Setelah sepuluh tahun menjanda setelah pernikahan kedua, Ratna dihadapkan oleh perilaku tak terduga dari anak tiri yang ia rawat. Setelah menikah dengan Dirli, Amora mengusir Ratna dari rumah peninggalan ayahnya (suami Ratna).
Suatu hari, ia bertemu dengan seorang pria tua memakai jaket ojek online. Pria bernama Robin itu melihat ketulusan Ratna yang menolong orang yang tak dikenal. Dengan lantang ia mengajak Ratna menikah.
Dalam pernikahan ketiga ini, ia baru sadar, banyak hal yang dirahasiakan oleh suami barunya, yang mengaku sebagai tukang ojek ini.
Rahasia apakah yang disembunyikan Robin? Apakah dalam Pernikahan yang Ketiga dalam usia lanjut ini, rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada konflik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Permintaan Robin
Sepanjang perjalanan, Robin sesekali menoleh ke arah Ratna, namun tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut istrinya. Ia menangis dalam diam, bahkan isakan pun ia coba untuk tak terlihat. Air matanya jatuh satu per satu, membasahi pipi, tapi suara tangisnya seperti terkubur dalam dada.
Dalam kepalanya, potongan-potongan masa lalu berloncatan tanpa ampun.
Malam ketika ia melahirkan Hanza, di rumah kontrakan sempit yang dindingnya nyaris tak bisa meredam suara hujan, masih terasa begitu jelas. Asmara, suaminya, duduk di sudut kamar sambil memeluk lutut, matanya menyimpan rasa bersalah karena tak bisa memberikannya lebih dari ini. Sementara Ratna menggigil di atas kasur tipis, menahan rasa sakit bukan hanya karena persalinan, tetapi juga karena rasa kehilangan harga diri yang begitu dalam.
Ratna dulu terbiasa diberikan fasilitas mewah di saat Asmara masih menjadi seorang tuan muda. Laki-laki itu begitu dihormati semua rekan kuliah dan kerjanya.
Akan tetapi setelah menikah diam-diam tanpa restu keluarga, terutama dari ayah Asmara, segalanya berubah. Mereka diusir. Tak lagi memiliki rumah, kendaraan, atau tabungan. Yang tersisa hanya cinta dan ... harapan yang terus diuji.
Dalam keputusasaan itulah Ratna muda, mulai goyah. Ia lelah. Ia marah pada keadaan. Dan saat seorang pria mapan muncul membawa janji tentang kenyamanan dan kehidupan yang lebih baik, ia tak menolak. Ia menyerah dengan keadaan.
Ratna tak pernah lupa hari itu. Hari ketika ia meninggalkan kontrakan dan tak menoleh lagi. Meninggalkan suaminya yang masih memohon, dan bayi kecil bernama Hanza yang masih belum bisa memanggilnya dengan "Mama".
Namun ternyata, yang ia dapatkan bukanlah kebahagiaan seperti yang dijanjikan. Di rumah besar keluarga Baroto, ia tak lebih dari pelayan dengan status istri diam-diam dari pria tua yang sakit-sakitan. Hidupnya kembali menjadi penjara, hanya saja kali ini dindingnya lebih mewah dan jerujinya tak terlihat.
Ia disuruh merawat Amora, anak perempuan dari istri Baroto yang sudah meninggal. Gadis kecil itu tumbuh dengan dingin, seperti ibunya tak pernah ada, dan Ratna dipaksa mengisi kekosongan itu dengan kasih sayang yang tak pernah bisa benar-benar ia berikan. Sebab hatinya ... selalu tertinggal di kontrakan kecil, pada suami yang pernah setia, dan anak yang ia tinggalkan demi mimpi yang salah.
Ratna terisak pelan di samping Robin. Kini suara tangisnya mulai terdengar.
Robin menggenggam tangan Ratna tanpa berkata apa-apa. Ia tahu, tak semua luka harus dijawab dengan kalimat bijak. Beberapa luka hanya perlu ruang ... dan waktu untuk sembuh perlahan.
Sembari menenangkan Ratna, Robin diam-diam menatap wajah wanita yang sudah menjadi istrinya itu. Dalam hati, ia mengucap satu kalimat pendek yang tak terucap. “Kalau saja aku mengenalmu lebih dulu, mungkin kamu tak perlu melalui hidup serumit ini.” Tapi Robin tahu, bahwa hidup tak pernah menawari kata, ulang.
Robin berhenti di sebuah warung bakso. "Lebih baik kita makan ini ya? Rasanya, aku sudah terlalu lama tak memakan ini," ucap Robin yang telah turun dari motornya.
Dengan cepat, ia mengusap pipi menghapus air mata yang sengaja disembunyikan dalam diamnya. Lalu Ratna melepas helm dan turun.
"Ya, aku rasa aku butuh makanan pedas, level tiga puluh," ucapnya mencoba pura-pura bersemangat.
"Jangan! Kita ini udah berumur loh? Kamu jangan aneh-aneh! Bahkan, kita tidak boleh memakan ini terlalu sering."
Ratna sedikit tersenyum. "Sebelum ketemu kamu, aku makan bakso hampir tiap hari malah," ucapnya.
"Mulai hari ini, aku yang akan mengontrol pilihan makananmu. Aku tak ingin, di saat usia kita terus bertambah, aku menjadi renta sendiri saat mendatangi makammu."
Ratna pun tersenyum luluh. "Pak Ojek Tua ini sungguh sangat memperhatikan aku, ya?"
"Tentu saja, aku tak mau kamu terus tenggelam dalam masa lalu. Seperti yang aku katakan, masa laluku mungkin tak lebih baik dari masa lalumu."
Sejenak, netra milik Robin mengambang terbayang akan penyesalan yang terus menggantung. "Aku dulunya —"
Ratna menarik tangan pria berambut putih itu masuk ke dalam warung bakso. "Sudah lah, kan kamu sendiri yang bilang kita tak perlu tenggelam dalam masa lalu."
Robin mengangguk setuju. Lalu, ia bagai teringat akan sesuatu. "Kamu tahu nggak? Putri cantikmu itu sangat mirip denganmu lho? Apa berlebihan jika aku berharap menginginkan bayi mungil dari rahimmu juga?"
Ratna tampak berpikir sejenak. "Hmmm, entah lah. Nanti aku khawatir kalau memang ada rezeki begitu, anak kita akan bingung mau memanggil kita dengan 'papa mama' atau 'nenek kakek'."
Lalu mereka berdua tertawa bersama dengan pikiran masing-masing yang berbeda.
Di rumah keluarga Asmara
Hanza berdiri di balkon kamarnya. Matanya kosong, memandangi langit yang mulai gelap.
Aylin mengetuk pelan pintu kamar, lalu menyusul Hanza berdiri di balkon.
“Masih kepikiran soal tadi?” tanyanya lembut.
Hanza hanya mengangguk. “Dia menangis, Ma. Tapi kenapa aku nggak bisa merasa kasihan? Kenapa rasa marahku malah semakin besar?”
Aylin menghela napas, menatap putri sambungnya dengan penuh kasih.
“Karena kamu sudah membangun tembok selama bertahun-tahun, Nak. Dan tembok itu nggak bisa langsung roboh hanya karena satu pertemuan.”
Hanza memalingkan wajah. “Dia pergi saat aku masih bayi. Hidupnya mungkin susah, tapi itu pilihannya. Aku... aku mungkin belum pernah memanggilnya dengan baik.”
Aylin memeluk Hanza dari samping. “Kamu nggak salah. Akan tetapi kamu sendiri memiliki pilihan. Mau terus hidup dalam dendam, atau... mulai membuka ruang kecil untuk memaafkan.”
Malam hari di rumah kecil yang dihuni Ratna dan Robin
"Sayaaang." Robin telah merebahkan diri di atas ranjang. Ia menepuk-nepuk sisi kosong di atas sprei putih di sampingnya.
"Malam ini, aku tak akan melepaskanmu seperti malam tadi."
Namun, tangan Ratna tampak memasang pembalut pada celana d*lam miliknya membuat mata Robin terbelalak.
"Loh, kok?" Wajahnya tampak sedikit protes.
"Istrimu ini wanita tulen. Ya ada masa bulanannya dong," ucapnya lagi membawa benda itu ke kamar mandi.
"Ck!" Raut Robin tampak kesal. Malam yang diinginkannya kembali gagal.
"Dulu kamu gimana melepaskannya di saat gak punya istri?" tanya Ratna dalam kamar mandi.
Tapi, Robin menenggelamkan kepalanya di bawah bantal.
Karena tak mendapat jawaban, Ratna kembali menggodanya. "Jawab dong, Pak Ojek, jangan ngambek aja?"