🌹Alan Praja Diwangsa & Inanti Faradiya🌹
Ini hanya sepenggal cerita tentang gadis miskin yang diperkosa seorang pengusaha kaya, menjadi istrinya namun tidak dianggap. Bahkan, anaknya yang ada dalam kandungannya tidak diinginkan.
Inanti tersiksa dengan sikap Alan, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain berdoa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Red Lily, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keluar jalur
🌹VOTE🌹
Inanti menguap ketika dia merasakan Nadia bangun, padahal dirinya masih mengantuk. Tidur siangnya tidak terlalu nyenyak akibat ingatannya pada Judi yang menyebalkan.
Dia baru pulang saat Nadia menangis ingin tidur siang. Setelah numpang tidur di teras dan numpang makan dengan lahap, baru dia pulang.
Rasa pusing Inanti kembali datang saat ingat bahwa Judi akan kembali lagi.
Nadia menangis semakin keras.
"Uuuhh… sayang… ini mimi…"
Mulutnya rapat saat diberikan put*ng, tapi menangis saat ditarik kembali.
"Sayang, ini miminya."
Nadia malah menangis semakin kencang.
"Sayang, hei. Ini miminya."
Nadia masih enggan, membuat Inanti bangun dan menggendongnya untuk menimang. Hingga akhirnya tangisannya perlahan reda.
"Uh.. pengen digendong ya? Di gini?" Tanya Inanti seolah bayinya benar benar mengerti.
Menimang ke sana ke mari sambil menciuminya sesekali. Mara Nadia terbuka lebar, agak sipit mirip dirinya. Tapi dominan mirip Alan.
"Gak mau tidur lagi?"
Nadia malah membuka matanya dengan lidah yang dijulur-julurkan seolah sedang menjilati bibir.
"Mau mimi lagi nggak?"
Bayi berumur satu bulan itu tetap menolak.
Inanti menatap keluar kaca, di mana ada orang yang melewati rumahnya dan membicarakannya. Entah mereka yang terlalu keras, atau telinga Inanti yang sensitif.
"Janda, Bu, udah satu bulan lebih di sini. Mulai risih, soalnya keponakan saya nanya nanya tentang dia."
"Aduh, gak jelas ya asal usulnya?"
"Iya, tapi Pak RT bilang keukeuh dia keponakannya pemilik rumah ini. Jangan jangan pak RT juga udah dipelet sama dia."
"Dia maen pelt, Bu?"
Inanti lelah, dia malas menanggapi sehingga memilih menutupi telinga Nadia. "Jangan didengarkan, Sayang."
Inanti sudah biasa mendengarkan cacian, dan kini semua lemparan batu itu kembali mental. Inanti takkan goyah, yang penting untuknya saat ini adalah anaknya, dan dirinya untuk bahagia.
Saat Nadia kembali tidur, saat itulah Judi kembali lagi. Dia menidurkan bayinya dahulu.
Inanti memutar bola matanya malas, dia keluar sebelum Judi berteriak memanggil.
"Ngapain ke sini lagi?"
"Allahuma, galak banget kayak angsa tetangga."
"Ngapain sih, ke sini lagi?"
"Nih ya, Nan. Gue mau nomor lu, baru pergi."
Inanti berdecak, dia mengeluarkan ponsel jadul dari saku. Menatap benda itu, Inantu mengingat ayahnya yang hilang kabar. Uang pemberian ayahnya hampir habis oleh kebutuhan sehari hari. Inanti masih belum bisa bekerja, dia memiliki bayi yang belum bisa ditinggalkan. Kerja sebagai buruh di sini pun, tidak laku. Para ibu rumah tangga mencuci dan mengerjakan semuanya sendiri.
"Nan?"
"Nih," ucap Inanti memberikan ponselnya. "Cari di situ, aku mau ganti popok Nadia dulu."
"Jangan lama lama ya bidadariku."
Inanti menatap Judi kesal. Saat dia mengganti popok bayinya, Inanti melihat Judi mengangkat panggila telpon dari ponsel milik dirinya. Dan ekspresi Judi membuat Inanti penasaran.
Dia keluar.
"Siapa yang nelpon ke ponsel aku?"
"Nan…."
"Apasih? Ngomong."
"Lu tau dari mana bapak lu ngasih uang?"
"Dia kerja jadi sopir."
"Nan, gua minta maaf bilang ini, tapi bapak lu maling. Dia ada di kantor polisi, tapi lu tenang aja, pengacara gue yang handle, biar lu gak ke sana dan ninggalin Nadia."
"Ka… kamu gak bohong kan?"
"Nan, muka gue emang lucu, tapi gue gak lagi ngelawak sekarang."
🌹🌹🌹
Inanti terdiam ketakutan, sedih dan khawatir. Judi bilang dia yang urus supaya dirinya tidak terlibat. Tapi Inanti tidak bisa hanya diam saja. Dia ingin membantu ayahnya.
Dan ketika Inanti hendak bersiap pergi, saat itulah Judi kembali. Dan tanpa permisi Judi masuk.
"Nan, mau kemana?"
"Aku harus lihat ayah."
"Lu tau dia di mana?"
Inanti diam.
"Gue dari sana, dia titipin surat ini buat lu, Nan."
Inanti menerimanya dan membaca, sementara Judi memilih menamani Nadia yang tertidur.
*Inanti, maaf ayah gak bisa jadi ayah yang baik buat kamu. Gak ada alasan untuk pembenaran.
Nan, jangan khawatirkan ayah. Jangan cari ayah, ayah akan datang saat masa tahanan ayah selesai. Maaf ayah jauhkan kamu dari Alan. Demi Allah, Papanya Alan bersujud di kaki ayah untuk memberikan putranya kesempatan. Pun dengan Alan, dia memohon pada Ayah minta ampunan.
Ayah egois karena membawa kalian pergi. Tapi jika suatu saat takdir kembali mempertemukan kamu dengan Alan, jangan lawan, Nan. Kasih dia kesempatan kedua.
Ayah yakin dia akan berubah.
Ayah sayang kamu, sayang Nadia juga.*
Air mata Inanti menetes, yang segera dia usap kasar dan menarik napas dalam.
"Nan…"
Inanti masih diam.
"Nan, gue mau ngomong."
"Kedengeran kok."
"Oma gue sakit di Belanda, gue mesti pergi."
Baru Inanti menatap mata Judi.
"Urusan ayah lu, jangan khawatir, lu aman. Masa tahanannya juga gak akan seberat yang dijatuhkan jaksa, pokoknya gue udah sediain pengacara terbaik buat ayah lu. Tapi gue janji sama dia buat gak ngasih tau dia di mana, jadi jangan tanya."
Inanti diam menatap Judi.
"Gue mau pergi," ucapnya ragu ragu. "Lu mau ikut?"
"Kenapa aku harus ikut?"
"Nan, lu mau sama siapa di sini? Siapa yang bakalan biayain hidup lu?"
Inanti menunduk sesaat.
"Aku gak akan kemana mana."
"Lu gak bakal balikan sama siAlan itu kan?"
Inanti diam, keheningan melanda sampai akhirnya bibir tipis itu bergumam, "Kita lihat rencana Tuhan."
🌹🌹🌹
TBC