Warisan darah. Kutukan leluhur. Perburuan yang tak pernah usai.
Di tengah kabut kelam tanah Pasundan, garis batas antara dunia manusia dan dunia gaib mulai menipis. Makhluk-makhluk yang seharusnya tersegel mulai bermunculan kembali, membawa kutukan, kematian, dan kegilaan. Hanya satu nama yang masih ditakuti oleh mereka yang hidup dalam kegelapan: Rengganis Larang.
Sasmita Wibisana, keturunan terakhir dari pemburu siluman, kini memikul beban warisan berdarah keluarganya. Dengan keris pusaka yang haus jiwa dan senjata api yang diberkahi mantra, ia menyusuri lorong-lorong gelap Nusantara untuk memburu entitas yang tak bisa dilawan manusia biasa. Tapi setiap makhluk yang ia bunuh, semakin dekat pula ia pada satu kebenaran yang telah dikubur berabad-abad: sebuah pengkhianatan di dalam garis darahnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyelamatan dadakan
Jaka masih terkapar di lantai kamar, darah segar mengalir dari dahinya yang robek. Cairan merah itu menetes perlahan, membentuk genangan kecil di lantai kayu yang sudah usang. Nafasnya tersengal-sengal, tubuhnya ringkih seakan tak kuat menopang dirinya sendiri. Di dekatnya, Ratih berdiri membeku, wajahnya putih pasi, matanya membelalak ketakutan. Dari sudut gelap kamar, lidah babi itu sudah menjulurkan lidahnya panjang, menjilat tubuh Ratih dengan nafsu yang menjijikkan. Bau amis dan busuk menyengat udara, membuat Ratih hampir pingsan.
“Tolong... jangan...” Ratih berteriak, suaranya pecah dan penuh ketakutan.
Namun tak ada yang menjawab selain suara hiruk dari luar. Tiba-tiba, kaca jendela di kamar itu pecah berantakan, serpihan-serpihan kecil beterbangan. Suara tembakan MP5 menggelegar, peluru-peluru berbisik menyambar ke arah siluman babi yang menjilat Ratih. Tubuh siluman itu terpental, darah hitam keluar dari mulutnya, lalu menghitamkan area tubuh yang terkena tembakan. Tapi tubuhnya tak roboh. Sebaliknya, luka itu menyala, dagingnya yang hancur kembali tumbuh seolah tak terjadi apa-apa.
Sasmita berdiri di luar rumah, menembak dengan tenang sambil menjaga posisi. Napasnya berat, wajahnya setengah tersembunyi di balik kerah jaketnya yang basah oleh keringat. Di sampingnya, Yuyun merangkak pelan, wajahnya masih sembab dan gemetar, tubuhnya lemah tak bertenaga.
“Ayo, cepat!” Sasmita berteriak sambil berlari ke pintu depan yang terkunci rapat. Yuyun mencoba bangkit dan mendorong pintu bersama-sama, tapi tubuhnya tak mampu menahan. Matanya mengabur, tubuhnya lemas seperti kertas yang basah. Sasmita tak mau menunggu lebih lama. Dengan tenaga terakhir, dia menendang pintu keras hingga patah dan terbuka.
Mereka bergegas masuk, melihat situasi kacau. Siluman babi itu menatap mereka dengan mata merah yang penuh dendam dan kelaparan. Tubuhnya berdenyut-denyut, regenerasi dagingnya berjalan cepat. Setiap luka tembak yang menghujamnya ditutup dengan kulit yang tumbuh ulang dalam hitungan detik. Ini bukan sekadar siluman babi biasa. Ini sesuatu yang jauh lebih mengerikan.
Sasmita mengangkat MP5-nya, menembak lagi ke arah dada siluman itu. Namun, tubuh hitam itu tetap berdiri, menggeram dengan suara kasar yang mengguncang jiwa.
“Buset, ini monster kebal peluru!” Sasmita geram, napasnya memburu.
Yuyun, yang hampir pingsan, hanya bisa menatap ngeri. “Kau... ini... dia... Babiang Kurap...” suaranya bergetar.
Sasmita mengangguk singkat. Dia sudah tahu ini musuh yang sesungguhnya. Babiang Kurap, siluman gabungan dari babi, anjing, sapi, dan kerbau, yang kabarnya bisa bangkit lagi dengan kekuatan yang dahsyat. Dan dia sudah ada di sini, di rumah ini, meneror mereka.
Pertarungan singkat terjadi, Sasmita menggunakan segala jurus dan mantra yang dia kuasai. Namun tubuh siluman itu terus meregenerasi. Peluru mantera, sumpah-sumpah yang terucap, semuanya tampak sia-sia. Kekuatan Babiang Kurap terlalu besar untuk dilawan sendirian.
Melihat situasi yang semakin memburuk, Sasmita membuat keputusan sulit. “Kita cabut! Aku bawa kalian keluar dari sini!” katanya tegas.
Ratih masih gemetar, matanya penuh air. Jaka yang terluka parah hampir kehilangan kesadaran. Sasmita menggendong Jaka, sementara Yuyun menggandeng Ratih yang ketakutan. Mereka keluar dari rumah itu, meninggalkan Babiang Kurap yang menggeram marah.
Udara malam terasa berat, bau busuk siluman masih menyelimuti. Mereka berjalan terburu-buru, mencari tempat aman di kegelapan desa yang mulai kosong. Kaki mereka lelah, tubuh mereka berat oleh beban luka dan ketakutan. Tapi Sasmita tahu, mereka harus bertahan. Esok hari, rencananya untuk turun ke rawa harus ditunda. Babiang Kurap sudah bangkit lebih cepat dari dugaan.
“Kita harus cari tempat yang benar-benar aman... jauh dari desa ini,” kata Sasmita sambil menarik napas dalam.
Malam itu, mereka berempat terkapar di sebuah pondok tua di pinggir hutan. Keheningan hanya ditemani suara serangga malam dan hembusan angin yang dingin. Ratih dan Jaka tertidur dengan nafas tersengal, Yuyun duduk termangu, dan Sasmita menatap gelapnya malam dengan mata yang penuh ketegangan.
Dalam hatinya, ada rasa gelisah. “Apa aku cukup kuat menghadapi ini semua? Apa aku bisa melindungi mereka?” pikirnya.
Apa yang akan terjadi ketika kekuatan siluman itu semakin kuat? Bisakah Sasmita menemukan jalan keluar ?
Bersambung....