NovelToon NovelToon
Istri Kedua Suamiku

Istri Kedua Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Spiritual / Kehidupan di Kantor / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Suami ideal
Popularitas:4.9k
Nilai: 5
Nama Author: ARSLAMET

Sebuah keluarga yang harmonis dan hangat,
tercipta saat dua jiwa saling mencinta dan terbuka tanpa rahasia.
Itulah kisah Alisya dan Rendi—
rumah mereka bagaikan pelukan yang menenangkan,
tempat hati bersandar tanpa curiga.

Namun, kehangatan itu mendadak berubah…
Seperti api yang mengelilingi sunyi,
datanglah seorang perempuan, menembus batas kenyataan.

“Mas, aku datang...
Maaf jika ini bukan waktu yang tepat...
Tapi aku juga istrimu.”

Jleebb...
Seketika dunia Alisya runtuh dalam senyap.
Langit yang dulu biru berubah kelabu.
Cinta yang ia jaga, ternyata tak hanya miliknya.

Kapan kisah baru itu dimulai?
Sejak kapan rumah ini menyimpan dua nama untuk satu panggilan?

Dibalut cinta, dibungkus rahasia—
inilah cerita tentang kesetiaan yang diuji,
tentang hati yang terluka,
dan tentang pilihan yang tak selalu mudah.

Saksikan kisah Alisya, Rendi, dan Bunga...
Sebuah drama hati yang tak terucap,
Namun terasa sampai

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARSLAMET, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jejak yang tak seharusnya

Cahaya pagi menyusup lembut melalui tirai kamar penginapan. Suara burung dan deru samar kendaraan menjadi latar yang kontras dengan detak jantung Bunga yang tiba-tiba berpacu.

Ia terbangun lebih dulu, perlahan membuka mata... lalu tubuhnya membeku.

Di sisinya, Rendi tertidur pulas.

Lengan Rendi melingkari pinggangnya. Satu tangan lainnya terselip… menyentuh sesuatu yang seharusnya tidak disentuh. Dadanya. Nafas hangatnya menyentuh tengkuk. Posisi yang tak pernah ia bayangkan akan terjadi.

Bunga tak berani bergerak. Tak ingin membangunkan. Tak ingin membenarkan sesuatu yang mungkin hanya kesalahan tidur.

"Apa ini... mimpi? Atau aku terlalu berharap sampai semesta mempermainkan perasaanku?" batinnya bergetar, tapi wajahnya tetap tenang, pura-pura terpejam, pura-pura tak merasa.

Tiba-tiba, Rendi bergerak pelan. Matanya mengerjap. Pandangan masih buram. Ia menggeliat kecil… lalu tanpa sadar bergumam lirih:

“Alisya...”

Namun, saat jemarinya menekan sedikit lebih kuat, tubuh Bunga menegang. Dan dari bibirnya, lolos desah kecil yang nyaris tak bisa ditahan.

Rendi seketika membuka matanya. Matanya bertemu kenyataan.

Rasa kaget membuncah. Ia menarik tubuhnya menjauh. Tatapannya panik, tubuhnya tercekat. Tak percaya apa yang baru saja terjadi.

“Sial... kebiasaan bodohku,” gumamnya dengan suara parau. “Kalau kecapekan, aku suka berpindah posisi tanpa sadar… dan… dan melakukan hal-hal yang biasa kulakukan saat tidur dengan Alisya…”

Ia berdiri tergesa, tak berani menatap Bunga yang pura-pura masih tertidur. Segera ia masuk ke kamar mandi, membilas wajah dan menenangkan jiwanya yang tercerai-berai.

"Apa yang sudah aku lakukan...? Apa ini akan menyakitinya? Atau... menyakitiku juga?"

...****************...

Bunga tetap membeku di tempatnya. Setelah suara air terdengar, ia membuka mata. Menatap langit-langit kamar dengan hampa. Tangannya merapikan rambut, selimut, lalu duduk di ujung kasur dengan lutut dirangkul.

“Aku telah jadi miliknya… meski tak disengaja. Tapi... tubuh ini kini menyimpan jejak yang bukan milik hati.”

Ia bangkit perlahan, beranjak ke kamar mandi lain di sisi ruangan, menghapus bekas-bekas tidur yang tak pernah ia duga akan sebegitu dalam menyentuh perasaannya.

Rendi sudah pergi saat Bunga keluar. Tak ada pamit, tak ada catatan, hanya sisa aroma sabun di udara yang perlahan memudar.

Di dalam mobil, Rendi menyetir sendiri menuju lokasi terakhir proyek. Langit mendung menggantung, seolah mengerti betapa kalutnya batin lelaki itu.

“Aku tak ingat… kenapa aku bisa berpindah ke kasur. Apa aku melanggar garis yang kubuat sendiri? Atau ini bentuk kelalaian dari keletihan hati dan raga?”

Ponselnya berdering. Suara dari tim lapangan terdengar melalui Bluetooth mobil.

"Pak Rendi, mohon maaf, kami butuh keputusan segera soal bahan penutup atap. Cuaca di sini tak menentu, kalau tidak dipilih sekarang, kita bisa kehilangan momentum.”

Rendi menarik napas panjang.

 “Baik, saya ke lokasi sekarang. Kita rapatkan sebelum siang. Pastikan semua gambar revisi dibawa.”

“Siap, Pak.”

Telepon dimatikan. Tapi suara di hatinya belum juga reda.

“Setelah semua ini selesai… aku harus pulang. Bukan hanya untuk menepati janji, tapi untuk memastikan... bahwa hatiku belum hancur sepenuhnya.”

Di luar jendela, sawah dan pohon-pohon bergulir seperti potongan hidup yang terus berjalan. Tapi di dalam dadanya, ada satu pagi yang tak akan pernah bisa benar-benar ia lupakan—pagi yang membenturkan batas antara salah dan lelah, antara cinta dan tanggung jawab.

Dan langkah pulang... semakin terasa berat.

...****************...

Sore menepi dalam warna keemasan yang muram. Angin Yogyakarta bertiup lirih menyapu dedaunan dan menyentuh pipi Rendi seakan membawa bisikan rindu dari rumah—dari Alisya.

Di pelataran proyek, tangan Rendi menggenggam erat tangan kontraktor lokal, sebagai simbol kerja sama yang telah ia amanatkan sepenuhnya. Proyek akan berjalan tanpa dirinya mulai besok. Dia telah menyelesaikan apa yang menjadi tanggung jawabnya.

Namun, ada yang belum selesai—di dalam dada.

...****************...

Saat kembali ke penginapan, senja sudah menipis. Rendi berjalan cepat ke kamar, bergegas untuk bersiap. Tiket pesawat tengah malam telah diubah. Ia ingin cepat pulang, bukan hanya karena pekerjaan telah rampung, tapi karena hati sudah tak tahan menahan jarak.

Rendi sempat melirik kamar sebelah. Tak ada suara. Tak ada cahaya dari celah pintu. Hatinya mulai gelisah.

“Bunga?” gumamnya lirih.

Ia mengetuk pelan. Tak ada jawaban. Lalu ia turun ke lobi, meminta kunci cadangan dengan alasan khawatir Bunga jatuh sakit lagi.

Langkah kakinya makin cepat, napas makin tak teratur saat ia membuka pintu kamar itu.

Dan waktu seolah membeku.

Bunga baru keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan handuk pendek yang melilit tubuh mungilnya. Rambutnya masih basah, menetes di pundak. Kaki jenjangnya tampak tanpa perlindungan. Saat ia berbalik—matanya membelalak. Rendi pun kaget dan terdiam.

Dalam satu gerakan panik, handuk itu terlepas.

Rendi tercekat.

Bunga membeku. Matanya membulat. Waktu seperti memudar warnanya.

Tanpa kata, Rendi segera membungkuk, meraih handuk yang jatuh, tapi gerakan itu tak sengaja membuat telapak tangannya menyentuh bagian tubuh Bunga yang membuat degupnya tak karuan.

Bunga menggigit bibir, menahan malu, tapi juga tak menolak.

“Maaf, Bunga…” ucap Rendi, terbata, suaranya berat dan tercekik. Ia membalikkan badan, menutup mata dengan tangan. “Aku pikir kamu pingsan lagu. Aku khawatir…”

Namun pelan, Bunga melangkah, meraih tangan Rendi dari belakang, menaruhnya di dadanya yang kini tertutup lengan sendiri.

“Tak apa…” bisiknya. “Bahkan jika kamu lebih dari sekadar melihat, aku tak akan menghindar, Pak. Aku... sudah terlalu dalam merasa... dan ini bukan hanya karena pernikahan yang dipaksakan.”

Rendi membeku.

Bunga melingkarkan tangannya ke pinggang Rendi, mencoba membalikkan tubuh pria itu. Mata Rendi tetap tertutup.

“Buka matamu…” ucap Bunga pelan, hampir seperti memohon.

Rendi membuka mata perlahan. Tatapan mereka bertemu. Di mata Bunga, ada luka, ada rindu, dan ada cinta yang ia sendiri tak mengerti asalnya.

Namun Rendi hanya menarik nafas panjang. Lalu dengan cepat, ia meraih selimut dari tepi kasur, dan melilitkan ke tubuh Bunga sepenuhnya.

“Maafkan aku…” bisiknya. “Aku lelaki. Dan kamu wanita. Tapi di antara kita, ada cerita yang belum selesai.”

Bunga terdiam. Nafasnya gemetar.

“Biarkan aku bicara dulu dengan Alisya. Biarkan dia tahu semuanya. Aku tak ingin hatimu hancur karena aku tak jujur. Dan aku... tak ingin menyentuhmu hanya karena kamu tak menolak. Itu bukan cinta. Itu luka yang tak tahu cara menyembuhkan diri.”

Rendi menunduk. Suaranya hampir tak terdengar.

“Tiga jam lagi kita ke bandara. Tiket besok sudah hangus, aku sudah ganti. Kita pulang malam ini.”

Bunga hanya berdiri mematung, air matanya jatuh satu per satu. Dalam diamnya, ia tahu… yang berdegup kencang di dadanya itu nyata. Tapi kadang, yang nyata bukan berarti akan tinggal.

Ketika pintu tertutup, ia menatap lantai kamar, lalu bergumam lirih:

“Jika pernikahan ini kesalahan, lalu... apa nama dari perasaan yang tak bisa kupadamkan ini?”

Dan di luar kamar, Rendi bersandar pada dinding, menutup mata, lalu memutar video Rasya yang dikirim Alisya sore tadi. Suara tawa anak itu seperti cambuk yang membangunkan hati.

“Tunggulah, Alisya… Aku pulang. Tapi tak dengan tangan hampa. Melainkan dengan sebuah kebenaran yang perlu kau dengar langsung dari mata yang pernah kau percaya.”

1
Yati Syahira
sdh panjang bab tdk terungkap perselingkuhan suaminya aneeh bikin males baca
ARSLAMET: biar makin penasaran kak , hehehe staytune trus ya
total 1 replies
D͜͡ ๓KURNI CACAH
wanita sebaik dan secantik sabar alisha kok bisa si di sakiti Sama laku laku kampret Kya si Rendi
D͜͡ ๓KURNI CACAH
ngk rela bgt alisha di Madu
D͜͡ ๓KURNI CACAH
kampret Rendi sama bunga kok bisa nikah ...dasar laki laki apa pun ala San nya tetap tak di benarkan
Rubyna
kok gak ada kejelasan tiba tiba menikah karna apa, dan bunga seharus nya menolak tau kan kalau Rendi susah beristri
ARSLAMET: dukungan nya kaka , selalu berharap yang terbaik untuk tulisan ku dan semua hal hehe
Rubyna: semangat ya, noveltoon gak kayak dulu, asal kontrak sudah dapat cuan sekarang susah
total 4 replies
❤ Nadia Sari ❤
ketikannya kok center semua?
ARSLAMET: @ terimakasih sebelumnya atas sarannya ..
❤ Nadia Sari ❤: bagus yg awal aku tadi bacanya kayak lagu
total 3 replies
pembaca
lanjut kan tuk menuju sukses
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!