“Aku menghamilinya, Arini. Nuri hamil. Maaf aku selingkuh dengannya. Aku harus menikahinya, Rin. Aku minta kamu tanda tangani surat persetujuan ini.”
Bak tersambar petir di siang hari. Tubuh Arini menegang setelah mendengar pengakuan dari Heru, suaminya, kalau suaminya selingkuh, dan selingkuhannya sedang hamil. Terlebih selingkuhannya adalah sahabatnya.
"Oke, aku kabulkan!"
Dengan perasaan hancur Arini menandatangani surat persetujuan suaminya menikah lagi.
Selang dua hari suaminya menikahi Nuri. Arini dengan anggunnya datang ke pesta pernikahan Suaminya. Namun, ia tak sendiri. Ia bersama Raka, sahabatnya yang tak lain pemilik perusahaan di mana Suami Arini bekerja.
"Kenapa kamu datang ke sini dengan Pak Raka? Apa maksud dari semua ini?" tanya Heru.
"Masalah? Kamu saja bisa begini, kenapa aku tidak? Ingat kamu yang memulainya, Mas!" jawabnya dengan sinis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga Puluh
Heru sampai di rumahnya. Benar di rumah hanya ada Papanya dan Nuri. Alvin terlihat sedang menyuapi Nuri es krim, Heru melihatnya dengan terheran, sedekat itu mereka?
“Papa?” Raka masuk ke dalam, sedangkan Alvin terlihat gugup melihat kedatangan Heru.
“Eh ka—kamu sudah pulang, Her?” tanya Alvin gugup.
“Ya, baru saja, Pa. Papa lagi nyuapin Nuri apa?” tanya Heru.
“Sayang ... tadi aku pengin banget makan es krim, terus diajak papa ke kedai es krim. Tadinya sih aku mau ke sana sendirian, tapi gak dibolehin sama papa,” terang Nuri.
“Oh ya? Makasih ya, Pa? Sudah direpotkan Nuri. Bukannya papa tadi berangkat ke kantor?”
“Papa ada yang ketinggalan, papa pulang, ambil dokumen, lihat Nuri sudah siap mau cari es krim. Ya sudah, Papa ajak dia sekalian,” jelas Alvin.
“Oh ya sudah, makasih ya, Pa?”
Heru langsung ke kamar, dia tidak mau lagi bertanya macam-macam, soal mamanya yang katanya membelikan baju ganti untuk Nuri pun tidak Heru tanyakan, karena dia ingin menanyakan langsung pada mamanya.
Sedangkan Nuri dan Alvin duduk di sofa dengan menghela napas lega, karena Heru hanya bertanya seperti itu saja.
“Jangan-jangan Arini nanti bilang sama Heru, Om,” ucap Nuri.
“Gak mungkin, Om tahu Arini bagaimana. Sudah gak usah khawatir, sana temui Heru. Meski om gak pernah rela kamu menikah degannya, Demi apa pun Om tak rela,” ucap Alvin.
“Kita akan sama-sama, Om. Meski aku dengan Heru. Keluarga Om harus tetap utuh, jangan sakiti Tante Laras,” ucap Nuri.
“Aku sama sekali tidak mencintainya, sejak awal menikah sampai detik ini. Kamu tidak tahu apa-apa, pernikahanku dengan Laras, hanya kedok semata. Semua orang tahunya aku sangat bahagia dan harmonis dengannya, tapi pada kenyataannya tidak seperti itu,” ucap Alvin.
“Maksud, Om?” tanya Nuri.
“Sudah sana temui suamimu dulu, Om mau balik ke kantor dulu,” ucap Alvin.
Tak ragu Alvin mengecup kening Nuri, dan mengusap lembut pipinya. Hampir saja Alvin menautkan bibirnya pada Nuri, tapi Nuri mendorong tubuh Alvin.
“Jangan ada Heru. Apa om kurang puas yang tadi?”
“Aku tidak pernah puas denganmu. Nanti malam menginap lagi, om masih kangen kamu,” bisik Alvin.
“Jangan nakal papa mertua,” ucap Nuri.
“Aku pastikan kamu akan jadi istriku!”
“Jangan macam-macam, Om!”
“Om tidak peduli, itu anak om, bukan anak Heru!” ucap Alvin, lalu pergi meninggalkan Nuri. Alvin sudah ingin sekali memiliki Nuri, apalagi dia sudah tahu anak yang ada di kandungan Nuri adalah darah dagingnya sendiri.
“Dia itu mandul, Melati! Dia yang mandul, bukan Arini!” batin Alvin.
Karena ingin menghabiskan waktu dengan Nuri, Alvin sampai tidak jadi menemui Arini. Tadinya Alvin ingin meminta Arini membongkar semua rahasia Heru. Bahwa Heru yang bermasalah dengan sistem reproduksinya. Tidak divonis mandul, akan tetapi Heru yang bermasalah, Heru yang harusnya melakukan terapi supaya bisa mengembalika sistem reproduksinya normal lagi, sedagkan Arini, dia tidak ada masalah, Arini yang subur. Akan tetapi, Arini menutupinya, dia bilang pada Raka hasilnya kalau dirinya yang ada sedikit masalah. Arini tidak mau Heru terlalu memikirkan hal itu, sesayang dan secinta itu Arini pada Heru, hingga hal seperti itu pun Arini sembunyikan dari Heru.
Nuri masuk ke dalam kamarnya. Dia melihat Heru tidak ada di dalam kamar, tapi mendengar suara gemercik air dari dalam kamar mandi. Nuri duduk di tepi ranjang, dengan mengusap perutnya. Ia tersenyum, mengingat Alvin yang hari ini memperlakukannya bak ratu.
“Sebentar lagi, aku yang akan jadi ratu di rumah ini. Om Alvin berpihak padaku, aku akan menjadi ratu di rumah ini, semua kekayaan Om Alvin pasti jatuh ke tanganku, apalagi anak ini adalah anaknya, dan dia berjenis kelamin laki-laki,” ucap Nuri dalam hati.
Heru keluar dari kamarnya, dia langsung menghampiri Nuri yang sedang duduk di tepi ranjang.
“Sayang, kamu tadi habis mandi?” tanya Heru.
Mata Nuri membelalak, ia ingat akan sesuatu. “Ehm ... i—iya, kenapa?” jawabnya.
“Dalaman kamu di lantai soalnya, kok ada lingerie hitam juga, apa kamu bawa itu? Kayaknya kamu gak punya itu?”
“Oh ya, i—itu memang punya aku, aku kan bawa sih, Mas? Itu baru, kemarin waktu aku ke mall sendirian itu, pas beli baju-baju hamil aku beli,” jawabnya.
“Baru? Kok di lantai berceceran gitu? Bareng sama dalaman juga?”
“Aku asal lempar saja, Sayang? Memangnya kenapa sih? Salah ya aku berantakan begitu?” ucapnya kesal seperti mau menangis.
“Enggak, Sayang. Heran saja kamu gak biasanya begitu? Lagian ke sini kok bawa lingerie juga? Terus kenapa semalam gak pakai?”
“Kamu kan tidur duluan sih, Sayang?”
“Oh iya lupa, ya sudah aku istirahat, aku capek, tadi aku baru saja ke gedung tempat untuk pernikahan kita, sudah 80 persen persiapannya, kita kok di sini masih santai saja, ya?”
“Ya mau apa lagi memangnya? Kan sudah ada yang menyiapkan semua?”
Heru sebetulnya masih mengganjal di hatinya. Bisa-bisanya Nuri tadi disuapi papanya, dan tatapan mata papanya juga seperti menyiratkan bukan tatapan pada seorang anak, apalagi sampai mengusap bibir Nuri juga yang belepotan karena es krim? Lalu lingerie dan dalaman Nuri yang berantakan di lantai kamar mandi, ada bekas sobekan juga di lingerie itu, harusnya tidak ada bekas sobekan, karena masih baru kata Nuri. Ditambah dengan ucapan Arini tadi, katanya Nuri dan papanya ada di kedai es krim. Katanya dengan mamanya juga, tapi pada kenyataannya mamanya masih dengan teman-teman arisannya.
“Apa jangan-jangan papa dan Nuri? Tidak, aku tidak boleh berpikiran sejahat itu pada papa dan Nuri!” rutuk Heru dalam hatinya.
Niat hati ingin sekali istirahat tidur siang, Heru malah tidak bisa istirahat. Pikirannya masih ke Nuri dan Papanya. Sedekat itu mereka? Padahal baru saja bertemu, dan saat pertama kali bertemu respon papanya seperti tidak suka pada Nuri, pada hubungannya dengan Nuri.
Heru memilih keluar kamar, saat melihat Nuri sudah memejamkan matanya. Pikirannya kacau, dia ingin menenangkan pikirannya di taman belakang. Sedangkan Nuri, dia bangun dari tidurnya yang pura-pura. Ia langsung merutuki dirinya yang ceroboh tadi.
“Kenapa aku sembarangan sekali sih! Lingeri itu kan yang tadi aku pakai saat sama Om Alvin, dia yang belikan juga! Sialan! Kenapa aku seceroboh ini? Pasti Heru sedang berpikir macam-macam!” umpat Nuri.
Alvin memberikan itu pada Nuri. Dia sudah ingin menumpahkan kerinduannya pada Nuri, dan tadi mereka berdua melepaskan rindu yang menggebu, yang lama mereka simpan.
“Kenapa aku takut ketahuan Heru? Biar saja dia tahu? Kan aku jadi sama Om Alvin? Gak mungkin Tante Laras akan macam-macam padaku, aku hamil anak Om Alvin, aku tidak takut lagi sekarang! Biar saja semua tahu! Biar Tante Laras tahu diri, gak bisa membuat Om Alvin bahagia saja belagu?” ucap Nuri.
si Nuri ini menjijikkan banget. sana sini mau....
mudah mudahan kena penyakit mematikan....