Saksikan perjalanan seorang gadis yang tidak menyadari apa yang telah disiapkan takdir untuknya. Seorang gadis yang berjuang untuk memahami konsep cinta sampai dia bertemu 'dia', seorang laki-laki yang membimbingnya menuju jalan yang lebih cerah dalam hidup. Yuk rasakan suka duka perjalanan hidup gadis ini di setiap chapternya.
Happy Reading 🌷
Jangan lupa likenyaa💐💐💐
Semoga kalian betah sampai akhir kisah Alsha🌷 Aamiin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Febby Eliyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30. Program Arshaka
...Assalamualaikum guys!! Sebelum baca, bantu support yaa dengan follow, vote, like dan komen di setiap paragraf nya!! Karena support kalian sangat berarti bagiku💐Makasiiii!🌷...
...••••...
...🌷Happy Reading 🌷...
...•...
...•...
...•...
..."Dalam setiap tatapan dan setiap ucapan, ada dunia yang mungkin tidak kita pahami sepenuhnya, tetapi tetap menyentuh jiwa kita."...
...°°°°...
Seusai pelajaran terakhir, Keenan memaksaku pulang bersamanya. Dia bersikeras hanya ingin menemaniku berjalan kaki, namun aku menolak dengan halus.
"Ada urusan OSIS mendadak," kataku, mencoba menjelaskan agar dia tidak merasa diabaikan.
Beda dari biasanya, Keenan tidak marah. Dia malah tersenyum, menerima alasanku tanpa protes. Perubahan sikapnya sejak kejadian seminggu lalu sungguh nyata.
Keenan yang dulu mudah tersulut emosi dan memaksaku menuruti kehendaknya kini tampak lebih dewasa. Meskipun sedikit terkejut dengan perubahannya, tapi aku senang.
Kini, aku duduk sendirian di depan ruang OSIS. Napasku terasa berat saat kuperiksa jam tangan untuk kesekian kalinya. Hampir satu jam berlalu, dan bayangannya belum juga terlihat. Aku sudah menunggu di depan kelasku tadi, berharap dia muncul, tapi ternyata tidak. Akhirnya, aku memutuskan untuk menunggu di sini, meskipun mulai merasa tidak pasti.
Aku ingin menghubunginya, tapi ada sesuatu dalam diriku yang menahan. Jari-jariku ragu setiap kali mencoba menekan tombol panggil pada kontak bertuliskan 'Shaka'. Rasa gelisah semakin menguasai hatiku seiring berjalannya waktu. Aku berdiri, mulai mondar-mandir di depan ruang OSIS, merasa cemas tanpa kejelasan.
Klik?
Tidak, aku masih ragu lagi.
Klik?
Jari-jariku kembali mundur. Aduh! Ini gimana sih!
Klik?
Lagi-lagi, aku urung menekan.
Klik?
Akhirnya, dengan napas tertahan, aku memutuskan untuk benar-benar menghubunginya.
Namun, sebelum sempat menekan tombol panggil, suara yang akrab terdengar dari belakang.
"Klik aja, ngapain ragu segala."
Aku berbalik dengan cepat, terkejut melihat sosok yang ingin ku hubungi berdiri di sana. Tatapannya tenang, meski ada sedikit penyesalan dalam matanya.
"Sorry, udah buat lo nunggu lama," ucapnya, suaranya rendah namun cukup untuk membuatku mengangguk tanpa suara.
Dia melangkah masuk ke ruang OSIS, dan aku mengikutinya. Langkah-langkah kami bergema di ruangan yang mulai sepi, seiring berlalunya waktu setelah jam pulang sekolah. Ruangan ini terasa dingin, bukan hanya karena AC yang menderu pelan, tetapi juga karena keheningan yang menyelimuti kami.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang tegang. Arshaka duduk di meja depan, membuka tas yang tergantung di bahunya, lalu mengeluarkan sebuah map. Matanya melirikku sekilas sebelum dia berkata dengan nada yang tegas,
"Ngapain disitu? Duduk."
Tanpa sadar, tubuhku langsung menurut. Aku duduk, meskipun perasaan gugup masih menyelimuti. Dulu, aku seringkali yang menyulut emosinya, tapi sekarang, entah mengapa, keberadaannya membuatku sedikit takut.
Tiba-tiba, dering telepon memecah keheningan. Bukan milikku, melainkan milik Arshaka. Suaranya terdengar lebih berat saat dia menjawab panggilan, memberikan perintah singkat dan tegas,
"Lo pulang dulu, gue lagi ada urusan."
Setelah itu, dia menatapku dengan ekspresi yang sulit kuartikan, lalu menambahkan, "Masalah itu biar gue yang urus," Sebelum menutup telepon dan memasukkannya ke saku celananya.
Dengan langkah mantap, Arshaka mendekatiku, map kertas di tangannya. Dia menyodorkannya kepadaku dengan gerakan yang cekatan.
"Ini ide program gue. Coba lo cek dulu," perintahnya, nadanya datar namun mengandung ketegasan yang sulit diabaikan.
Tangan ku terulur menerima map itu, meskipun hatiku berdegup kencang. Selama lebih dari seminggu, dia menghindariku tanpa alasan yang jelas, dan kini dia kembali dengan tugas baru yang harus aku lakukan.
Aku membuka map tersebut, mataku menyusuri sketsa dan rencana yang ada di dalamnya. Meski aku merasa sedikit ragu dengan ide-idenya, aku tetap mencoba mencari kepastian di tatapannya.
"Kamu serius?" tanyaku, berharap ada kejelasan dalam jawabannya.
Arshaka mengangguk, menaikkan kedua alisnya seolah mengatakan bahwa tidak ada keraguan. Aku mengerutkan dahi, masih ragu, mataku kembali meneliti kertas-kertas itu.
"Lo harus temenin gue buat ngajukan program ini ke kepala sekolah," lanjutnya dengan suara penuh percaya diri, mengejutkanku.
Aku? Kenapa harus aku? Kenapa bukan Ghisel saja?
"Lo sekretaris, kan?" Arshaka kembali menegaskan, tatapannya tajam. "Lo harus patuh sama ketua lo."
"Lo harus selalu siap nemenin gue," suaranya kini lebih dalam, hampir seperti peringatan.
"Kemanapun dan kapanpun gue minta."
Kalimat terakhirnya menusuk perasaanku, membuat seluruh tubuhku gemetar halus. Jantungku berdebar semakin kencang, dan aku menelan ludah dengan susah payah, mencoba menenangkan diri.
Aku mengangguk, berusaha menyembunyikan kegugupanku di balik senyuman yang lemah, meskipun hatiku terasa kacau.
"Lo gak usah khawatir, lo cukup temenin gue aja. Biar gue yang ngomong nanti," lanjut Arshaka, mungkin dia bisa merasakan kegelisahanku.
Aku mengangguk pelan, meskipun jantungku masih belum mau tenang.
"Udah, gitu aja. Lo boleh pergi," katanya lagi, sebelum melangkah kembali ke meja depan, meninggalkanku dengan pikiran yang masih berputar.
"Berkasnya lo yang nyimpen. Besok bawa," ucap Arshaka lagi, kali ini tanpa menoleh.
Nada suaranya tegas, seolah tak memberi ruang untuk argumen.
Aku hanya mengangguk pelan, meskipun dia tak melihatnya. Dengan tangan sedikit gemetar, aku meraih map kertas itu dan memasukkannya ke dalam ransel.
Kertas-kertas di dalamnya terasa dingin di tanganku, sama dinginnya dengan suasana di antara kami.
Gerakanku cepat dan tanpa suara, seolah-olah aku takut mengganggu ketenangan ruangan yang kini dikuasai oleh Arshaka.
Ransel itu kini tergantung di bahuku, beratnya seperti menambah beban di dalam pikiranku.
Aku berbalik, siap melangkah keluar tanpa menoleh lagi, namun tiba-tiba, suara Arshaka memecah keheningan, menghentikan langkahku seketika.
"Lo udah sholat Ashar?" Suaranya terdengar tenang, tanpa ada tanda-tanda emosi. Dia bahkan tidak mengangkat kepalanya, tangannya masih sibuk mengetik sesuatu di laptopnya.
"Udah," jawabku cepat, mencoba menjaga suaraku tetap stabil.
Aku menunggu sejenak, mungkin berharap dia akan menanyakan sesuatu lagi. Namun, saat tidak ada respon, aku pun melangkah menuju pintu, merasa lega karena bisa segera pergi.
Namun, harapanku sirna saat suaranya kembali menggema di ruangan yang sepi itu.
"Lo udah makan?"
Langkahku kembali terhenti di ambang pintu. Kali ini, aku menoleh ke arahnya. Dia sedang merapikan laptopnya, memasukkannya ke dalam ransel dengan gerakan yang terlatih. Lalu, dia menyampirkan ransel itu ke salah satu bahunya dan menatapku.
"Udah, tadi—"
Belum selesai aku menjawab, dia memotong dengan nada datar yang sudah biasa kudengar. "Rey yang ngasih lo makanan."
Dia mulai berjalan ke arahku, menutup pintu ruang OSIS dengan satu gerakan mulus, lalu menguncinya dengan satu putaran cepat.
Tatapannya kembali terarah padaku saat aku mengangguk pelan, membenarkan apa yang sudah dia ketahui.
Langkahnya terus berlanjut, melewatiku tanpa sedikit pun ragu. Mataku mengikuti gerakannya, tapi aku tetap terpaku di depan pintu, tak mampu menggerakkan kaki.
Lorong sekolah yang sepi membuat suara langkahnya bergema, menciptakan irama yang anehnya menenangkan.
"Ngapain bengong? Ayo pulang." Suaranya yang lantang dan tegas terdengar jelas meski jarak kami sudah sekitar tujuh meter.
"Gue temenin." Ucapan itu seperti perintah yang tak bisa ditolak.
Meskipun jarak kami agak jauh, ada sesuatu dalam suaranya yang memaksaku untuk mengikuti.
Tubuhku bergerak tanpa komando dari pikiranku, mengikuti langkahnya tanpa ragu.
Aku berjalan di belakangnya, mengikuti jejak Ketua OSIS SMAN Cendana itu.
Setiap langkahku terasa berat, seolah-olah setiap inci jarak yang kutempuh memperbesar jarak emosional di antara kami, tetapi entah bagaimana, ada dorongan yang membuatku terus berjalan.
Arshaka melangkah dengan mantap di depanku, setiap gerakannya mencerminkan sosok yang begitu teratur dan perfeksionis.
Jas almamater yang ia kenakan terlihat tetap rapi, tanpa satu pun kerutan yang mengganggu, meskipun hari sekolah sudah lama berlalu.
Rambutnya, meski telah melewati berbagai aktivitas hari ini, masih tertata sempurna. Seolah angin pun enggan mengacaknya.
Aku bisa merasakan aroma segar yang masih melekat padanya, meskipun jarak kami sedikit berjauhan. Wangi yang tidak terlalu menyengat, namun cukup untuk membuat siapapun di dekatnya merasa nyaman.
Langkahnya tegas, tanpa keraguan, dan aku hanya bisa mengikuti di belakangnya, seperti mengikuti bayangan seorang pemimpin yang tahu persis ke mana ia harus pergi.
Meski tidak menoleh, aku tahu bahwa setiap detail dalam penampilan Arshaka tidak pernah luput dari perhatiannya.
Menunjukkan seberapa jauh ia menjaga kesempurnaan dalam segala hal.
Saat kami tiba di lapangan yang mengarah ke gerbang sekolah, mataku menyapu sekeliling. SMAN Cendana benar-benar sepi, seolah waktu berhenti di tempat ini. Hanya ada beberapa motor dan mobil yang tersisa, mungkin milik beberapa guru yang masih sibuk lembur.
Arshaka terus melangkah di depanku, langkahnya mantap dan tak tergoyahkan, tanpa sedikitpun menoleh ke belakang.
Aku bergegas mempercepat langkahku untuk menyusulnya, tapi tetap menjaga jarak.
Mengikutinya dari belakang. Seperti bayangan yang enggan mengganggu.
Ketika kami akhirnya sampai di luar gerbang sekolah, pandanganku tertuju pada satu tempat. Tempat itu.
Di sana, di penyeberangan yang sepi itu, aku pernah tergeletak tak berdaya, tenggelam dalam kegelapan selama dua hari yang terasa seperti kekekalan.
Ingatan itu menghentikan langkahku, dan tampaknya, bukan hanya aku yang merasakannya. Arshaka pun berhenti, seolah merasakan beban yang sama menghantam dadanya.
Aku ingat betul, pada hari kejadian itu, kami pulang bersama. Ada sedikit cekcok di antara kami—hal yang biasa terjadi. Tapi sekarang, aku tak lagi punya keberanian untuk meninggikan suaraku di depannya. Ketakutan itu muncul, membekukan seluruh keberanianku.
Mungkin karena sikap dinginnya selama seminggu terakhir, atau karena perdebatan sengit saat pemilihan struktur inti OSIS.
Entah mengapa, hatiku seperti terkunci rapat setiap kali aku melihatnya.
Lamunanku terhenti oleh suara tepuk tangan Arshaka yang tiba-tiba membahana, memecah keheningan.
Aku menoleh, melihat dia tengah menghentikan sebuah angkot. Tak butuh waktu lama, angkot itu segera berhenti di depan kami.
"Masuk," perintahnya dengan nada tegas. Aku langsung masuk ke dalam angkot tanpa protes.
Arshaka memilih duduk di depan bersama supir, meskipun angkot itu nyaris kosong. Hanya ada kami berdua sebagai penumpang.
Aku menarik napas panjang, merasakan jarak yang semakin menjauh di antara kami.
Tak hanya secara fisik, tapi juga dalam segala hal yang dulu terasa akrab.
"Pelan-pelan aja, Pak," ucapnya kepada supir angkot dengan nada datar namun jelas.
Supir itu menoleh sedikit, kebingungan, tapi tetap menjalankan angkotnya. "Gak keburu emang, Dik?"
"Keburu," jawab Arshaka singkat.
Aku mengerutkan kening, apa maksudnya? Ada sesuatu yang ingin kusampaikan, tapi lidahku kelu.
Supir angkot itu kembali menoleh, kini menatap Arshaka dengan penasaran. "Trus, kenapa minta pelan, Dik?"
"Dia alergi dingin," jawabnya, matanya menatapku melalui spion dalam angkot. Pandangan itu begitu tajam, seolah menembus pertahananku.
Supir angkot itu menoleh ke belakang, menatapku dengan sorot penuh pengertian. Dia mengangguk kecil sambil tersenyum seolah mengatakan bahwa dia mengerti.
Angin dingin mulai menerobos masuk melalui jendela angkot yang terbuka lebar, meskipun laju angkot ini sudah sangat pelan, tapi mereka masih bisa menyentuh kulitku dengan dingin yang menusuk.
Tanganku yang sejak tadi merangkul tubuhku sendiri mulai terasa kaku. Aku mencoba menahan batuk yang menggelitik tenggorokanku sejak di ruang OSIS tadi.
Berusaha untuk tidak mengganggunya.
Saat aku melihat ke arah spion lagi, Arshaka masih menatapku. Tanpa sadar, aku melepaskan pelukan pada diriku sendiri, menaruh tangan di atas pangkuanku.
Tapi kedua telapak tanganku masih saling menggenggam erat, mencoba menciptakan kehangatan yang terasa semakin sulit didapat.
Sejak kejadian hujan malam itu, tubuhku tak lagi tahan dengan dingin. Mungkin karena udara malam yang kuhirup terlalu dalam waktu itu, membuat tubuhku bereaksi seperti ini.
Sejak saat itu juga, aku jarang mengunjungi tempat khususku, tempat dimana bintang dan bulan biasa menemani malamku.
Kini, aku hanya berani menatap mereka dari balik jendela besar di kamarku, terhalang oleh kaca bening yang entah kenapa terasa seperti penghalang antara aku dan dunia yang selalu kutatap dengan penuh cinta.
"Di sini, Pak," ucap Arshaka setelah beberapa menit, suaranya tegas namun tidak tergesa-gesa. Supir angkot itu segera menghentikan kendaraan di depan gerbang rumahku, dan aku akhirnya sampai di tujuan.
Aku segera turun dari angkot, mataku melayang ke langit senja yang mulai gelap. Saat aku hendak merogoh sakuku untuk membayar, suara supir angkot menghentikanku.
"Udah dibayar, Dik, sama Masnya."
Kaget, aku menoleh ke arah supir angkot, kebingungan. Kapan? Perasaan tadi enggak deh. Apa karena aku banyak melamun ya tadi?
Aku mengalihkan pandangan ke Arshaka yang masih duduk di tempat, menatap ke depan tanpa menoleh ke arahku. Aku menghela napas panjang, menoleh lagi ke supir angkot, "Kalau gitu, makasih, Pak."
Supir angkot itu membalas dengan senyuman ramah, "Sama-sama, Dik."
"Gak mau bilang makasih ke Masnya?" tanya supir angkot itu, suaranya penuh perhatian. Aku menatap Arshaka lagi, yang tetap diam, seakan-akan aku tidak ada di situ.
Entah mengapa, bibirku terasa berat untuk mengucapkan terima kasih kepadanya. Ada sesuatu yang menahan kata-kata itu.
Sesuatu yang membuatku tidak bisa berbicara meskipun aku ingin.
Beberapa detik terdiam, supir angkot itu memperhatikan kami dengan tatapan penasaran, beralih antara aku dan Arshaka.
"Oh, lagi berantem ya?" katanya, nada suaranya menunjukkan rasa ingin tahunya.
Aku merasakan jantungku berdebar kencang, mendengar kalimat itu. Kenangan tentang sikap dingin Arshaka selama seminggu terakhir kembali muncul dalam pikiranku.
Kediaman kami berdua sejenak menyelimuti suasana, sementara supir angkot tetap menunggu dengan sabar.
"Ayo, Pak, lanjutkan perjalanannya. Ini udah mau Maghrib," ujar Arshaka akhirnya, suaranya kembali tegas namun tidak kasar. Supir angkot itu mengangguk, hendak melanjutkan perjalanan sambil tersenyum ke arahku. Aku membalas senyumnya dengan ragu, terjebak dalam perasaan campur aduk.
Tiba-tiba suara dering handphone memecah keheningan, berasal dari Arshaka. Aku masih berdiri di situ, angkotnya masih belum jalan, mataku tertuju pada layar handphone Arshaka.
Dari sudut mataku, aku bisa melihat Arshaka menatap layar handphone-nya dengan perhatian. Tanpa menunggu, dia mengangkat panggilan tersebut dengan gerakan cepat dan terampil. Nama kontak yang muncul di layar, terukir jelas di mataku.
Clara.
...BERSAMBUNG...
#alshameyzea
#alsha
#keenan
#aboutme
#fiksiremaja
#arshaka
#rey
------
Assalamualaikum guys!! Bantu support yaa dengan follow, vote, dan komen di setiap bab nya!! Makasiiii!🌷💖
Mari kepoin cerita kami juga di ig: @_flowvtry @febbyantii._
Salam kenal dan selamat membacaa. Semoga betah sampai akhir kisah Alsha! Aamiin.💖
Komen sebanyak-banyaknya disini 👉🏻 👉🏻 👉🏻
Eh? Kalian mau kasih saran dan kritikan? Boleh banget, disini yaaa👉🏻👉🏻👉🏻👉🏻👉🏻
Thanks udah mau bacaa bab iniii sampe akhir💐
jd pengen baca terus menerus.
ditunggu updatenya kaak