Masalah ekonomi membuat sepasang suami istri terpaksa harus tinggal di salah satu rumah orang tua mereka setelah menikah. Dan mereka memutuskan untuk tinggal di rumah orang tua sang istri, Namira.
Namira memiliki adik perempuan yang masih remaja dan tengah mabuk asmara. Suatu hari, Dava suami Namira merasa tertarik dengan pesona adik iparnya.
Bagaimana kisah mereka?
Jangan lupa follow ig @wind.rahma
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wind Rahma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tangis Pecah
Sejak Namira resmi berpisah dengan Dava, ia memutuskan untuk tinggal di rumah majikannya beserta ibunya. Sebab majikannya yang meminta ia untuk tinggal di sana bersama bu Ita. Ia beruntung sekali memiliki majikan yang sudah menganggap dirinya sebagai keluarga.
Sementara rumahnya di biarkan kosong. Jujur ia sedih meninggalkan rumahnya, tapi demi kesembuhan mentalnya, ia juga terpaksa harus meninggalkan rumah. Karena ada kenangan buruk dimana ia memergoki Dava dengan Sera.
"Kenapa?" tanya bu Ita melihat Namira tiba-tiba menggeleng seraya memejamkan matanya.
Namira spontan membuka matanya dan kembali menggeleng kecil.
"Enggak, aku gak apa-apa, bu."
Bu Ita menghela napas lega. Wanita paruh baya itu kini sudah mulai membaik. Kondisi kesehatan tidak seburuk beberapa bulan lalu. Bagi Namira saat ini, melihat ibunya sehat saja sudah cukup bahagia.
Bu Ita duduk di tepi ranjang bersebelahan dengan Namira. Beliau menatap Namira lekat dengan raut wajah serius.
"Namira, sebenarnya apa alasan kamu cerai dengan Dava? Kenapa kamu tidak pernah memberi tahu ibu soal itu. Ibu sudah sehat, nak. Ibu ingin tahu kenapa kalian sampai bercerai."
Kedua bola mata Namira sedikit melebar. Wajahnya juga kini menegang. Selama ini ia belum pernah memberi tahu alasan kenapa ia bercerai dengan Dava. Ia tidak ingin kesehatan ibunya terganggu.
Namira berusaha untuk tetap tenang. Ia tidak ingin ibunya sampai berpikir yang macam-macam. Ia mengulas senyum seolah semuanya baik-baik saja.
"Bu, lebih baik kita istirahat saja, ya. Ini sudah malam, ibu harus segera tidur. Jangan lupa obatnya di minum, ya."
Namira mengalihkan pembicaraan dan berharap ibunya tidak lagi membahas soal itu.
"Ibu sudah sehat, Namira. Tolong jangan sembunyikan apapun lagi dari ibu. Justru ibu akan lebih sakit kalau ibu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi sama kamu."
Usaha Namira untuk mengalihkan topik pembicaraan gagal. Ia bingung harus menjawab apa, yang pasti ia tidak ingin karena hal ini kondisi ibunya memburuk lagi.
"Terus Sera kemana? Kenapa dia tiba-tiba menghilang dan gak pernah pulang? Kamu bilang Sera cuma pergi beberapa bulan untuk tugas sekolahnya. Tapi kenapa sampai saat ini ibu gak pernah lihat Sera lagi? Gimana kalau misalnya dia pulang ke rumah? Apa Sera tahu kalau kita udah pindah ke sini, nak?"
Mendengar pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari mulut ibunya membuat Namira tidak bisa lagi untuk menyembunyikan rasa sedihnya. Ia yang sedang berusaha melupakan semua yang telah terjadi seolah di paksa untuk mengingatnya kembali.
Namira menunduk seraya menahan tangis agar tidak sampai keluar. Namun, ia tidak dapat lagi menahannya, bahkan sampai mengeluarkan isak tangisnya.
Bu Ita sontak khawatir melihat Namira menangis.
"Namira, kamu nangis, nak?"
Bu Ita mengangkat wajah Namira yang menunduk, dan benar saja, putrinya sedang menangis.
"Kamu kenapa, Namira? Ada apa ini sebenarnya? Apa yang sudah terjadi?"
Namira masih saja tidak menjawab pertanyaan ibunya. Kemudian bu Ita membawa Namira ke dalam pelukannya.
"Ibuuuuuuuu ..." Tangis Namira mulai pecah di dalam pelukan ibunya, suara yang ia tahan sejak tadi kini pecah.
Bu Ita pun ikut menangis. Dan ia sangat mencemaskan Namira. Sebagai seorang ibu seharusnya ia menjadi orang nomer satu yang tahu mengenai masalah putrinya. Akan tetapi karena kondisinya yang membuat Namira enggan untuk menceritakan apa yang telah terjadi pada rumah tangganya hingga berujung pada perceraian.
Bu Ita membiarkan Namira untuk menangis sepuasnya di dalam pelukannya. Sampai Namira benar-benar merasa tenang.
_Bersambung_