Ningrat dan kasta, sebuah kesatuan yang selalu berjalan beriringan. Namun, tak pernah terbayangkan bagi gadis proletar (rakyat biasa) bernama Sekar Taji bisa dicintai teramat oleh seorang berda rah biru.
Diantara gempuran kerasnya hidup, Sekar juga harus menerima cinta yang justru semakin mengoyak raga.
Di sisi lain, Amar Kertawidjaja seorang pemuda ningrat yang memiliki pikiran maju, menolak mengikuti aturan keluarganya terlebih perihal jodoh, sebab ia telah jatuh cinta pada gadis bernama Sekar.
Semua tentang cinta, kebebasan dan kebahagiaan. Mampukah keduanya berjuang hingga akhir atau justru hancur lebur oleh aturan yang mengekang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ATN 14~ Terngiang-ngiang
Nihil, akhirnya Amar hanya bisa mendapatkan angin ketidakpastian saja dari dalam toko.
Niat awalnya sudah habis digerus resah yang tak bertepi. Satu nama yang sejak tadi membuatnya gundah, Sekar....telah berhasil mengoyak kewarasannya, mencuri seluruh perhatian dan sisa memori otaknya hari ini. Kenapa harus bertemu jika hanya meninggalkan bekas penasaran dan keresahan saja, wahai gadis!
Ia tak janji jika setelah ini bisa tidur siang. Bagaimana cara ia mengetahui keberadaan gadis itu, putaran kehidupan gadis judes itu.
"Dapat bukunya?" tanya baba Liang. Amar menggeleng, "besok lah, aku kesini lagi."
"Cari apa memangnya, management bisnis, kan? Atau sastra?" kacamata bingkai bulat di pangkal hidungnya itu, rasanya ingin Amar dorong agar lebih atas lagi.
Sambil memutar-mutar kenop tuner di radionya, baba menatap ke arah belakang badan Amar. Suara kresek--kresek dari radionya itu memutar lagu seorang penyanyi Indonesia yang sedang naik daun, "biar oe carikan."
"Ngga perlu, ba. Besok lagi saja, aku sudah lupa."
Senada cinta bersemi diantara kita, menyandang anggunnya peranan jiwa asmara....
Amar memundurkan wajahnya cukup terkejut, kenapa lagu itu seakan cocok sekali.
Namun jelas bukan lagu itu yang ingin didengarkan baba, sebab lelaki paruh baya itu sudah kembali memindahkan frekuensinya, hingga ia menganggukkan kepalanya dan berhenti memutar kenop.
Andaikan kau datang kembali....
Jawaban apa yang kan kuberi...
Adakah jalan yang kautemui, untuk kita...kembali lagi...
Bahkan baba sudah ikut bernyanyi sekarang. Dan Amar bergegas masuk ke dalam mobilnya untuk segera pulang.
Sekar berlari, dapat ia tebak jika Imas akan mengomel nantinya. Ia sempat mencuri pandang ke arah toko yang ia lewati dimana jarum panjang jam telah menunjukan pada angka 6.
"Aku memang hanya tamatan SMP, tapi tidak bo doh untuk tau kalo angka tiga itu tidak ada perutnya, Kar..."
Sekar nyengir dan menggelayuti Imas, "maaf, keasyikan baca tadi."
"Sekar dan buku. Kenapa ngga bikin tenda aja di toko buku sekalian, neng?" Lantas langkah keduanya sama-sama mengayun di trotoar jalan demi menyebrang dan bersiap menyetop angkot ke arah pulang.
"Dapat?" tanya Imas, dan Sekar menunjukan kresek di tangannya dimana buku dan selendang kini sudah ia dapat, "makasih ya Imas."
Imas mengangguk, ketika mereka mendapatkan angkot dan pulang.
Ayunan langkah keduanya seakan tak ada lelahnya menyusuri jalanan, nasib orang ngga punya. Dan Imas sedikit mengomel tentang itu.
"Yahhh, Kar. Kalau saja kita kaya....mungkin tidak perlu lagi berjalan, kemana-mana naik motor atau mobil. Awet sol sepatuku..."
Sekar terkekeh, "jalan kaki sehat, Mas. Katanya mau badan ramping?"
Imas melirik, "sayang. Mubadzir es kopyor dan es durenku tadi."
Dan kali ini Sekar sudah tertawa akan itu.
"Kapan kita punya mobil atau motor sendiri, Kar? Kira-kira nanti siapa yang akan punya duluan, kalau aku yang punya duluan...nanti kamu aku bonceng mau kemanapun. Tapi kalo kamu duluan yang punya, aku nebeng kamu ya..."
Sekar memberikan anggukannya.
"Eh, Kar...kamu ngga mau lebih sukses lagi, apa? Tempo hari...aku sempat curi dengar...obrolan si cewek setan berdua itu. Kamu tau apa obrolannya?!"
Alis Sekar mengernyit ia menggeleng, "kamu nguping?"
Jelas sekali, kepalanya menggeleng kencang, "ngga sengaja terdengar terus keterusan..." kikiknya, "jawab dulu, tau engga? Kira-kira kamu bisa nebak ngga?"
Kembali gelengan yang Sekar berikan.
"Yah, payah kamu! Tebak dulu dong, biar seru! Yang kudengar, mereka membicarakan tentang susuk."
Sekar menoleh horor pada Imas, *katanya suruh nebak*.
"Ajeng mau pasang susuk. Atau udah ya?"kini ia bingung sendiri, lupa dengan apa yang didengarnya.
"Ah, pokoknya itu lah. Karena yang penting, aku tau dimana pasang susuk murah tapi bagus, Kar!"
Mata indah Sekar mengerjap, "lalu?"
"Kok lalu? Ya aku juga mau pasang lah, Kar..." betapa tidak, Sekar terkejut, "pasang, Mas?!" ia menggeleng, "engga---engga."
"Kar..." kini Imas berjalan mundur menghadapnya, "dengar aku, Kar...kenapa tidak kita pasang? Toh sudah bukan rahasia lagi...hal itu sudah lumrah. Mungkin ya, Kar...aku bisa dapat job sepertimu setelah aku pasang, iya kan?! Mungkin setelah pasang nanti, auraku yang sebenarnya akan terbuka."
Sekar tetap menggeleng, "engga---engga. Aura apa, Mas? Awur-awuran yang ada."
"Kamu bisa bicara seperti itu, Kar...karena kamu sudah sempurna. Sementara aku? Aku juga kepengen lah, Kar...lagipula, Ajeng bilang maharnya tidak sampai seharga satu gram emas. Murah kan? Aku hitung, tabunganku sudah bisa kupakai."
"Mas!" kini bentak Sekar, "kamu tau ngga, harga pasang susuk itu berapa? 3 kali lipat dari harga emasnya. Sekarang kita tarik kesimpulan, pikir secara logika, jika semurah itu, apa hasilnya akan bagus? Masih untung, jika--- hanya tidak memberikan efek apapun untukmu. Tapi kalau efeknya justru merugikan? Siapa yang mau tanggung jawab?!" sewot Sekar.
"Kamu tau harga pasang susuk, Kar? Kamu pasang, kok ngga bilang-bilang aku? Curang!"
"Aku tau dari teh Nuroh dan yang lain kemarin, mereka yang pasang bukan aku. Aku uang darimana?! Kamu tau, job ronggeng saja baru kali ini aku dapatkan." Jawab Sekar ketus, "dan kemarin..." ia melirik Imas yang terdiam sejenak, "janji sama aku kalo kamu bakal simpan rahasia ini."
Imas mengangguk, "janji."
"Aku ngibing di depan Raden bagus sama Raden Ajeng."
Bisa ditebak, Imas mulai membeliak dan heboh, "apa?!! Kar....serius?!"
"Ya ampunnnn! Kenapa kamu baru bilang, tau begitu, aku titip salam sama den bagus Wardana!"
Imas kembali berdecak dan menghentak kakinya, "semakin aku termotivasi buat pasang susuk, Kar!"
Ada lirikan tajam Sekar untuk Imas, "gini deh, Kar....anggap saja ini modal awalku. Beda denganmu...yang sudah punya modal awal badan singset, wajah cantik sementara aku, mungkin aku harus modal uang. Aku ridho, kalo jalanku bertemu dengan den bagus Wardana adalah pasang susuk, menghabiskan seluruh tabunganku. Kamu temani aku, ya Kar?!"
Dan Imas kembali heboh, "atau....atau kamu juga mau ikut pasang? Biar kita pasang barengan, Kar...kita masuk ke sanggar Mayang bareng, lalu pasang susuk juga bareng. Ayolah Kar! Kita kesampingkan dulu halal atau haram. Anggap saja kita tidak tau, sebelum ada pak ustadz atau pa kyai yang bilang dan negur secara langsung kalau pake susuk itu haram?" nyengir Imas membuat Sekar mengernyit seraya mendengus sumbang.
"Ngaco kamu, mas...mau pasang susuk pake bawa-bawa pak kyai." Lantas Sekar celingukan ke sekeliling, pantas saja ucapan Imas ngawur mereka baru saja melewati pemakaman umum.
Tangannya terulur menarik Imas, "udah yuk serem! Lama-lama kamu bakal ngajak aku nyuri tali po cong perawan buat melet Raden bagus."
Imas tergelak.
.
.
.
.
" jembar kisruh" aja si teh🤭🤭🤭😂😂😂🙏