Kala Azure adalah seorang kapten agen rahasia legendaris yang ditakuti musuh dan dihormati.
Namun, karier cemerlangnya berakhir tragis, saat menjalankan operasi penting, ia dikhianati oleh orang terdekatnya dan terbunuh secara mengenaskan, membawa serta dendam yang membara.
Ajaibnya, Kala tiba-tiba terbangun dan mendapati jiwanya berada dalam tubuh Keira, seorang siswi SMA yang lemah dan merupakan korban bullying kronis di sekolahnya.
Berbekal keahlian agen rahasia yang tak tertandingi, Kala segera beradaptasi dengan identitas barunya. Ia mulai membersihkan lingkungan Keira, dengan cepat mengatasi para pembuli dan secara bertahap membasmi jaringan kriminal mafia yang ternyata menyusup dan beroperasi di sekolah-sekolah.
Namun, tujuan utamanya tetap pembalasan. Saat Kala menyelidiki kematiannya, ia menemukan kaitan yang mengejutkan, para pengkhianat yang membunuhnya ternyata merupakan bagian dari faksi penjahat yang selama ini menjadi target perburuannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketegangan di Bawah Lampu Jalan
Udara semakin menusuk saat Keira menghentikan langkahnya. Matanya yang setajam elang menatap ke arah Vio dan teman-temannya.
'"Sial! Mereka gak pernah mau menyerah. Karena aku lagi males berantem, kalian selamat kali ini," gumam Keira.
Keira memutar tumitnya, berniat meninggalkan tempat itu. Namun, baru satu langkah ia berpijak, sebuah bayangan besar merayap dari balik kegelapan.
Seorang pria bertubuh tegap dengan pakaian serba hitam berdiri menghadang jalannya. Tatapan pria itu sangat tajam, serupa anak panah yang siap menghujam jantung siapa pun di depannya.
Meski wajahnya tersembunyi di balik kain penutup, bagi seorang agen terlatih seperti Keira, mengenali identitas lawan bukanlah perkara sulit. Postur tubuh dan cara berpijak itu sudah cukup memberi jawaban.
Farco.
Sosok itu melangkah maju, membawa aura membunuh yang begitu pekat. Keira menyadari bahwa pria di depannya ini tidak sedang berniat menggertak belaka, ia benar-benar haus akan darah.
"Pergilah! Kau gak mau dapat masalah, kan?" ujar Keira dengan nada yang tetap tenang.
Farco di balik penutup wajahnya mendengus kasar. "Lo, gue yang seharusnya bicara begitu ke elo. Gue akuin, lo hebat bisa tetap tenang kayak sekarang."
"Tapi ... pas liat ini, apa lo masih bisa tenang?"
Kilatan perak membelah kegelapan saat Farco menarik sebilah pisau kecil dari balik jaket hitamnya. Di bawah temaram lampu jalan yang berkedip, mata pisau itu memantulkan cahaya putih yang dingin, sedingin tatapan mata pemuda itu.
Keira hanya mampu menghela napas panjang. Ada rasa sesak yang bukan berasal dari rasa takut, melainkan dari rasa miris. Ia menatap Farco dengan pandangan merendahkan sekaligus prihatin. Tak disangka, remaja seusia mereka sudah begitu berani bermain-main dengan maut.
Ia mengambil beberapa langkah mundur, menjaga jarak aman. "Miris banget liat anak zaman sekarang," gumam Keira, suaranya tenang namun tajam. "Apa nyawa manusia sudah tidak ada harganya lagi di mata kalian?"
"Omong kosong!" Farco membentak, tangannya yang menggenggam pisau gemetar karena amarah yang menggebu. "Lo sendiri yang sudah mencelakai pacarku! Orang sepertimu gak punya hak untuk bicara soal harga nyawa!"
"Kau masih punya kesempatan, Farco. Jangan lakukan sesuatu yang akan menghancurkan masa depanmu sendiri," tukas Keira, mencoba mencari celah logika di tengah emosi pemuda itu.
"Ini semua salah paham tau. Aku tidak pernah menyentuh Audrey."
Keira terus bergerak mundur perlahan. Bukan karena ia terdesak, melainkan karena ia masih mencoba memberikan Farco kesempatan untuk menurunkan senjatanya. Namun, Farco sudah menutup telinga. Matanya gelap oleh dendam yang buta.
WUSS!
Tanpa peringatan, Farco menerjang. Keira bereaksi dengan refleks yang terlatih, ia melompat ke samping, merendahkan tubuhnya hingga ujung pisau itu hanya menyambar udara kosong. Memanfaatkan momentum saat Farco kehilangan keseimbangan, Keira berputar secepat kilat, menyambar pergelangan tangan Farco dan memitingnya ke belakang.
Namun, Farco bukan lawan yang mudah. Tubuh kekarnya memberikan keunggulan kekuatan fisik. Dengan satu hentakan kasar, ia berhasil melepaskan diri, berbalik, dan dalam sekejap sudah mendekap tubuh Keira dari belakang. Dinginnya mata pisau kini menempel erat di kulit leher Keira.
Tawa puas pecah dari gerombolan teman-teman Farco yang menonton dari kegelapan. Hanya Violeta yang tampak mematung, wajahnya pias.
"Kalian gila!" pekik Violeta dengan suara bergetar. "Dia bisa membunuh Keira! Kita semua bisa berakhir di penjara!"
Lucas, pacar Violeta, justru tertawa kecil. Ia menarik pinggang Violeta mendekat, seolah tontonan di depan mereka adalah hiburan romantis. "Kau mengasihaninya, hah? Sudahlah, jangan takut. Kalau dia mati di sini, tidak akan ada yang tahu."
Senyum Lucas mengembang, senyum yang tidak selaras dengan situasi berdarah itu. Dengan sikap acuh tak acuh terhadap nyawa yang sedang diujung tanduk, ia melumat bibir Vio dengan rakus, menunjukkan sisi gelapnya sebagai tangan kanan Farco yang dikenal tak kenal ampun.
Di tengah ancaman yang menempel di lehernya, tidak ada sedikit pun kilatan ketakutan di mata Keira.
Baginya, posisi ini bukanlah sebuah kekalahan, melainkan celah untuk serangan balik. Sebagai seorang yang telah terlatih dalam pertarungan jarak dekat, tekanan fisik seperti ini adalah taman bermainnya.
Seringai tipis, hampir tak terlihat, tersungging di bibir Keira. "Kau akan menyesal, Farco," bisiknya dengan nada yang sangat tenang hingga justru terdengar mengerikan.
"Kau salah pilih lawan."
Dalam sepersekian detik, sebelum Farco sempat bereaksi terhadap peringatan itu, tangan Keira bergerak dengan kecepatan yang sulit diikuti mata telanjang, seperti kilatan cahaya yang menyambar. Ia tidak memukul, melainkan menekan titik saraf spesifik pada pergelangan tangan Farco.
Tekanan yang akurat itu mengirimkan rasa sakit menyengat yang melumpuhkan syaraf motorik Farco. Cengkeramannya lemas seketika, dan pisau kecil itu terjatuh, berdenting di atas aspal jalanan yang keras.
Belum sempat Farco menyadari apa yang terjadi, Keira sudah mengambil langkah mantap. Ia membuka kedua kakinya, memasang kuda-kuda yang kokoh dan rendah. Dengan satu sentakan, ia mencengkeram lengan Farco yang masih berada di pundaknya. Keira membungkukkan tubuhnya ke depan, menggunakan berat badan lawan sebagai momentum.
BUG!
Bunyi hantaman keras bergema di trotoar sepi itu saat tubuh kekar Farco terhempas ke tanah. Teknik bantingan yang sempurna itu membuat napas Farco seolah tercerabut dari paru-parunya.
"Akkhh!" Farco mengerang kesakitan, tubuhnya meringkuk tak berdaya di atas aspal, mencoba meraup oksigen yang mendadak hilang.
Keira perlahan menegakkan tubuhnya kembali. Ia berdiri tegak dengan penuh wibawa di bawah sinar lampu jalan yang pucat. Dengan santai, ia meregangkan otot-otot leher dan bahunya yang sedikit kaku, seolah baru saja menyelesaikan pemanasan ringan.
Hening seketika mencekam. Tawa yang tadi riuh kini tercekik di tenggorokan mereka masing-masing. Pemandangan Farco yang kini terkapar tak berdaya membuat mereka tercengang.
Lucas segera melepaskan pagutannya. Matanya yang semula penuh nafsu kini menyipit tajam. Ia mendorong Violeta ke samping hingga gadis itu hampir tersungkur, lalu melangkah maju mendekat ke arah Farco dan Keira.
"Menarik," desis Lucas sambil merenggangkan jemarinya hingga terdengar bunyi kertakan tulang yang mengancam. "Ternyata Lo bukan sekadar gadis bermulut besar. Lo punya taring juga."
Keira tidak bergeming. Ia hanya melirik sekilas ke arah pisau yang tergeletak tak jauh dari kakinya, lalu menatap Lucas dengan sorot mata yang datar, seolah Lucas hanyalah kerikil kecil yang menghalangi jalannya.
"Giliranmu?" tanya Keira singkat, nadanya penuh tantangan yang tenang.
Lucas meraih sebuah botol kaca kosong dari tumpukan sampah di pinggir jalan, memecahkannya ke tembok hingga menyisakan ujung yang bergerigi tajam.
"Farco mungkin ceroboh," ujar Lucas sambil memutar-mutar botol pecah itu di tangannya. "Tapi gue? Gue gak suka buang waktu dengan belas kasihan."
Satu per satu, teman-teman Farco turun dari atas tunggangan besi mereka. Mereka melangkah maju secara serempak, membentuk barisan rapat yang tampak seperti tembok kokoh yang bergerak perlahan untuk mengunci ruang gerak Keira.
SRAKK ... SRAKK ...
Suara mengerikan itu berasal dari ujung tongkat bisbol yang diseret di atas permukaan trotoar yang kasar. Percikan kecil seolah muncul saat kayu dan logam itu beradu dengan aspal, memecah kesunyian malam dengan irama yang mengancam jantung.
Tanpa komando, mereka secara serentak mengangkat tongkat-tongkat itu ke atas pundak. Otot-otot lengan mereka menegang, siap untuk mengayunkan hantaman yang bisa mematahkan tulang dalam sekali pukul.
Cahaya lampu jalan yang remang-remang menyinari deretan wajah yang haus akan kekerasan, menciptakan bayangan panjang yang mengepung posisi Keira.
Aku jadi inget sama YML, dia kan dibunuh gegara memegang kunci rahasia besar.
Semoga tiada yang curiga kalau Keira masih hidup, dan matilah kamu wahai Dewa Agung
wuuu bara api mulai menyala.. ayo, hab*skan dan hanc*rkan semua yang menyakiti..