Jalan berliku telah Nina lalui selama bertahun-tahun, semakin lama semakin terjal. Nyaris tak ada jalan untuk keluar dari belenggu yang menjerat tangan dan kakinya. Entah sampai kapan
Nina mencoba bersabar dan bertahan.
Tetapi sayangnya, kesabarannya tak berbuah manis.
Suami yang ditemani dari nol,
yang demi dia Nina rela meninggalkan keluarganya, suaminya itu tidak sanggup melewati segala uji.
Dengan alasan agar bisa melunasi hutang, sang suami memilih mencari kebahagiaannya sendiri. Berselingkuh dengan seorang janda yang bisa memberinya uang sekaligus kenikmatan.
Lalu apa yang bisa Nina lakukan untuk bertahan. Apakah dia harus merelakan perselingkuhan sang suami, agar dia bisa ikut menikmati uang milik janda itu? Ataukah memilih berpisah untuk tetap menjaga kewarasan dan harga dirinya?
ikuti kelanjutannya dalam
KETIKA SUAMIKU BERUBAH HALUAN
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31
Wito sampai di rumah ketika hari telah sore. Matahari mulai tenggelam, meninggalkan langit jingga di ufuk barat.
Begitu memasuki halaman rumahnya, kening Wito berkerut. Ada dua buah sepeda motor terparkir di sana. "Siapa tamu yang datang?" gumamnya, perasaan tidak enak mulai menyelubungi hatinya. Ia segera memarkir mobil pick-upnya dan bergegas masuk rumah.
Alangkah terkejutnya ia ketika melihat Pak Kartono dan Pak Saleh, dua orang tokoh masyarakat yang disegani di desanya, sudah duduk di ruang tamu. Istrinya, Nina duduk di sudut ruangan, wajahnya datar, namun sorot matanya tajam.
Wito mengucapkan salam, lalu dengan hati berdebar, berusaha menjaga ketenangan, berjalan mendekati mereka, lalu duduk di samping Nina. Namun, Nina segera menggeser tubuhnya menjauh, menunjukkan ketidaksukaan yang nyata. Bau keringat dan aroma asing yang masih melekat di tubuh Wito membuatnya merasa mual.
Nina mendesis, suaranya pelan namun menusuk. "Lain kali bersihkan dulu tubuhmu sebelum kamu pulang, Mas!" Wito terkesiap. Ia baru menyadari bahwa ia memang belum mandi setelah menghabiskan waktu bersama Anton.
"Kamu benar-benar menjijikkan," lanjut Nina, suaranya nyaris berbisik, namun cukup keras untuk didengar oleh Pak Kartono dan Pak Saleh.
Wajah Wito memerah. Ia merasa malu sekaligus marah. Nina benar-benar tidak memberinya muka. Apa iya, Nina harus berbicara seperti itu di hadapan pak Kartono dan pak Saleh.
Sikap Nina yang tak lagi menghormati nya ini, lebih menyakitkan daripada surat gugatan cerai yang ia terima tadi pagi.
Sementara dua pamong itu menggelengkan kepala mereka. Ternyata salah satu warganya ini memang benar-benar parah.
Mencoba bersikap abai, Wito mengalihkan pandangan pada Pak Kartono dan Pak Saleh.
"Ada apa ya? Apakah ada sesuatu yang penting sampai bapak berdua datang ke sini sore hari seperti ini?" tanya Wito, suaranya terdengar sedikit gemetar, mencoba mengabaikan sikap dingin Nina. Ia bersikap seolah-olah tidak menyadari sumber ketidaknyamanan yang jelas-jelas berasal dari dirinya sendiri.
Pak Kartono tersenyum tipis, namun sorot matanya tetap serius. "Begini, Mas Wito," katanya, memulai penjelasan dengan nada pelan namun tegas. "Kami di sini atas permintaan Ibu Nina. Beliau ingin menyelesaikan masalah rumah tangganya dengan cara yang lebih mudah, tanpa perlu berlarut-larut di pengadilan.”
Pak Saleh menambahkan, "Oleh karena itu, kami di sini untuk membantu kalian berdua. Mbak Nina berharap sampean (Kamu -bahasa halus) bersedia menandatangani surat perceraian yang telah disiapkan. Dengan begitu, semuanya dapat diselesaikan dengan cepat dan baik-baik." Ia menatap Wito dengan tatapan yang penuh pengertian, namun juga mengandung sedikit tekanan
Wito menoleh ke arah Nina, tatapannya penuh pertanyaan dan kecewa. "Apa-apaan ini, Dek? Jadi kamu serius menggugat cerai? Kenapa? Kita bisa bicarakan ini baik-baik. Tidak perlu sampai seperti ini," katanya, suaranya terdengar sedikit gemetar.
Nina menatap Wito dengan tatapan datarnya. Menggelengkan kepala, tidak percaya dengan pemikiran pria itu. Apakah mungkin otak pria ini sudah bergeser? "Kau masih bertanya kenapa, Mas? Surat panggilan sidang dari pengadilan sudah kau terima, dan Kau masih bisa berpikir bahwa aku hanya main-main?”
Bahkan kedua pamong pun ikut menggelengkan kepala.
"Tidak, Pak.” Wito menggelengkan kepalanya dengan tegas. “Saya menolak menandatangani surat cerai ini. Saya yakin pengadilan tidak akan mengabulkan gugatan Nina. Selama ini saya selalu berlaku sebagai suami yang bertanggung jawab, menafkahi keluarga, dan membantu Nina di laundry.” ujarnya, suaranya penuh penekanan.
Nina mendengus, "Bertanggung jawab? Hanya itu yang kau banggakan? Kau pikir tanggung jawab hanya soal nafkah?”
Nina menatap Wito dengan tatapan tajam, suaranya terdengar dingin dan menusuk. "Tapi terserah. Yang jelas, kalau kamu nekat menempuh jalan sidang, kamu sendiri yang akan menanggung malu. Aku punya semua bukti," katanya, menekankan setiap kata dengan penuh penekanan.
Nina lantas mengeluarkan ponselnya, lalu mengirimkan beberapa foto dan video ke ponsel Wito.
Wito terbelalak. Jari-jarinya gemetar saat ia membuka file-file tersebut. Foto-foto dan video itu memperlihatkan dirinya bersama Anton dalam keadaan yang sangat intim. Bukti-bukti yang tak terbantahkan. Ia malu sekaligus marah, tidak menyangka Nina memiliki bukti-bukti itu. Ternyata, selama ini ia terlalu meremehkan Nina, menganggapnya lemah dan mudah dimanipulasi. Namun, ternyata Nina telah menyelidiki dirinya secara diam-diam.
"Saya tetap menolak,” ucapnya tegas. Meskipun bukti-bukti perselingkuhannya sudah terpampang jelas di layar ponselnya, Wito tetap menolak untuk menandatangani surat cerai.
Entah ide dari mana, tiba-tiba saja di dalam otaknya terbersit satu hal. Di pengadilan nanti dia akan memperebutkan hak asuh atas Agus. Dengan begitu jika hak asuh Agus jatuh pada dirinya maka dia tidak akan kehilangan harta warisan yang dia dapatkan dari almarhum ayahnya.
Dan juga satu yang masuk dalam pemikirannya, jika Agus bersama dengannya, maka mau tak mau Nina akan tetap bertahan bersama dengannya juga. Dengan begitu dia akan tetap memiliki Nina sebagai istrinya sekaligus Anton sebagai kekasihnya. Bukankah itu sangat bagus?
Pak Kartono dan Pak Saleh saling bertukar pandang, menggelengkan kepala pelan. Mereka menghela napas panjang. Ternyata, Wito memang keras kepala. Padahal bukti-bukti yang sudah ditunjukkan oleh Nina sangatlah jelas memberatkan dirinya. Entah apa yang membuat pria ini begitu percaya diri.
"Baiklah, Mas Wito," kata Pak Kartono, suaranya terdengar sedikit lelah. "Keputusan ada di tangan Kamu." Mereka juga tidak mungkin memaksa Wito untuk menandatangani surat perceraian.
Pak Saleh menambahkan, "Kami sudah berusaha sebaik mungkin untuk membantu menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan. Namun, jika Kamu tetap bersikeras untuk menyelesaikannya di pengadilan, kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi.”
Mereka pun pamit, meninggalkan Wito dan Nina, karena sebenarnya itu memang bukan kewenangan mereka. Mereka hanya merasa wajib datang karena Nina mendatangi mereka dan meminta tolong.
Nina menatap Wito dengan pandangan sinis. Ia tidak lagi berusaha membujuk atau meyakinkan Wito. Ia membiarkan Wito dengan keputusannya, dengan segala konsekuensinya. Di dalam hatinya, ia berkata, "Kamu akan menyesali keputusanmu ini, Wito. Karena jika sampai di pengadilan, maka semua aibmu akan terbongkar. Semua orang akan tahu siapa dirimu sebenarnya."
Ia akan memastikan bahwa Wito akan membayar mahal atas semua yang telah ia lakukan. Senyum tipis mengembang di bibirnya, sebuah senyum yang menyimpan tekad. Ia siap untuk menghadapi pertempuran di pengadilan.
tak or yak?
terima kasih tetap memberikan hiburan gratis ini,
jangan lupa istrahat cukupp yaaa/Kiss//Kiss/