Ikutin kisahnya yang berakhir dengan perpisahan dan air mata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cha Yoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Dae melihat makanan yang terhidang di meja mereka. Seketika perutnya berbunyi menandakan cacingnya sudah berburu untuk memperebutkan makanan yang masuk ke dalam tenggorokannya.
"Udah jangan di lihatin terus. Ayo di makan Dae," perintah Ilyas.
"Eh iya, kayaknya belum di makan aja udah buat kenyang mata, hihihi," balas Dae cekikikan.
Dae dan Ilyas menikmati makan siang mereka dengan santai. Mereka menghabiskan jam makan siang dengan hati yang happy.
Sementara Edy yang berada di dalam ruangannya, tak bersemangat untuk menukangi makan siangnya sendiri. Edy lebih memilih mengerjakan tugasnya.
Waktu pun berlalu, akhirnya Dae kembali ke kantornya. Dia masuk ke dalam ruangannya dengan santai. Setelah Dae mendudukkan bokongnya di kursi kesayangannya, tiba-tiba tlp di ruangan berdering.
"Bu Dae, Presdir ingin segera anda keruangannya," ucap Sekretaris Presdir.
"Ah saya? Sekarang?" tanya Dae bertubi.
"Ya tentu anda. Siapa lagi? Saya menghubungi anda, jelas andalah yang dimaksud," tekan Sekretaris Lu.
"Ah baik, saya akan segera ke ruangan Presdir," balas Dae.
Dae mulai gemetaran, ketakutan. Dia cemas karena sudah beberapa kali membuat Edy kecewa dan mempermainkannya.
Dae menarik nafasnya dengan berat, dia memejamkan matanya untuk berkonsentrasi berpikir.
"Sepertinya gw harus menemuinya. Dan harus menegaskannya. Kalau ini di biarkan berlarut, sungguh akan membuat gw bimbang," gumam Dae.
Lalu dia membuka matanya dan memantapkan hatinya untuk menyelesaikan semua ini. Dae berdiri dari tempat duduknya dan keluar dari ruangannya.
Dae melangkah pasti ke arah lift. Dia menjadi gugup saat lift berjalan naik ke lantai atas. Setelah itu pintu lift terbuka. Dae enggan untuk keluar dari lift.
Dari luar lift, Sekretaris Lu melihat Dae yang berdiam diri di tengah-tengah pintu lift. Dia pun mengerutkan keningnya.
"Perempuan yang aneh," pikir Sekretaris Lu.
Dengan mencoba tenang, Dae melangkah ke arah ruangan Presdir. Namun sebelumnya dia menyapa Sekretaris Lu dengan senyum manisnya.
"Siang Sekretaris Lu...!" sapa Dae dengan menundukkan sedikit kepalanya.
"Siang Bu Dae, anda sudah ditunggu di dalam sama Presdir," ucap Sekretaris Lu dengan posisi berdiri.
"Ah baiklah Sekretaris Lu, terima kasih," balas Dae ramah.
Dae melangkah masuk ke dalam. Dia perlahan membukakan pintu ruangan itu. Jantungnya terasa berdebar, kakinya sedikit kaku untuk terus masuk ke dalam ruangan kulkas yang dingin.
Pintu itu perlahan-lahan terbuka lebar, memperlihatkan sosok Edy yang sedang duduk santai di kursi kebesarannya. Dia menatap Dae dengan tatapan yang mencekam. Matanya teduh tapi sangat dingin ketika di lihat.
"Maaf Presdir, anda memanggil saya?" tanya Dae yang berpura-pura gak ada masalah.
Edy tidak menjawab, seketika pintu ruangan itu terkunci otomatis.
Dae tersentak dan menoleh ke belakang mendengar suara pintu yang dikunci otomatis oleh remote.
"Ma--af Presdir, ada keperluan apa, saya dipanggil kesini?" tanya Dae yang tak berhenti menatap Edy.
Dae seperti orang yang terkena hipnotis. Matanya terus memandang Edy dengan wajah yang agak pucat. Keberanian Dae ketika melarikan diri dari Edy, hilang sekejap. Saat ini Dae seperti seekor siput yang ingin bersembunyi di dalam cangkangnya. Dia tak berani berhadapan dengan Presdirnya yang memiliki aura dingin.
Edy melangkah maju ke hadapan Dae. Dia berhenti tepat di depan Dae.
Dae segera menundukkan kepalanya dan tak berani menatap ke Edy.
"Sudah puas mempermainkan saya Dae?" tanya Edy dingin.
Dae bisa merasakan sekujur tubuhnya beku dengan pertanyaan Edy.
"Sa--ya ti--dak bermaksud seperti itu Presdir," ucap Dae gugup.
Dae ingin menangis saat itu juga. Keberaniannya benar-benar hilang saat itu juga. Ntah apa yang membuatnya tak bisa menjadi sosok yang banyak pemikiran. Dae buntu tak tau harus berbicara bagaimana.
"Apa yang kurang Dae. Coba jelaskan padaku," pinta Edy dengan berdiri di hadapan Dae.
"Maksud Presdir apa? Saya gak ngerti apanya yang kurang?" Dae terus bertanya.
Apa kekuaranganku Dae?" tanya Edy blak-blakan.
"Presdir tampan, cakep. Banyak perempuan di kantor ini yang menyukai dan mengejar-ngejar Presdir."
"Kecuali kamu Dae. Kamu tak suka padaku, kamu tak pernah memberiku kesempatan," potong Edy.
Dae menganga mendengar penuturan Edy yang sangat kekanakan menurut Dae. Edy terlihat seperti anak SMA yang baru jatuh cinta. Atau memang dia baru pertama jatuh cinta. Hanya Edy yang mengetahuinya.
"Presdir, saya minta maaf. Tapi saya sudah memiliki kekasih. Apakah pantes saya mengkhianatinya?" tanya Dae sambil membersnikan diri menatap Edy.
"Kasih aku kesempatan Dae. Aku tau kamu bersamanya. Tapi janur kuning belum melengkung bukan, dan aku masih punya kesempatan untuk membuatmu mencintaiku," jawab Edy lantang.
Edy sudah kehilangan kewibawaannya di hadapan Dae. Dia menundukkan kepalanya hanya karena cinta. Edy sudah menjadi salah satu budak cintanya seorang Dae.
"Aku sudah berulang kali mengatakannya, aku gak bisa...!Mau gimana lagi menjelaskannya sama kamu!" bentak Dae dengan beraninya.
Dae tak memikirkan lagi siapa atasan dan siapa bawahan. Saat ini dia harus menyelesaikannya. Dae gak mau berlarut-larut dalam hal ini.
Edy langsung menarik Dae dalam dekapannya. Dia memeluk Dae dengan kasih sayang.
"Dae, jadilah kekasihku," bisik Edy dengan menempelkan bibirnya ditelinga Dae.
Seketika darah Dae berdesir mengalir seperti air. Tubuhnya bergetar mendapatkan perlakuan seperti itu.
"Presdir lepaskan. Jangan seperti ini," pinta Dae.
Edy tak memperdulikan permintaan Dae. Dia langsung membopong Dae ke ruangan pribadinya. Dimana di dalam ada tempat tidur empuk yang besar. Ruangan itu sangat bagus dengan warna dindingnya yang romantis.
Dae seketika melupakan kalau dia masih berada di pundak Edy.
Edy menjatuhkan Dae di atas tempat tidur. Dae terkejut karena tubuhnya tiba-tiba jatuh. Dia menatap Edy takut.
"Presdir mau apa?" tanya Dae yang mulai membenarkan duduknya.
"Saya mau memperkosa kamu," ucap Edy blak-blakan.
Edy tersenyum di dalam hatinya. Dia ingin mengerjain Dae yang sudah mempermainkannya. Dia sengaja memperlihatkan senyuman mesumnya.
Dae semakin ketakutan, dia mundur ke belakang dengan menggeser kan bokongnya.
"Pak jangan, saya masih perawan. Jangan lakukan Pak," Dae memohon dengan merengek.
Edy tak perduli, dia semakin mendekat dan naik keatas tempat tidur.
"Bukankah kita sudah pernah merasakannya. Dan hampir melakukannya! Kamu bahkan menikmatinya Dae ku," ucap Edy yang gemas ingin menerkam Dae.
Dae memalingkan wajahnya karena merasa malu. Wajahnya terlihat seperti badut yang di polesi perona merah wajah. Dia tak berani menatap ke Edy.
"Kenapa Dae? Bukankah saya benar? Saya juga masih perjaka Dae," bisik Edy menggoda.
Seketika Dae menatap ke arah Edy, hingga mata mereka saling bertemu dan mengunci satu sama lain. Tak tau siapa yang memulai. Bibir mereka sudah menyatu, saling berpagutan, membelit satu sama lain. Menikmati sentuhan-sentuhan lembut di dalam mulut. Mereka hampir tak berbusana. Edy sudah melepaskan kemeja yang di pakai Dae, begitu juga dengan Edy. Dae terbuai dengan permainan Edy.
Hingga Edy melepaskannya. Edy menatap Dae dengan senyuman mengembang.
"Kau menikmatinya Dae. Kau mencintaiku Dae. Apa aku benar?" tanya Edy menatapnya intens.
Lalu Edy memakaikan kembali kemeja Dae. Edy sudah memberikan cap kepemilikan di tubuh bagian atas Dae. Tapi Dae tak mengetahui bahwa Edy sudah membuat banyak cap di tubuhnya.
Dae merasa wajahnya merah merona, tubuhnya snagat merespon perlakuan Edy. Ntah kenapa dia tak bisa menolaknya. Dae benar-benar terbuai dengan kelembutan yang diberikan Edy.
"Aku tidak mencintaimu Presdir. Kamu salah mengartikannya," elak Dae.
"Oh ya, jadi bagaimana dengan yang tadi kita lakukan? Apakah itu salah mengartikan sayang?" tanya Edy menggoda.
"I--iya," jawab Dae gugup.
"Hahaha, kamu manis sekali Dae ku. Aku mencintaimu. Dan tidak ada yang bisa membantahnya," Edy bangkit dari atas tubuh Dae dan dia turun dari tempat tidur.
Saat Dae juga turun, Edy membisikkan sesuatu ke telinga Dae.
"Kamu manis sekali Dae, dan ukurannya sangat pas di genggamanku," bisik Edy mesum.
Dae melototkan matanya ke arah Edy. Namun yang di lihat malah cuek.