Anak Kuntilanak Dan Teror Di Hutan Tua

“Bapak ingin tanya, ... kemarin di sini ada yang melahirkan, ya?” lembut pak Helios layaknya seorang papa yang sangat menyayangi anak-anaknya. Lagi-lagi, ulah tulusnya berhasil merengkuh hati arwah bocah-bocah di sana.

Tatapan dari setiap arwah bocah kepada pak Helios menjadi sendu. Mereka membalas ketulusan pak Helios dengan ketulusan juga. Semuanya kompak mengangguk membalas pak Helios karena mereka memang tahu. Hanya saja, pada kenyataannya mereka juga tak memiliki urusan secara khusus dengan yang pak Helios maksud, yaitu ibu Rokayah. Bahkan meski mereka tinggal di hutan yang sama, mereka sama sekali tidak memiliki niatan mengusik apalagi jail ke ibu Rokayah. Mereka saja bingung kenapa itu terjadi karena hampir semua manusia yang datang ke sana termasuk itu pak Helios, langsung mereka jaili.

Kepada ibu Rokayah, seolah memang ada kekuatan yang membuat mereka tidak bisa mengusik. Ibu Rokayah maupun para kurcaci yang dilahirkan, seolah menjadi pengecualian dan wajib mereka hormati.

Arwah anak-anak memang mengetahui bahkan menyaksikan ketika ibu Rokayah melahirkan. Mereka menyaksikannya dari sela rumah bagian belakang. Mereka juga menyaksikan Ibrahim menyaksikan dari tempat berbeda. Dan tak beda kepada ibu Rokayah yang kali ini menjadi kuntilanak Raksasa, kepada Ibrahim arwah bocah-bocah tersebut juga segan.

“Tentu karena Asnawi sangat licik. Dia selalu mampu mengelabuhi korban-korbannya bahkan yang sudah jadi arwah sekalipun. Termasuk itu, meski sebelumnya mereka sempat sadar kemudian melakukan pembalasan, Asnawi masih bisa mengendalikannya. Karena sepecundang-pecundangnya makhluk di dunia ini, memang Asnawi yang paling pecundang bahkan hina!” batin pak Helios ketika arwah anak-anak di sana silih berganti bercerita. Mengenai ibu Rokayah dan tiga belas kurcaci yang dilahirkan. Juga, Ibrahim yang sampai detik ini masih dikuasai Asnawi. Anak-anak jujur, berdalih mereka sangat hormat dan jika pun diminta bantuan oleh Asnawi, mereka akan siap membantu!

“Namun, ... kami memakan ari-ari para kurcaci maupun sisa darah kelahiran mereka. Saat itu, kami benar-benar kelaparan. Dan memang benar, sejak kami makan ari-ari para kurcaci termasuk darah kelahiran mereka yang membanjiri lantai rumah bagian depan, kami jadi tidak kelaparan parah lagi!” cerita Noval masih asyik menikmati lolipop pemberian pak Helios.

Apa yang Noval ceritakan sukses membuat pak Helios merinding. Selain itu, hati pak Helios juga menjerit. “Masya Allah! Ini sungguh jawaban yang hamba cari!” batin pak Helios. “Karena jika ari-ari para kurcaci telah dimakan mereka, dengan kata lain, mereka merupakan kelemahan para kurcaci. Ibaratnya, mereka mirip Syukur dan Athan yang tidak bisa dijauhkan. Mereka tidak bisa berdiri sendiri dan wajib berdampingan!”

“Sekarang kalian ikut Bapak, ya! Tempat kalian bukan di sini. Karena jika kalian terus d sini, yang ada kalian sering kelaparan!” bujuk pak Helios.

Demi memisahkan para arwah anak-anak selaku kekuatan para kurcaci dari para kurcaci, pak Helios memboyong semuanya dari hutan.

“Asnawi sengaja mengurung arwah anak-anak ini di sini karena mereka merupakan kekuatan para kurcaci. Lagi pula, kenapa mereka masih tersesat di sini? Apakah memang, orang tua dan pihak keluarga arwah anak-anak ini, tidak memberikan pemakaman, apalagi doa-doa layak untuk kemudahan jalan mereka ke alam selanjutnya?” pikir pak Helios.

Pak Helios membawa pergi arwah bocah-bocah yang ia temukan, keluar dari hutan Tua. Ia berniat membawa mereka ke pemakaman. Lebih tepatnya, pak Helios akan membuat syarat yang mana itu membuat belasan arwah bocah itu ibarat menjalani pemakaman ulang. Agar para arwah tersebut juga bisa istirahat dengan tenang dan tak lagi diusik apalagi dimanfaatkan oleh Asnawi.

“Pemakaman desa Kahuripan di mana, ya? Mereka benar-benar harus mendapatkan pemakaman layak meski mereka dimakamkan di satu tempat!” pikir pak Helios.

“Namun jika dimakamkan secara ilegal, makam yang aku buat bisa terancam dan bisa membuat anak-anak ini kembali jadi arwah penasaran. Masalahnya jika aku meminta tukang gali kubur, bisa jadi fitnah.” Pak Helios terus berpikir keras sambil terus membantu arwah bocah membuka setiap permen maupun roti manis yang ia bawa.

Pak Helios memang sudah ada di depan pemakaman terdekat, tapi ia masih mempertimbangkan banyak risiko maupun konsekwensinya. Sebab selain penguburan yang akan ia lakukan diharapkan membuat para arwah anak-anak yang dikubur tenang. Pak Helios juga tidak mau, sang pemilik tanah mengalami dampak negatif dari penguburan yang ia lakukan, andai ia melakukan penguburan di tanah asal, secara diam-diam.

Seolah Allah meridhoi niat baiknya, pak Helios melihat mobil Rain mendekat. Pak Helios langsung menyetop mobil tersebut. Runding dadakan pun terjadi. Dan pak Handoyo dengan kelembutan hatinya memberikan tanah miliknya untuk dijadikan makam yang pak Helios maksud.

“Alhamdullilah. Iya, begitu saja, kakeknya Syukur. Demi kebaikan bersama, nanti kita pilih di kebun saja. Dikasih pohon buat tanda takut kakeknya Syukur lupa,” ucap pak Helios.

Jadi, yang mereka lakukan lebih dulu bukanlah menyusul Syukur. Melainkan, membuat pemakan mandiri. Pak Helios, Rain, termasuk kakek Handoyo bekerja sama menggali tanah untuk liang lahat. Sementara Hasna masih menjaga Athan yang lemas kesakitan.

“Benar sih, dijauhkan dulu. Para arwah bocah ini wajib dikunci di kuburan layak. Agar mereka juga bisa tenang dan tak lagi diusik apalagi dimanfaatkan oleh Asnawi. Bissmilah, niat baik kami dilancarkan. Ya Allah tolong jaga juga Syukur karena kami belum bisa menyusul. Namun, kami percaya, selagi kelemahan kurcaci kami amankan, Syukur pasti baik-baik saja,” batin Hasna masih mengawasi kerja keras pria di kebun sana dari tempat duduk penumpang.

Pintu mobil Hasna mengawasi dibiarkan terbuka. Sementara Hasna mengawasi sambil memangku Athan.

Seolah setiap doa tulus untuknya menjadi kekuatan tersendiri, tubuh Syukur tek sedikit pun terluka meski kurcaci sibuk menu.suknya menggunakan tombak. Padahal, tombak para kurcaci sangat tajam. Para kurcaci sampai kecewa lantaran Syukur yang mereka anggap sebagai mainannya, tidak terluka apalagi sampai berdarah-darah.

Kini, Syukur memang layaknya kejadian yang bisa Athan lihat. Kedua kaki maupun kedua tangan Syukur diikat. Sementara tak jauh dari Syukur yang dikerumuni kurcaci, ada api unggun mini.

Akan tetapi, benarkah alasan Syukur tak bisa dilukai oleh para kurcaci semata karena doa-doa baik untuk Syukur, dan salah satunya dari Hasna? Atau memang karena penguburan bersyarat para arwah bocah yang nyaris rampung, telah memberikan dampak?