Bumirang Tunggak Jagad terlahir dengan menanggung kutukan karmaphala yang turun temurun diwariskan oleh leluhurnya. Di sisi lain, dia juga dianugerahi keistimewaan untuk bisa menghapus karmaphala tersebut karena terlahir dari satu-satunya keturunan perempuan. Dia juga dianugerahi wahyu agung oleh semesta karena pengorbanan kedua orang tuanya.
Dia harus mengembara sambil menjalani berbagai macam tirakad serta melakukan banyak kebajikan sebagai upaya untuk menghapus karmaphala bawaan tersebut. Pemuda itu pun disinyalir sebagai utusan semesta yang akan meruntuhkan sang penguasa lalim.
Akan tetapi, musuh yang harus dia hadapi tidak hanya sang raja lalim beserta para pengikutnya, tetapi juga dirinya sendiri. Dirinya yang penuh amarah, Baskara Pati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Altairael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SELIR-SELIR BUANGAN
Sesampai di kedai mereka disambut oleh seorang perempuan paruh baya dan dipersilakan duduk. Selagi Bumirang memesan makanan, Kamandaka menyuruh Kidung Kahuripan mengenakan kain biru transparan untuk menutup sebagian wajahnya.
"Tidak bisakah menunggu aku selesai makan?" Wajah Kidung Kahuripan sedikit memelas.
"Tidak. Pakai cepat," tegas Kamandaka.
Kidung Kahuripan mencibir. Sambil mengaitkan ujung kain pada jepit yang ada di pangkal kepang, dia pun mengoceh, "Ajaib sekali hanya gara-gara kamu mengatai aku tidak waras, kamu pun mendadak jadi waras. Tau begitu sejak dulu aku rela kamu katai tidak waras."
Melirik ke arah Kamandaka, Bumirang mendapati wajah pemuda itu sudah berubah kembali menjadi pemuda berparas lugu cenderung tolol. Senyum tipis pun sulit Bumirang sembunyikan.
"Dasar ceroboh. Tau begitu lebih baik aku biarkan saja kamu makan buah beracun dan mati di hutan daripada sudah capek-capek sampai di sini malah hanya untuk mengantar nyawa."
Kamandaka nyerocos dengan gaya cerewet dirinya yang tidak waras lengkap dengan gestur tangan menunjuk-nunjuk muka Kidung Kahuripan, membuat yang bersangkutan seketika itu juga terbahak-bahak, karena merasa lucu sekaligus bodoh sudah mengira Kamandaka mendadak jadi waras.
Mereka terus bercanda saling menjahili, sedangkan Bumirang diam terpaku menatap ke jalanan yang terus dibanjiri iring-iringan manusia. Ketika pemilik kedai datang untuk menghidangkan makanan, Bumirang pun mengalihkan perhatian.
Pemuda itu tersenyum sangat ramah kepada perempuan paruh baya, si pemilik kedai. "Terima kasih, Nyi. Oh, iya, Nyi. Kalau boleh tau, apakah wilayah ini sudah dekat dengan ibu kota kerajaan?" tanyanya kemudian.
Dia bertanya dengan nada bicara sangat naif dan tatapannya pun polos sehingga perempuan paruh baya itu tanpa ragu berkata, "Ibu kota kerajaan masih sangat jauh, Den. Tapi sejak Raden Tri Gaharu, bangsawan terkaya di wilayah ini mengukuhkan diri sebagai pemimpin, Wilayah Pagot yang dulunya kecil dan terpencil berangsur-angsur menjadi besar serta makmur, lalu sering disebut-sebut sebagai ibu kota kedua."
"Apa setiap hari selalu ramai seperti ini?" Kamandaka yang entah sejak kapan ikut menyimak perempuan itu berbicara, akhirnya turut mengajukan pertanyaan.
"Setiap hari ramai, tapi hari ini luar biasa ramai karena di alun-alun sedang diadakan upacara siraman untuk pelepasan gelar selir yang dipimpin langsung oleh tetua Brahma Netra Buana." Tepat setelah perempuan itu selesai bicara, ada tiga orang laki-laki masuk ke kedai, dan dia pun segera pamit undur diri.
"Biadab. Setidak berharga itukah para selir sampai harus diperlakukan begitu hina?!" Kamandaka geram, berbicara seperti menggeram dan mug bambu yang ada ditangannya digenggam erat hingga terdengar suara seperti retak.
"Aish, Kamandaka lepas. Kamu bisa meremukannya!" Kidung Kahuripan merampas mug itu dari tangan Kamandaka, lalu memeriksanya. "Hah, untung saja tidak pecah. Kalau pecah harus ganti rugi, memang kamu mau ganti pake apa, huh?"
Tengah dilanda rasa kecewa sekaligus rasa bersalah yang seakan mencabik-cabik jiwa, sudah tentu perasaan Prabu Jagad Kawiwitan campur aduk tiak karuan. Saat ini dia kesulitan untuk mengimbangi tingkah kekanakan Kidung Kahuripan.
Menyadari gestur tidak biasa itu Bumirang pun mengerti bahwa suasana hati Kamandaka sedang tidak baik-baik saja. "Kahuripan, makan." Setelah itu dia mencondongkan kepala ke arah Kidung Kahuripan dan berbisik, "Jangan ganggu kalau Kamandaka sedang serius seperti itu."
"Memangnya kenapa?" Kidung Kahuripan pun balas berbisik.
"Dia bisa tiba-tiba mengamuk. Kalau dia sudah mengamuk aku pun belum tentu sanggup menghadapinya." Bumirang berbicara sangat meyakinkan, sembari mengucap maaf dalam hati karena sudah berbohong.
"Benarkah?" Wajah Kidung Kahuripan mengernyit ngeri. Kalau Bumirang saja tidak sanggup menghadapi, berarti dirinya pun tidak ada harapan, begitulah pikirnya. Dengan pemikiran itu dia pun patuh, makan dalam diam sembari sesekali melirik Kamandaka yang masih mematung dengan wajah memerah.
Saat gadis itu menunduk, Kamandaka meliriknya sekilas, lalu menatap Bumirang yang juga tengah menatapnya sangat serius. Mereka saling menatap cukup lama hingga akhirnya Kamandaka menyerah, lalu berpaling dan menghela napas panjang.
"Raja pendiri Kerajaan Jagat Kawiwitan setia hanya pada satu istri hingga akhir---"
"Tapi dia melakukan kesalahan besar karena terlalu memanjakan istrinya, ups---" Kidung Kahuripan yang tidak bisa menahan mulut pun menceletuk, tetapi setelahnya buru-buru menutup mulut menggunakan jari-jari.
Kamandaka dan Bumirang serentak menatap gadis itu, membuatnya salah tingkah dan pada akhirnya karena merasa terintimidasi dia pun meracau, "Di Buana Ilam-ilam, Kisah Prabu Jagad Kawiwitan dan Gusti Ratu Menik Randu Dewi dicatat dalam kitab, dan penggalan-penggalan kisahnya beredar luas dalam bentuk dongeng untuk anak-anak. Di sini pasti juga ada catatan sejarahnya, kan? Jangan-jangan kalian belum pernah membacanya karena terlalu malas."
Kenaifan Kidung Kahuripan sepertinya obat yang mujarab untuk menghibur jiwa Prabu Jagad Kawiwitan, membuat raga Kamandaka tergelak-gelak dan seketika itu juga kembali menjadi Kamandaka normal seperti yang selama ini Kidung Kahuripan kenal.
Suasana yang kembali santai membuat Bumirang mengembuskan napas lega. Karena beberapa saat lalu ketika Kamandaka marah, auranya jauh lebih mengerikan dari Baskara Pati yang merupakan wujud dari angkara.
Dia berbohong kepada Kidung Kahuripan bahwa dirinya tidak akan sanggup menghadapi kemarahan Kamandaka yang tiba-tiba. Namun, dia tidak menyangka kebohongan itu nyaris saja menjadi kebenaran yang tidak disangka-sangka. Rasa penasaran terhadap jati diri jiwa penjaga Kamandaka pun semakin meningkat, tetapi tidak ada yang bisa dilakukan selain menunggu yang bersangkutan membeberkannya sendiri.
Dan tentang catatan sejarah, tentu saja dicatat dalam sebuah kitab, tetapi tidak sembarangan orang bisa langsung memegang kitab tersebut dan membacanya dengan leluasa. Eyang Pamekas pernah mengatakan bahwa kitab sejarah berdirinya Jagat Kawiwitan hanya ada dua dan dua-duanya disimpan di perpustakaan kerajaan, ditempatkan dalam ruang terlarang yang akses masuknya hanya bisa dibuka oleh Prabu Danur Kawiwitan seorang.
Dengan begitu, kisah Prabu Jagad Kawiwitan dan sang ratu yang beredar luas di masyarakat hanya merupakan desas-desus atau kabar burung yang tidak bisa dibuktikan keautentikannya. Namun, Bumirang percaya apa yang telah Eyang Pamekas ceritakan selama ini adalah fakta sejarah yang sesungguhnya.
"Aku ingin menyaksikan upacara itu," ujar Kidung Kahuripan dengan mulut penuh makanan.
"Aku juga mau," celetuk Kamandaka, juga dengan mulut penuh dan sambil mengunyah.
Dengan begitu Bumirang langsung bangkit dari duduk untuk menemui pemilik warung yang tengah memperhatikan mereka dari balik rak makanan yang tersusun rapi. Sambil bertransaksi, Bumirang sedikit mengobrol. Kali ini dia memberikan satu ikat daun kering sebagai alat tukar makanan.
Hanya daun kering, tetapi perempuan pemilik kedai itu terlihat sangat gembira. Bahkan berkali-kali mengucapkan terima kasih sembari membungkuk-bungkuk. Ketika Bumirang berbalik, meja makan mereka sudah kosong, Kamandaka dan Kidung Kahuripan berdiri di pinggir jalan tengah melambai-lambai padanya.
Sementara itu, di alun-alun, disaksikan oleh banyak orang, perempuan-perempuan yang tubuhnya hanya dibalut kain cokelat tua tengah bersujud di hadapan dua orang berpakaian putih. Kedua orang itu wajahnya ditutup kain cadar, duduk bersila di tempat yang lebih tinggi beralaskan bantalan empuk, tidak seperti para selir yang langsung mencium bumi.
cucunda Bumirang ada di dekatmu sekarang
🤣🤣🏃🏃🏃🏃