NovelToon NovelToon
Bukit Takdir

Bukit Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Berbaikan / Cinta Beda Dunia / Kehidupan di Kantor / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Trauma masa lalu / Cinta Karena Taruhan
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: PGR

Kadang, hidup tak memberi pilihan. Ia hanya menaruhmu di satu persimpangan, lalu membiarkan waktu yang menyeretmu ke arah yang tak kau minta. Johan Suhadi adalah lelaki yang kehilangan arah setelah maut merenggut tunangannya. Tapi duka itu bukan akhir—melainkan pintu gerbang menuju rahasia besar yang selama ini terkubur di balik hutan lebat Bukit Barisan. Sebuah video tua. Sepucuk surat yang terlambat dibuka. Dan janji lama yang menuntut ditepati. Dalam pelariannya dari masa lalu, Johan justru menemukan jalannya. Ia membuka aib para pejabat, mengusik mafia yang berlindung di balik jubah kekuasaan, dan menciptakan gelombang kejujuran yang tak bisa dibendung. Bersama sahabat sejatinya dan seorang wanita yang diam-diam menyembuhkan luka jiwanya, Johan menghadapi dunia—bukan untuk menang, tapi untuk benar.

Dari Padang hingga Paris. Dari luka hingga cinta. Dari hidup hingga kematian.
Bukit Takdir bukan kisah tentang menjadi kuat,
tapi tentang memilih benar meski harus hancur.

Karena

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Saat Waktu Berhenti di Antara Bayang"

Sore itu turun perlahan seperti kabar duka yang belum sempat diucapkan. Langit menggantung mendung, seolah menyembunyikan rahasia yang terlalu berat untuk dijelaskan. Angin bertiup pelan, seperti sedang berbisik pada daun-daun yang tak bisa menjawab. Hutan yang biasa tenang kini terasa asing, seakan sedang bersiap menjadi panggung untuk sesuatu yang tak bisa dihentikan. Tapi, jiwa-jiwa yang merindukan kebebasan tidak pernah benar-benar menyerah. Mereka hanya menunggu saat yang tepat untuk melangkah.

Di dalam perut bumi yang basah dan dingin—di sebuah goa sunyi—Johan sibuk. Tangannya cekatan membagi ransum makanan. Gerakannya cepat, namun tetap tenang. Seperti seseorang yang telah memikirkan semuanya jauh sebelum waktu menuntut keputusan. Parang demi parang ia serahkan, satu untuk kelompok kecil, tiga untuk kelompok besar. Senter-senter disortir, dibagi sesuai porsinya. Tidak ada yang berlebih, tidak ada yang terlewat. Ia tahu, benda-benda kecil itu bisa menjadi batas tipis antara selamat dan binasa.

Setelah briefing singkat, rencana pun diluncurkan. Tiga orang, satu kelompok kecil: Johan, Kalmi, dan Liana. Tugas mereka jelas—menjadi pengalih perhatian. Sementara kelompok besar yang dipimpin Imam tetap menunggu dalam gelap, memperhatikan dari kejauhan. Mereka hanya akan bergerak saat asap muncul, tanda yang telah disepakati.

“Baiklah, kami berangkat dulu, ya, Mam, Pak, semuanya,” kata Kalmi. Suaranya tak keras, tapi cukup untuk membuat semua mata menatapnya sejenak lebih lama.

“Hati-hati, ya kalian. Semoga segalanya berjalan sesuai rencana,” sahut Imam. Ia berdiri tegak, seperti pilar terakhir yang masih bertahan di tengah reruntuhan.

“Iya, kalian juga jaga diri,” Johan menambahkan sambil tersenyum tipis. Tangannya melambai, diikuti oleh Kalmi dan Liana. Di belakang mereka, doa-doa mengepul dalam diam. Tak semua doa butuh suara. Kadang, yang paling tulus hanya butuh dada yang lirih.

Mereka bertiga mulai menapaki belantara. Menyibak semak, melintasi aliran sungai kecil, menandai waktu hanya lewat hembusan napas dan desir tanah. Dua jam berjalan, mereka tiba di sebuah pohon besar. Pohon itu berdiri gagah, akarnya mencengkeram bumi seperti rahasia yang tak ingin dibuka. Di bawahnya, tak ada rumput yang tumbuh. Hanya tanah yang diam dan menunggu.

“Tempat ini bagus,” ujar Kalmi, memandangi sekitar. “Kalau api dinyalakan di sini, tak akan menjalar.”

“Dan cukup jauh dari jalur pelarian. Mereka pasti terpancing ke sini,” balas Johan, meneguk air lalu menyodorkannya ke Liana. Ia kehausan, tapi tidak mengeluh.

“Oke, kita bagi tugas. Gue cari dedaunan kering biar asapnya tebal. Kalian cari kayu untuk menyalakan api,” kata Kalmi, tersenyum nakal, matanya mengedip ke arah Johan.

“Iya, iya. Paham, Mi. Jangan banyak gaya!” Johan pura-pura kesal, menepuk kepala Kalmi ringan.

“Yok, Lia. Kita cari kayu,” ajak Johan, melangkah dengan ringan, diikuti Liana yang tetap diam namun awas.

“Kalmi matanya masih kedip-kedip ya? Efek pukulan Broto kemarin?” tanya Liana polos.

Johan tertawa pelan. “Mungkin, nanti aku periksa.”

“Jahat banget sih. Teman sakit malah ditertawakan,” Liana cemberut, tapi tetap mengumpulkan kayu.

“Di kota, itu bentuk perhatian, Lia. Ditertawakan dulu, baru ditolong.”

“Kau orang kota memang aneh,” gumam Liana.

Johan tertawa lepas. “Nanti kamu juga akan terbiasa.”

Tak lama kemudian, mereka kembali ke titik api. Kalmi sudah siap dengan tumpukan dedaunan dan rumput kering. Tanpa banyak kata, api dinyalakan. Lidah api menari di atas kayu, meliuk tenang namun pasti. Johan menutupinya dengan daun kering. Dan tidak butuh waktu lama, asap tebal mengepul ke langit. Seperti kabar tak kasat mata yang dikirimkan ke langit—“Kami ada di sini.”

“Semoga mereka lihat ini,” ucap Kalmi pelan, tatapannya jauh menembus asap.

“Mereka pasti datang,” sahut Liana yakin. “Pengintai-pengintai itu selalu menyisir daerah sekitar ladang. Mereka akan mengira kita istirahat di sini.”

“Semoga,” Kalmi mengangguk cepat. “Ayo pergi sebelum mereka tiba.”

Langit mulai gelap, waktu merambat ke angka lima. Mereka meninggalkan tempat itu. Baru berjalan tiga puluh menit, suara langkah-langkah mulai terdengar. Irama kaki menghantam tanah, daun-daun kering bergemerisik. Suara itu datang seperti mimpi buruk yang tak bisa dihindari.

“Tiarap,” bisik Johan. Tak ada ruang untuk ragu. Mereka segera menunduk di balik semak.

Dari celah dedaunan, terlihat rombongan bersenjata. Lima puluh orang. Langkah mereka cepat. Di barisan depan—Broto. Matanya liar, tubuhnya luka-luka, tapi auranya tetap menakutkan. Ia bukan hanya pemimpin. Ia adalah bencana yang bisa berjalan.

“Habisi mereka semua! Jangan ada yang lolos!” suaranya menggelegar.

Pasukan itu melaju ke arah asap. Tapi langkah Broto tiba-tiba berhenti. Kepalanya menoleh. Ia mengendus udara. Matanya menyipit.

“Tunggu. Ada yang aneh. Periksa sekitar sini. Ada yang bersembunyi.”

Anak buahnya langsung berpencar.

Kalmi melepas ranselnya. “Kalian tunggu di sini,” bisiknya.

“Mi, jangan,” cegah Johan. Suaranya hampir pecah.

“Percaya padaku. Kalau kita diam, mereka akan menemukan kita juga. Biarkan aku mengalihkan perhatian.”

Ia pergi perlahan, merayap seperti bayangan yang enggan menghilang. Jauh di depan, di balik pohon, Kalmi berdiri. Matanya menatap tajam. Dan tiba-tiba, ia berlari.

“Itu dia!” teriak salah satu dari mereka. “Tembak!”

Peluru menghujani hutan. Tapi Kalmi terus berlari. Tak menoleh, tak gentar. Tubuhnya meliuk di antara pepohonan, seperti angin yang menolak ditangkap.

“Kejar dia!” Broto meraung. Amarahnya pecah.

Di antara gemuruh tembakan dan langkah pengejar, Broto berhenti. Ia menatap ke depan, lalu mendesis pelan, “Benar. Ini hanya tipuan. Dia mengorbankan dirinya seorang agar yang lain bisa langsung lolos.”

Sementara itu, Johan dan Liana tetap tiarap. Mereka mendengar semuanya. Tapi tak bisa berbuat apa-apa.

Hanya bisa berharap… bahwa keberanian satu orang hari ini cukup untuk menyelamatkan banyak yang lain.

Sementara itu, denting tembakan kian menjauh, perlahan memudar di balik rimbun pepohonan seperti mimpi buruk yang enggan berakhir. Johan dan Liana masih tiarap di balik semak-semak, tubuh mereka nyaris tak bergerak, namun di dada masing-masing, ada riuh yang tak bisa diredakan.

“Bagaimana ini, Jo? Apa Kalmi bisa selamat dari mereka?” bisik Liana, suaranya serupa desir angin yang membawa getir kekhawatiran.

Johan diam sesaat, menelan kalimat yang tak sanggup ia ungkap. “Aku juga khawatir, Lia,” jawabnya akhirnya, lirih. “Dia memilih menjadi umpan. Demi kita.”

Kata-kata itu menggantung di udara, seperti daun yang jatuh perlahan dari ranting, menabrak tanah tanpa suara. Tapi keduanya tahu, mereka tidak bisa diam terlalu lama. Diam adalah bahaya.

“Kita harus pergi. Sekarang. Semakin cepat, semakin besar peluang menyelamatkannya,” ucap Johan kemudian, setenang batu di dasar sungai, padahal hatinya remuk seperti riak yang tak pernah reda.

Setelah memastikan segalanya aman, mereka melangkah, menjauh dari tempat itu dengan jejak-jejak yang nyaris tak meninggalkan tanda. Langkah demi langkah, dalam sunyi yang penuh waspada.

Langit perlahan meluruhkan cahayanya. Jingga memudar menjadi abu, dan malam menelan segala rupa warna. Hutan Bukit Barisan menjelma menjadi lautan gelap, menggembok semua rahasia dalam diam dan bayang. Johan dan Liana terus berjalan, berbekal senter yang mulai meredup dan parang yang tak lagi setajam semangat mereka di awal.

“Jo, aku takut gelap…” suara Liana pecah, lirih dan getir, seolah baru saja mengoyak dirinya sendiri.

Johan menggenggam tangannya, perlahan. “Tenang… Aku di sini. Kamu tidak sendirian,” katanya. Suaranya tenang, tapi di balik ucapnya ada badai yang sedang ia redam sendiri.

Tiga jam berlalu. Waktu seakan lupa berjalan. Dan tiba-tiba—cahaya senter itu mati. Seperti nyawa terakhir yang padam. Hutan kini menjadi kegelapan yang sempurna. Seolah dunia telah menghilang, menyisakan mereka berdua, ditelan malam.

“Joooooo… aku takut…” seru Liana, nyaris menangis. Ketakutan itu nyata. Bahkan keberanian seorang gadis pedalaman pun punya batas.

Johan menggenggam tangannya lebih erat, menjadi jangkar dalam gelombang yang mengguncang. “Aku di sini, Lia,” ujarnya, pelan. Tapi ada sesuatu dalam genggaman itu. Sebuah rasa yang tak diundang. Hangat, namun menggetarkan.

Liana tak berkata apa-apa. Tapi matanya tak pernah lepas dari Johan. Jantungnya berdetak lebih cepat. Bukan hanya karena gelap, tapi karena sesuatu yang ia sendiri tak mengerti. Mungkin, itulah kali pertama ia merasa ada yang benar-benar melindunginya.

Mereka terus meraba jalan, menyusuri kegelapan yang tak mengenal ampun. Hingga—

Sreeekk!

Liana tersandung akar pepohonan. Tubuhnya oleng, jatuh. Johan, yang masih menggenggam tangannya, ikut tertarik. Mereka terjerembab. Dalam sekejap, bibir mereka bersentuhan. Bukan karena niat, tapi karena takdir.

“Ma-ma-maaf, Lia… Aku tidak sengaja,” ucap Johan gugup, seperti anak kecil yang ketahuan mencuri permen.

“Ti-tidak apa-apa… Ini salahku. Aku yang terjatuh,” balas Liana terbata, wajahnya merah meski malam tak membiarkan warna itu terlihat.

Mereka bangkit dalam diam. Canggung, tapi ada sesuatu yang tak lagi sama.

“Sepertinya kita tidak bisa melanjutkan. Terlalu gelap,” ucap Johan pelan. “Kita istirahat di sini saja malam ini.”

Liana mengangguk.

Johan mulai mengumpulkan kayu kering. Cahaya api kecil akhirnya menyala, menerangi wajah mereka yang lelah namun masih menyimpan sisa rasa hangat yang aneh. Tenda didirikan. Angin malam menyelinap, membawa udara dingin, tapi hati mereka justru mulai menghangat.

Saat semuanya siap, Johan berkata, “Kamu bisa istirahat di dalam. Aku jaga di luar.”

“Kamu juga harus istirahat, Jo,” balas Liana.

Mereka masuk ke dalam tenda, memilih sisi berlawanan. Tapi hening itu seperti memiliki nyawa, merayap ke dalam hati mereka.

Johan menatap langit-langit tenda, tak bisa memejamkan mata. “Apa ini?” batinnya. “Sudah lama aku tidak merasa seperti ini. Gugup, hangat, dan… takut kehilangan.”

Ia menarik napas panjang. “Tapi tidak mungkin. Keysha… cintaku sudah lama pergi bersamanya. Tidak mungkin aku mencintai lagi…”

Namun, rasa itu tetap ada. Diam, tapi hidup.

Dan di sampingnya, Liana juga terpejam dalam resah yang sama. Tak berani menyentuh kenyataan, tapi juga tak mampu menolaknya.

Di malam hutan yang gelap, dua hati yang terluka mulai saling menyentuh. Bukan dengan kata-kata, tapi dengan keheningan yang jujur.

1
Like_you
/Whimper/
Like_you
/Brokenheart/
Lara12
❤️❤️
Mika
akhirnya janji dihutan dulu akhirnya terpenuhi /Chuckle/
Mika
Janji yang menyelamatkan johan/Heart/
Lara12
recommended banget sih, cerita nya penuh misteri, aku suka😆
Mika
ga sabar nunggu kelanjutannya, hehe
Pandu Gusti: Makasih ya, ditunggu ya setiap pukul 8 pagi 🙃
total 1 replies
Mika
sidang terepik yang pernah aku baca
Mika
mudah banget baikan nya/Tongue/
Mika
🤣🤣
Mika
kok yang nama nya Mulyono pada gitu ya orang nya/Curse/
Mika
jangan lapor polisi, lapor damkar aja/Smirk/
Mika
kemana ya keluarganya?/Brokenheart/
Mika
upss /Rose/
Mika
setelah searching, ternyata beneran ada tanaman mandragora, mana bentuk akar nya serem lagii/Toasted/
Mika
nangis aja Joo, ga usah ditahan/Cry/
Mika
anak mapala ternyata, mantan ku anak mapala juga/Chuckle/
Mika
kek hidup gua, ditinggal melulu/Sob/
Lara12
ditunggu updatenya nya/Grievance/
Mika: iyaa, padahal lagi seru serunya/Smirk/
total 1 replies
Lara12
waduhhhh/Cry/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!