"Aku hamil lagi," ucap Gladys gemetar, ia menunduk tak berani menatap mata sang pria yang menghunus tajam padanya.
"Gugurkan," perintah Gustav dingin tanpa bantahan.
Gladys menggadaikan harga diri dan tubuhnya demi mimpinya menempuh pendidikan tinggi.
Bertahun-tahun menjadi penghangat ranjang Gustav hingga hamil dua kali dan keduanya terpaksa dia gugurkan atas perintah pria itu, Gladys mulai lelah menjalani hubungan toxic mereka.
Suatu ketika, ia bertemu dengan George, pelukis asal Inggris yang ramah dan lembut, untuk pertama kalinya Gladys merasa diperlakukan dengan baik dan dihormati.
George meyakinkan Gladys untuk meninggalkan Gustav tapi apakah meninggalkan pria itu adalah keputusan terbaik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nara Diani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 13
Gladys pergi ke toilet membasuh tangan setelah pertengkaran kecilnya dengan Gustav.
Ketika beranjak keluar Gustav tiba-tiba masuk mendorong dan mengungkungnya menghadap pada dinding.
Tangan pria itu mengunci satu tangannya ke dinding dan tangan yang lain mencekik lehernya pelan.
“Setelah menangis seperti penakut kau sudah berani melawanku sekarang!” gertak Gustav, suaranya beralun pelan serta dalam, seperti harimau yang mengeram tertahan sebelum melahap mangsa.
Gladys menelan kasar, tiba-tiba saja gugup, gejolak ketakutan pada Gustav kembali menguasainya, keberanian yang ia tunjukan tadi seketika hilang berganti dengan wajah menciut seperti anak kucing yang memojok karena takut di pukul.
“Dan pakaian yang kau kenakan ini, apa-apaan ini?” Gustav menyusuri punggung dan bahu terbuka Gladys, juga belahan paha yang tinggi.
Tangannya turun meremas paha mulus Gladys yang sejak di aula terekspos, bebas dilihat siapa pun, rahang Gustav mengeras, setiap inci dari tubuh Gladys adalah kesukaannya, catat, setiap inci, bahkan ujung kuku nya sekalipun!
“Aku suka gaun ini, gaun ini cantik, sesuai dengan seleraku.”
“Jadi seleramu adalah pamer badan, hem? Kalau begitu akan kubuka semua bajumu lalu menyeretmu ke aula, saat itu kau bisa pamerkan badan telanjangmu pada semua orang hingga kau puas!” Gustav menarik paksa gaun Gladys.
“Jangan!” Gladys memeluk tubuh sendiri menghalangi Gustav.
Namun, seperti yang kita tahu, tenaga pria jauh lebih kuat dari wanita, usaha Gladys sia-sia saja karena Gustav sudah lebih dulu menarik gaunnya hingga ia setengah telanjang.
“Jangan, stop! Gustav stop!” Perempuan itu menangis ketakutan, Gladys memeluk Gustav erat ketika pria itu mencoba merobek gaunnya.
“Jangan ...,” lirihnya sesenggukan di dada Gustav, memeluk si pria erat agar amarahnya menguap.
Gustav yang semula seperti kerasukan setan mulai mendingin kepalanya di peluk oleh Gladys.
Ia balas peluk tubuh kecil itu yang bergetar ketakutan, benar begini, memang seharusnya beginilah posisi Gladys selalu.
Tunduk menurut, dan memohon dengan takut, Gustav menikmati setiap detik tangisan Gladys yang menghadirkan perasaan puas dan bahagia di dadanya.
“Kenapa tidak mau?” pancingnya, ia turunkan lagi gaun Gladys membuat si perempuan menggeleng dan tangisnya makin kuat.
“Enggak, enggak mau. Aku malu jangan robek bajuku, tolong,” pinta Gladys sesenggukan.
Benar, seperti inilah harusnya dirimu padaku, Gladys. Bukan melawan tapi menangis dan memohon.
“Lalu apa maumu? Bukankah kau suka gaun yang terbuka, sekalian kau telanjang saja.”
Gladys menggeleng-geleng kuat dengan terbata-bata dia menjawab, “Tidak, aku tidak suka gaun yang terbuka, aku tidak suka telanjang di depan banyak orang.”
Gustav memeluk leher Gladys di dadanya mengusap surai lembut perempuan itu yang memanjang hingga pinggang.
“Benarkah tidak suka? Kau tidak suka tubuhmu dilihat banyak orang, hem?”
“Tidak, aku ... aku hanya suka dilihat olehmu.” Gustav menyungging senyum kemenangan.
Bagus, ini baru gadisku.
“Berarti kau hanya mau telanjang di depanku?” pancing Gustav, dengan lemah Gladys mengangguk.
“Iya.”
Dengan lembut Gustav naikkan kembali gaun Gladys ke atas, ia rapikan beberapa bagian yang kusut tak karuan akibat ulahnya sendiri.
Pria itu angkat Gladys yang masih sesenggukan di dalam gendongannya dan keluar dari bilik toilet.
Gladys memejamkan matanya yang perih, membenamkan wajah pada bahu tegap Gustav. Pria itu membawanya keluar gedung, menuju basement tempat mobilnya terparkir.
Gustav duduk di kursi kemudi tanpa melepaskan Gladys di pelukannya. Berkendara laju dengan badan Gladys yang menempel padanya dan kepala perempuan itu yang menyender di bahu.
Sampai di apartemen Gladys, Gustav memikir mobil di area parkir privat, keluar menggendong Gladys yang sudah lebih tenang untuk naik ke unitnya.
“Tidur, Eh?” gumam pria itu merasakan napas teratur Gladys yang berhembus di lehernya.
Gustav membaringkan tubuh Gladys ke ranjang perlahan agar tidak terbangun, ia usap wajah Gladys yang memerah lucu setelah habis menangis sepanjang jalan.
“Tetap di tempatmu, menjadi perempuan manis yang menyambut ku datang, jangan memasuki dunia yang tidak cocok denganmu, kau yang lemah ini akan menjadi santapan lezat bagi orang-orang yang berada di pesta itu.”
“Teruslah menjadi gadis baik dan dunia belajarmu sampai aku membuang melepasmu.”
Gustav melepaskan jas dan kemejanya sebelum ikut tidur bergabung dengan Gladys, ia tarik si perempuan mendekat, menyerap kehangatan dari tubuh Gladys yang selalu berhasil membuatnya tenang dan mengantuk.
***
George kembali ke meja yang semula ia tempati bersama Gladys, pria itu mengernyit bingung tidak mendapati Gladys atau pun tasnya ada di sana.
“Di mana dia?” gumam George, ia pun mulai mencari-cari Gladys di aula pesta hingga ke toilet.
Terakhir, George menekan kontak Gladys menghubungi ponselnya, beberapa kali ia lakukan tapi nomor Gladys tidak aktif.
“Tidak aktif, ke mana dia?” ujar pria itu khawatir menatap layar ponsel yang menyala.
“Apa Gladys sudah pulang? Kenapa dia tidak memberitahu?” George menghembuskan napas panjang berusaha berpikir positif mungkin saja ia lelah dan memilih pulang duluan.
***
Gladys terbangun dari tidurnya saat matahari mulai meninggi, saat tersadar ia merasakan tenggorokannya kering serta tidak nyaman.
Gladys berdeham kecil menormalkan suaranya yang serak, tenggorokannya agak sakit, mungkin efek dari menangis semalam.
“Jam berapa ini?” gumam perempuan itu melihat jam di ponsel Gustav karena jam dindingnya mati.
“Jam sembilan.”
Ia pandangi wajah Gustav yang masih tertidur lelap, wajah tampan yang menggetarkan jiwa, wajah tampan yang selalu berhasil memikat mata perempuan mana saja, sayang sekali sifat pria ini tidak seindah wajahnya.
Di luar Gustav terlihat dingin tak tersentuh, tetapi bagi Gladys, Gustav adalah pria yang menakutkan, pria yang selalu berhasil mengacaukan hati dan menyerang mentalnya.
Mata perempuan itu membulat, seketika ia tersadar, hari ini rabu, dia harus berangkat ke kampus sebentar sebelum ke kantor, Gustav juga harus bekerja.
“Gustav, bangun, sudah jam sembilan pagi, kamu harus berangkat ke kantor.” Gladys menggoyang-goyangkan bahu Gustav perlahan, jika terlalu kencang maka pria ini bisa tantrum.
“Gustav, bangun.” Gladys berujar di dekat telinganya.
Pria itu mengernyit kesal. “Berisik!”
“Ah!” Ia tarik Gladys hingga jatuh ke dadanya, mengapit kepala perempuan itu di ketiak.
“Bangun, kita harus berangkat kerja,” ucap Gladys tak jelas di ketiak Gustav.
“Tidak bekerja sehari tidak akan membuatku bangkrut.”
“Bagaimana denganku? Aku anak magang, aku akan dimarahi nanti kalau tidak masuk kerja,” protes Gladys setelah berhasil mengeluarkan kepalanya dari celah lengan Gustav.
“Siapa yang berani memarahi mu di kantorku?”
“Gustav, itu tidak profesional namanya.”
“Tutup mulutmu atau ku gigit bibirmu sampai bengkak.”
Gladys seketika terdiam, memilih membaringkan kembali kepalanya di dada Gustav pada akhirnya ia ikut tertidur karena Gustav menepuk-nepuk punggungnya lembut.
“Tidurlah kucingku,” bisik Gustav di sisa kesadarannya menepuk pinggul Gladys sebelum terlelap dan mereka tidur hingga siang.