengar menggelikan. Kenapa aku harus cemburu kalau Nathan dekat dengan ayahnya sendiri?
"Jangan bercanda," sahutku sambil mengalihkan pandangan.
"Tapi wajahmu berbicara sebaliknya," balasnya santai. "Kau diam dan terus melihat kami sejak tadi."
Aku mendesis pelan, menyadari betapa bodohnya aku karena membiarkan ekspresi wajahku terbaca olehnya.
"Aku hanya terkejut," kilahku. "Biasanya dia lebih suka bersamaku."
"Itulah yang namanya cemburu, Sienna," ucap Arsen dengan nada menyebalkan. "Kau sudah terlalu terbiasa dengan Nathan yang selalu menempel padamu, lalu sekarang dia lebih memilihku, dan kau merasa kehilangan, kan?"
Aku membuka mulut untuk membantah, tapi tidak ada kata-kata yang keluar.
Arsen tertawa kecil melihat ekspresi wajahku. "Tenang saja, aku tidak akan merebut Nathan darimu."
"Bukan itu masalahnya!" seruku kesal.
Arsen hanya mengangkat alisnya, lalu kembali fokus pada Nathan yang masih bermain dengan bajunya. Aku menggigit bibir, tidak menyangka akan merasakan hal seperti ini.
Aku, Sienna Rosella, seorang atlet yang selalu mengutamakan karier, sekarang justru merasa... cemburu karena seorang bayi lebih memilih ayahnya daripada aku.
Astaga. Apa yang sebenarnya terjadi denganku?
.
.
.
.
Next 👉🏻