NovelToon NovelToon
Tarian Di Atas Bara

Tarian Di Atas Bara

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Nikahmuda / Teen School/College
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Bintang Ju

"Tarian di Atas Bara"
(Kisah Nyata Seorang Istri Bertahan dalam Keabsurdan)

Aku seorang wanita lembut dan penuh kasih, menikah dengan Andi, seorang pria yang awalnya sangat kusayangi. Namun, setelah pernikahan, Andi berubah menjadi sosok yang kejam dan manipulatif, menampakkan sisi gelapnya yang selama ini tersembunyi.

Aku terjebak dalam pernikahan yang penuh dengan penyiksaan fisik, emosional, dan bahkan seksual. Andi dengan seenaknya merendahkan, mengontrol, dan menyakitiku, bahkan di depan anak-anak kami. Setiap hari, Aku harus berjuang untuk sekedar bertahan hidup dan melindungi anak-anakku.

Meski hampir putus asa, Aku terus berusaha untuk mengembalikan Andi menjadi sosok yang dulu kucintai. Namun, upayaku selalu sia-sia dan justru memperparah penderitaanku. Aku mulai mempertanyakan apakah pantas mendapatkan kehidupan yang lebih baik, atau harus selamanya terjebak dalam keabsurdan rumah tanggaku?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bintang Ju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tiada hari tanpa mabuk

Keesokan harinya, aku kembali bersiap-siap pergi keluar untuk membeli bahan makanan untuk sarapan. Andi masih belum bangun, mungkin masih kelelahan setelah mabuk-mabukan tadi malam. Karena memang setiap hari ia dan teman-temannya mabuk-mabukan. Sampai-sampai muncul istilah di kalangan mereka “Tiada hari yang boleh terlewatkan tanpa mabuk”

Dengan hati-hati, aku meninggalkan rumah menggunakan sepeda tua milikku. Aku harus segera kembali sebelum Andi terbangun dan marah-marah lagi.

Saat sedang menyusuri jalan, tiba-tiba saja sepeda yang aku tunggangi tergelincir di atas kerikil. Aku terjatuh dengan keras, membuat tangan dan kakiku terluka.

"Aaakh!" pekikku kesakitan.

Aku berusaha bangkit dengan susah payah. Darah mengalir dari luka di tanganku. Rasanya sakit sekali, tapi aku tetap harus melanjutkan perjalanan untuk membeli bahan makanan.

Sesampainya di rumah, Andi sudah bangun dan melihat kondisiku yang terluka. Tapi bukan rasa kasihan yang terpancar di wajahnya, melainkan sorot mata marah.

"Apa-apaan kau?! Kenapa kau bisa sampai terjatuh dari sepeda?! Seharusnya kau mati saja!" bentaknya.

Aku tersentak mendengar kata-kata Andi. Mataku langsung berkaca-kaca, menahan air mata yang sudah siap tumpah. Hati ini sakit sekali mendengar Andi mengatakan seharusnya aku mati.

"M-maafkan aku, Andi. A-aku tidak sengaja..." ucapku terbata-bata.

“Seharusnya kau mati saja sekalian”

“Andi, apa-apaan kau ini. Bukannya menolong istri yang sedang kesusahan malah di doakan yang tidak baik!. Lagi pula ini adalah makanan untuk sarapanmu hari ini sebelum bekerja.” Kataku dengan emosi karena sikap Andi yang tidak menghargai usahaku.

“Bagaimana mau menghargaimu, kerjaanmu saja tidak becus begitu!”

“Kau memang tidak pantas untuk dihargai. Sekedar beli makan saja sampai jatuh segala macam. Kau pikir aku dokter yang harus merawat pasien sepertimu?”

“Sudah Andi sudah. Cukup. Kalau kau tak mampu berterimakasih paling tidak jangan terus-terusan merendahkanku. Aku ini istrimu Andi. Kalau aku rendah di matamu, maka kau pun sebenarnya rendah. Karena mestinya yang pertama menghargai istrinya adalah suaminya bukan orang lain” Balasku dengan penuh emosi.

Tapi Andi tetap tidak mau mengalah. Ia terus saja memarahiku tanpa ampun. Akhirnya aku pun hanya bisa menunduk dan menerima semua makian darinya.

Tak terasa, air mata pun akhirnya mengalir deras membasahi pipiku. Luka di tubuhku memang sakit, tapi luka di hatiku jauh lebih perih. Entah sampai kapan aku harus terus menderita seperti ini.

***

Kejadian tadi pagi masih membekas di benakku. Andi yang memarahi dan mengucapkan kata-kata kasar padaku, seolah aku pantas mati hanya karena terjatuh dari sepeda. Hatiku terasa perih dan sakit, tapi aku tak berani membantah suamiku.

Seperti biasa, Andi yang selalu ingin menang sendiri, egois dan tidak mau dikalah, melanjutkan rasa sakit hatinya dengan kejadian pagi tadi.

Saat ini, aku sedang berusaha memperbaiki dan membersihkan sepeda yang terkena lumpur daat aku jatuh tadi. Tiba-tiba Andi datang dan kembali memarahiku dengan kasar.

"Ini gara-gara kau! Kau wanita tak berguna! Harusnya kau mati saja!" teriaknya.

“Astagfirullah Andi. Apa-apaan sih kamu ini? Belum puas kamu memarahi dan memaki ku tadi pagi?”

Aku meremas kain yang aku pakai untuk membersihkan sepeda itu dengan tangan bergetar. Rasa sakit di hatiku semakin menjadi. Sepertinya aku sudah tidak bisa sabar lagi.

Tiba-tiba saja, sesuatu dalam diriku bergejolak. Entah dorongan dari mana, aku memberanikan diri untuk membalas perkataan Andi.

"Andi kenapa kau selalu berkata seperti itu?! Aku juga tidak sengaja terjatuh! Apa Andi tidak bisa sedikit saja bersikap lembut padaku?!" seruku dengan air mata berlinang.

Andi tersentak kaget mendengar perkataanku. Ia memandangku dengan tatapan marah dan tidak percaya.

"Apa katamu?! Kau berani membantahku?!" teriaknya.

Tanpa ampun, Andi langsung mengambil sepeda itu dan melemparkannya ke arahku. Aku tak sempat menghindar, sehingga sepeda itu menghantam tubuhku dengan keras.

"Aaargh!" pekikku kesakitan. Aku tersungkur bersamaan dengan sepeda yang patah menjadi dua bagian.

“Tolooong!” teriakku

“Tidak usah minta tolong, siapa yang akan menolongmu, siapa hah? tidak ada yang berani menolongmu sekarang!”

Andi terus melayangkan pukulan dan makian padaku. Aku hanya bisa menangis dan meringkuk kesakitan. Tubuhku serasa remuk, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.

Akhirnya Andi pergi meninggalkanku dalam keadaan penuh luka. Aku terbaring di lantai sambil terisak-isak, menyesali kebodohanku yang berani membantah suami. Hatiku semakin hancur, seolah harapan untuk hidup bahagia itu semakin menjauh.

“Kau tega sekali melaukan ini semua kepadaku Andi!”

“Ya Allah apa salahku sehingga duka ini tidak pernah pergi dariku walau sesaat?”

***

Beberapa hari telah berlalu sejak insiden Andi yang melemparkan sepeda kepadaku. Tubuhku masih terasa sakit, tapi aku berusaha untuk tetap kuat dan melakukan aktivitas sehari-hari di rumah.

Saat ini, aku sedang berada di kebun di belakang rumah. Sudah saatnya panen hasil kebun, tapi Andi tidak kunjung memberikan hasil panennya padaku.

"Andi, kapan kau akan memberikan hasil panen kebun kita?" tanyaku hati-hati.

Andi menatapku dengan tatapan sinis. "Hasil panen? Memangnya kau berhak atas hasil panen itu?" balasnya dingin.

Aku tersentak mendengar jawabannya. "Tentu saja aku berhak, Andi. Kita bekerja sama mengurus kebun ini, kenapa aku tidak bisa mendapatkannya?" kataku mencoba menjelaskan.

Tapi Andi malah tertawa mengejek. "Hah, kau pikir kau bisa mengatur-atur aku? Hasil panen ini milikku, bukan milikmu!" serunya keras.

“Tapi Andi, kita punya anak-anak, mereka butuh makan dan kebutuhan lain. Tri juga sudah akan masuk sekolah. Kalau kau tidak mau memberiku uang hasil panen itu, paling tidak kamu simpankan untuk keperluan anak-anak kita” Kataku mencoba menyadarkannya.

“Sudahlah, kau tidak perlu mengaturku. Aku yang kuasa di rumah ini. Uang ini milikku. Dan urusan kebutuhan di rumah itu bukan urusanku. Kau saja yang urus. Siapa suruh punya anak” Katanya dengan sinis.

Aku terdiam, tidak berani membantah lagi. Hatiku terasa ngilu melihat Andi yang semakin kejam padaku. Dia bahkan tidak mau berbagi hasil panen yang seharusnya menjadi milik kami berdua.

Dengan sedih, aku hanya bisa melihat Andi membawa semua hasil panen itu sendiri. Aku tidak mendapat sepeserpun, padahal aku juga telah bersusah payah merawat kebun itu. Jangankan untuk memenuhi kebutuhanku, bahkan untuk makan anak-anaknya pun dia tidak peduli.

Aku kembali ke rumah dengan perasaan kecewa. Hatiku sangat sakit dibuatnya. Andi semakin semena-mena padaku, tidak peduli betapapun sulitnya hidupku. Aku hanya bisa menangis dalam diam, berharap suatu hari nanti ada keajaiban yang dapat mengubah nasibku.

***

Kesedihan di hatiku semakin membuncah setelah kejadian Andi yang tidak mau memberikanku hasil panen kebun. Aku merasa semakin terkurung dan tidak berdaya di dalam rumah nestapa ini.

Siang itu, Kakakku, yang bekerja di luar kota, datang mengunjungiku. Melihat wajahku yang sembab karena menangis, ia langsung menanyakan apa yang terjadi.

Dengan ragu, aku menceritakan semua perlakuan buruk Andi padaku selama ini. Kakakku mendengarkan dengan seksama, wajahnya berubah sedih dan prihatin.

"Dik, kau tidak boleh terus-menerus membiarkan Andi memperlakukanmu seperti ini," kata Ani setelah aku selesai bercerita.

Aku menunduk sedih. "Tapi apa yang bisa aku lakukan, Kak? Andi sangat berkuasa dan aku hanya wanita lemah yang tidak bisa apa-apa," ucapku lirih.

Kakak terdiam sejenak, lalu menatapku dengan sorot mata penuh determinasi.

"Dengar, Dik. Kau harus mulai berpikir untuk mandiri. Jangan lagi bergantung pada Andi. Kau harus bisa menghasilkan uangmu sendiri. Apalagi anak-anakmu sudah mulai besar. Si bungsu juga bisa dititip ke ibu kalau kau mau bekerja di luar rumah. Daripada kau terus-terusan begini. Andi juga tidak pernah membiarkanmu memegang uang sepeserpun"

Aku tertegun mendengar perkataannya.

“Mandiri? Menghasilkan uang sendiri? Selama ini aku hanya pasrah menerima perlakuan Andi dan mengandalkan pemberian ibu, saudara dan tetangga. Kenapa aku bodoh sekali tidak pernah berpikir untuk bekerja dan menghasilkan uang sendiri!” Kataku dalam hati.

"Tapi bagaimana caranya, Kak? Aku tidak punya keahlian apa-apa," ujarku ragu.

Kakak tersenyum lembut. "Kau pasti bisa, Dik. Mulailah dari hal-hal kecil, misalnya menjual hasil kebun ke pasar atau membuka usaha rumahan. Penting bagimu untuk tidak lagi bergantung pada Andi. Agar dia tau bahwa kau tidak selemah yang dia sangkakan dan tidak menganggapmu seperti budaknya"

Kata-kata Kakak seolah menggugah kesadaranku. Selama ini aku terlalu takut dan pasrah pada Andi. Tapi jika aku berusaha untuk mandiri, mungkin aku bisa lepas dari cengkeraman suamiku yang kejam.

"Baiklah, Kak. Aku akan mencoba untuk bisa menghasilkan uangku sendiri. Terima kasih atas motivasinya," ujarku dengan tekad yang berapi-api.

Kakakku pun tersenyum lega melihat perubahan dalam diriku. Ia yakin aku pasti bisa meraih kemandirian dan kebebasan dari rumah nestapa ini. Dan aku pun bertekad untuk segera mewujudkannya.

***

Setelah mendapat motivasi dari kakakku, untuk menjadi mandiri dan tidak lagi bergantung pada Andi, aku merasa optimis dan bersemangat untuk memulai sesuatu yang baru. Namun, ternyata tidak semudah yang kubayangkan.

Hari demi hari, aku terus berusaha mencari pekerjaan atau usaha yang cocok untukku. Tapi, keadaanku yang serba terbatas di dalam rumah nestapa ini membuatku merasa kebingungan dan kehilangan arah.

Andi semakin kasar dan tidak mempedulikanku. Dia bahkan tidak mengizinkanku pergi keluar rumah untuk mencari pekerjaan. Tekanan batin yang kurasakan semakin berat.

Tubuhku yang lemah pun akhirnya tidak bisa lagi menahan semua beban ini. Satu persatu, gejala sakit mulai muncul. Aku sering merasa pusing, mual dan tidak bertenaga.

Kondisi kesehatanku semakin memburuk dari hari ke hari. Akhirnya, karena beratnya tekanan pikiranku mengakibatkan stress yang berat melandaku. Aku pun jatuh sakit selama hampir satu tahun penuh. Tapi aku memilih untuk tetap berada di rumah. Tidak berani ke rumah sakit karena khawatir Andi tidak akan mau membayar biaya perawatanku.

Selama dirawat, aku terus memikirkan bagaimana caranya agar bisa mendapatkan pekerjaan dan penghasilan sendiri. Namun, kekhawatiran dan kebingunganku justru semakin memperburuk kondisi kesehatanku.

Seorang teman yang mengunjukiku mengatakan bahwa salah satu faktor utama yang menyebabkan sakitku adalah tekanan batin yang sangat berat. Rasa putus asa, khawatir dan bingung telah menguras habis energi dan kekuatanku. Dan semua itu terlihat jelas dari raut wajahku yang berubah menjadi putih pucat.

Meskipun begitu, aku tidak boleh menyerah. Kakakku terus memberi semangat dan dukungan untukku agar segera pulih. Beliau yakin aku pasti bisa menemukan jalan keluar dari rumah nestapa ini.

Dengan segala upaya, akhirnya aku pun mulai memulihkan kesehatanku. Namun, masalah mencari pekerjaan dan penghasilan mandiri masih terus menghantuiku. Aku harus segera menemukan solusinya agar bisa lepas dari jeratan Andi.

1
Bintang Ju
soalnya novel kedua baru lg di kerja
Aprilia Hidayatullah
GK ada cerita yg lain apa ya Thor,kok monoton bgt cerita'y,,,,jdi bosen kita baca'y,,,,🙏
Bintang Ju: makasih masukkannya. ini kisah memang khusus yang terjadi dalam rumah tangga. jadi gmn ya mau ceritain yg lain. ada saran ut bisa mengalihkan cerita begitu?
atau aku buat cerita novel lain gitu maksudnya?
total 1 replies
Kumo
Terima kasih, bikin hari jadi lebih baik!
Bintang Ju: terimakasih kk
total 1 replies
Willian Marcano
Merasa beruntung nemu ini.
Bintang Ju: terimakasih /Heart/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!