NovelToon NovelToon
Cewek Intern Dan Duda Keren

Cewek Intern Dan Duda Keren

Status: tamat
Genre:Romantis / Perjodohan / Nikahmuda / Cintamanis / Konflik Rumah Tangga- Terpaksa Nikah / Tamat
Popularitas:1.6M
Nilai: 4.8
Nama Author: Hermosa

Dinda Lestari baru saja diterima di sebuah Perusahaan Multinasional sebagai Intern. Di hari pertamanya bekerja, seorang pria dewasa menarik perhatiannya. Dia adalah Arya Pradana, Kepala Divisi Business and Partners yang kabarnya sudah pernah menikah dan bercerai. Dia cerdas, berwibawa, dan tegas.
Baru beberapa minggu bekerja, Bunda Dinda menjodohkannya dengan putera temannya, penyelamat keluarga mereka saat diambang kehancuran dulu. Siapa sangka putera yang dimaksud adalah Arya Pradana.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hermosa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 31 Sakit Bagian 1

Dinda duduk santai di balkon kamarnya. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam tetapi Arya belum juga pulang.

‘Mana ada manusia yang kerja 12 jam lebih? Mereka sedang meeting apa sih bisa selama itu? Pak Arya juga ga kasih kabar. Apa aku tidur duluan aja?’, Dinda terus berpikir dalam hati.

Malam sudah semakin larut dan suaminya belum pulang. Meski ini bukan pertama kalinya Arya pulang larut malam, tetapi Dinda tetap menanti kabar. Apalagi hubungan mereka sudah mulai mencair belakangan ini.

Inggit dan Kuswan yang sudah terbiasa dengan kesibukan Arya sepertinya tidak ambil pusing dan sudah memilih memejamkan mata sedari tadi. Sebaliknya, mereka justru khawatir dengan Dinda. Untungnya gadis itu sudah tiba di rumah sejak jam 9 tadi.

Sementara disisi lain.

From: Wanita Penggoda

To: Arya 2 (Ponsel 2 Arya yang digunakan untuk urusan pribadi)

Pak Arya balik jam brp?

“Eh Ci, ini ponsel kedua pak Arya. Kayanya ada yang call sama chat. Coba kamu balas kesana aja.” Ujar Suci terdengar sangat panik.

“Gimana bukanya? Mana gue tahu kode hape-nya berapa. Gue telpon pak Erick dulu aja.” Balas salah seorang rekan Suci.

“Merekakan teman dekat, pasti tahu nomor bokap nyokap nya pak Arya. Udah jangan panik, yang penting kan udah di bawa ke Rumah Sakit.”

Suci dengan sigap menelepon Erick yang seperti biasa jam segini masih ON. Dia meminta nomor keluarga Arya yang bisa dihubungi dan menjelaskan situasinya.

“Halo, Pak Erick? Pak, kita bisa minta nomor keluarganya Pak Arya ga? Pak Arya tiba - tiba pingsan waktu meeting di bar dan sekarang sudah kita bawa ke Rumah Sakit.” Suci langsung to the point.

Erick kaget dan langsung menawarkan diri untuk menghubungi keluarga Arya. Meski tidak pernah bertemu, tapi dia yakin bisa menyampaikan informasi ini tanpa membuat kepanikan. Suara suci sudah terdengar sangat panik. Bahaya sekali kalau mereka yang memberitahu keluarga Arya.

“Dinda…. Din… bangun sayang.. “ Dinda mengerjapkan matanya perlahan.

Dia baru saja terlelap setelah menunggu Arya yang tidak kunjung pulang. Mungkin baru beberapa saat yang lalu matanya terpejam.

Butuh waktu untuknya memproses bahwa ada Inggit di depan pintu.

“Iya Ma. Sebentar Dinda buka.” Sahut Dinda sambil menggosok - gosok matanya yang masih berat. Meski dia sadar kamarnya kedap suara, tetapi dia tetap saja menyahut.

“Din.. kamu cepat ganti baju sekarang, ya. Kita ke rumah sakit.” Dinda kaget bukan main.

‘Siapa yang di rumah sakit?’ Dinda langsung kepikiran bunda dan adiknya.

“Arya masuk rumah sakit. Kamu cepat siap - siap turun ke bawah, ya. Kita ke rumah sakit sekarang juga” Ada perasaan lega dalam hatinya karena bukan bunda atau adiknya yang dimaksud.

Tetapi perasaan lega itu tidak bertahan lama setelah dia sadar bahwa orang yang masuk rumah sakit adalah Arya, suaminya. Timbul perasaan khawatir luar biasa yang sulit dijelaskan.

Tak butuh waktu lama, mereka langsung sampai di IGD sebuah rumah sakit sesuai dengan informasi yang diberikan oleh Erick. Inggit langsung mencari keberadaan Arya.

Begitu menemukannya, Inggit langsung memeluk puteranya. Saat inI, Arya sudah sadar dan dalam posisi duduk. Selang infus masih terpasang di lengannya. Wajahnya terlihat pucat dan lelah.

“Kamu kenapa sih, Arya? Bikin mama papa panik.” Selang beberapa detik setelah memastikan puteranya baik - baik saja, Inggit langsung marah - marah.

Meski sebelumnya Arya sering mengagetkannya karena pulang dalam keadaan mabuk (sebelum menikah dengan Dinda), tetapi ini kali pertama Inggit mendapat kabar anaknya masuk rumah sakit.

Meski Arya sudah kepala tiga, tapi di mata Inggit, dia tetap putera kecilnya. Apalagi saat ini posisinya dia sedang sakit.

Seorang dokter jaga menghampiri Arya dan keluarganya.

“Selamat pagi Bapak/Ibu, apakah Bapak dan Ibu orang tua pasien?” Tanya dokter tersebut sopan.

“Iya betul, Dok. Saya mama nya, ini papanya, dan ini istrinya.”, jawab Inggit sambil menunjuk Kuswan dan Dinda bergantian.

“Baik ibu. Pasien dibawa ke rumah sakit dalam keadaan tidak sadarkan diri. Setelah kita periksa, pasien mengalami kelelahan dan asam lambungnya naik. Kemungkinan belum ada makanan berat yang masuk lebih dari 8 jam. Ini membuat pasien kehilangan keseimbangan dan pingsan.” Jelas dokter tersebut.

Semua fokus mendengarkan penjelasan pasien dengan seksama.

“Pasien bisa tinggal di rumah sakit untuk menyelesaikan dua kantung infus. Setelah itu, kami akan memindahkan pasien ke ruang rawat untuk menjaga ketersediaan kasur di IGD.” Lanjut dokter.

“Saya pulang aja dok. Saya bawa kantung infusnya aja, bisa kan?” Potong Arya.

“Tapi apa ada yang bisa menggantikan kantong infusnya, Pak?” Tanya dokter memastikan.

“Ada, dok.” Jawab Arya singkat.

“Siapa? Udah kamu di rumah sakit aja. Nanti biar Dinda sama mama yang temenin.” Kata Inggit.

“Ibas kan bisa, ma. Ganti kantong infus doang.” Balas Arya.

Sebelumnya, Ibas pernah mengambil kuliah kedokteran karena terpaksa.

Ia sempat belajar dan hampir lulus. Sebelum akhirnya memutuskan untuk menentang orang tuanya dan terjun ke dunia DKV.

Akhirnya perdebatan selesai dengan menghasilkan keputusan, Arya boleh dirawat di rumah dan mendapatkan beberapa obat pendukung.

“Oiya yang ngantar kamu kesini mana, ya?” Pertanyaan yang juga sudah ditanyakan Dinda dari tadi di dalam hati.

Dia baru ingat sesaat setelah sampai di IGD bahwa tadi Arya pergi dengan timnya. Kalau mereka melihat Dinda disini bisa rumit ceritanya.

“Arya suruh pulang, ma. Lagian sudah malam. Kasian. Besok mereka masih harus ke kantor.” Jelas Arya.

Semua bersiap pulang. Pak Cecep yang mengantar mereka diminta siap - siap di depan. Selain  Pak Cecep, ada Ibas juga dengan mobilnya.

Ibas sedikit fobia dengan rumah sakit, jadi dia memilih untuk menunggu di mobil. Drama - drama masa lalunya di rumah sakit membuat dia tidak ingin masuk. Setidaknya untuk ruang IGD.

“Din, kamu sama Arya naik mobil Ibas, ya. Biar mama sama papa balik bareng pak Cecep. Kamu mau naik kursi roda, ya?” Inggit menawarkan sambil sedikit bercanda. Dia sudah tenang karena sepertinya Arya baik - baik saja. Dia hanya butuh istirahat dan makan yang teratur.

Arya tidak menjawab dan hanya mencelos sambil menarik Dinda.

“Bawain dokumen dan laptop saya dibawah. Terus, papah saya ke mobil Ibas” Perintah Arya yang sudah berdiri di samping Dinda.

‘Sudah bisa perintah - perintah orang, artinya dia baik - baik saja.’ Celetuk Dinda dalam hati sambil melaksanakan perintah suaminya.

Dinda mengambil tas berisi laptop dan tablet Arya kemudian mengalungkannya di bahunya. Dia juga mengambil beberapa dokumen yang terletak di meja dan memegangnya.

“Udah sini tas sama dokumennya biar sama mama saja. Kamu papah Arya aja sampai mobil ya, sayang.” Kata Inggit mengambil semua bawaan Arya.

Inggit dan Kuswan berjalan lebih dulu sambil sesekali melihat ke arah belakang.

Arya mengalungkan lengan-nya ke bahu Dinda. Sementara Dinda mengalungkan lengannya di pinggang Arya. Tidak banyak yang bisa dia lakukan untuk memapah Arya tapi dia nampak berusaha.

“Kamu makan ga sih? Badan kecil begitu gak ada tenaganya.” Protes Arya.

Dinda menoleh dan pasrah mendengarkan omelan - omelan Arya.

“Setidaknya saya gak berakhir di rumah sakit seperti pak Arya.” Jawab Dinda.

Arya mengernyitkan dahinya mendengar jawaban Dinda. Dia heran karena gadis ini sudah berani menjawab perkataannya.

Tidak biasanya Dinda membalas perkataannya. Apalagi Dinda membalasnya dengan jawaban sarkas. Sebelumnya, Dinda selalu saja mengatakan ‘Ya’, ‘Oke’, ‘Baik’, ‘Maaf’, dan semacamnya.

“Pak Arya udah bikin satu rumah cemas. Kita sampai lari - lari kesini.” Ujar Dinda.

Arya tidak menimpalinya lagi.

Sesampainya di mobil.

“Masuknya pelan - pelan ya Pak.” Dinda membantu Arya masuk mobil.

Kepalanya masih sempoyongan dan badannya juga masih sangat lemas. Dia langsung merebahkan tubuhnya di bangku mobil.

“Mas, workaholic boleh. Tapi jangan sampai tumbang di rumah sakit. Malu.” Sindir Ibas.

Dia terkekeh ketika melihat masnya yang tidak berdaya masuk ke dalam mobil. Kakaknya yang biasanya tegas bisa tidak berdaya seperti itu di hadapannya. Pemandangan yang langka sekaligus baru bagi Ibas.

Di mobil, Dinda melakukan apapun yang dia bisa. Mulai dari menyeka keringat yang sudah mengalir di tubuh Arya karena gejala demam, melonggarkan sedikit kemejanya hingga membantu menidurkan kepalanya di bahu.

Di sepanjang perjalanan menuju ke rumah, Arya hanya bisa diam. Dia ingin tidur tetapi tidak nyaman. Rasa pegal luar biasa menjalar di seluruh tubuhnya.

Disisi lain, Ibas diam - diam memperhatikan kakak dan kakak iparnya dari kaca depan mobil. Semua keluarga tahu bagaimana masnya bisa menikah dengan Dinda. Dijodohkan. Dia kira hubungan mereka akan tandus seperti padang pasir, saling cuek, dan tidak perhatian.

Tetapi sebaliknya, Ibas malah melihat pemandangan yang tidak biasa. Dia bisa melihat kepedulian Dinda pada Arya. Ibas juga bisa melihat Arya yang notabene sulit sekali untuk nyaman dengan seorang wanita, bisa sebegitu rileksnya berada di dekat Dinda.

“Pak Arya, saya tahu Bapak mau langsung cepat - cepat istirahat. Tapi, habiskan dulu buburnya, ya. Dari kemarin, Pak Arya belum makan apa - apa terus minum kopi. Di bar juga ga tahu udah minum apa lagi. Makan dulu ya. Sesudah itu baru tidur.” Dinda sudah meminta Bi Rumi untuk membuatkan bubur saat di perjalanan menuju rumah.

Setibanya di dalam kamar, Dinda langsung membantu Arya untuk bersandar di atas kasur. Tadinya, Arya ingin langsung membaringkan tubuhnya. Tapi Dinda melarang. Pria ini harus makan.

Inggit juga memeriksa kondisi Arya sebelum mempercayakan semuanya pada Dinda.

Dimata Inggit, Arya masih anak kecil meski usianya sudah 34 tahun. Tapi, Inggit sadar kalau sekarang dia sudah punya istri.

“Arya, apa gak apa - apa di rumah aja? Tadi ga ada demamnya, jadi mama setuju. Tapi kok sekarang kamu malah demam juga? Wajah kamu juga bertambah pucat.” Ungkap Inggit khawatir.

“Gapapa, ma. Udah mama istirahat aja. Arya juga akan istirahat penuh, kok. Tenang aja.” Kata Arya berusaha menenangkan mamanya.

Sepeninggal Inggit dan Kuswan, Dinda mengambil handuk kecil dan membasahkan-nya sedikit dengan air panas. Dia menyeka wajah Arya pelan - pelan.

“Pak, saya ijin buka kemejanya, ya. Supaya badannya bisa di lap juga. Abis itu saya bantu ganti bajunya dengan kaos yang baru” Pertanyaan Dinda hanya dijawab dengan kedipan mata dan sedikit anggukan dari Arya.

Ekspresi wajahnya mengisyaratkan ‘Terserah kamu saja’, pada Dinda. Arya sudah tidak punya tenaga. Matanya sayu dan mengantuk karena lelah.

Dinda dengan telaten membuka perlahan kemeja suaminya. Dia menyekanya dengan handuk. Setelah selesai, Dinda berjalan menuju ruang ganti dan mengambil kaos berwarna abu -abu untuk Arya kenakan.

Tidak seperti sebelumnya. Interaksi mereka begitu dekat. Deru nafas Arya yang lelah terdengar dengan jelas di telinga Dinda saat dia berusaha memakaikan kaos itu. Aroma tubuhnya yang khas masih bisa dirasakan Dinda meski sudah larut malam.

‘Sepertinya pak Arya pakai parfum mahal’ Begitu pikirnya.

‘Ah…kenapa aku malah membicarakan soal parfum.’, Ujar Dinda segera sadar dari kerandoman dirinya.

Dinda juga melepaskan ikat pinggang Arya agar laki - laki itu bisa lebih nyaman.

“Heh.. gak sekalian kamu ganti celana saya? Kenapa cuma baju?” Ujar Arya masih dengan suara yang lemah.

Dinda tidak menyangka pria itu masih sanggup mengeluarkan lelucon tidak lucu di saat seperti ini.

Alih - alih membalas, Dinda hanya melayangkan tatapan tidak percaya dan segera beranjak mengambil kembali bubur yang dia letakkan di atas meja. Beruntung, buburnya masih hangat karena Dinda sengaja membawa alat penghangat ke atas.

Bubur hangat saja Arya masih menolak, apalagi kalau sudah dingin. Awalnya, Arya ogah - ogahan dan ingin langsung tidur saja. Tapi Dinda bersikeras.

“Pak Arya hanya akan memperparah kondisi Pak Arya kalau tidak makan sama sekali. Oke gak usah habis. Tapi setidaknya telan beberapa suap.” Bujuk Dinda.

Dia tahu benar Arya belum makan apa - apa hari ini. Dia hanya minum kopi karena jadwal meeting-nya yang padat.

Perlahan suap demi suap Dinda berikan pada Arya sampai akhirnya mangkok itu kosong. Arya meneguk minuman dan segera membaringkan tubuhnya. Namun, rasa mual tiba - tiba menyerangnya.

Arya menggenggam tangan Dinda yang baru selesai meletakkan mangkok bubur itu di atas nakas.

“Din, sorry saya mo ke kamar mandi.” Ujar Arya tiba - tiba.

Dia berusaha untuk beranjak dari tempat tidur. Namun kondisi fisiknya yang lemah, membuat tubuhnya sempoyongan dan kembali berakhir terduduk di atas kasur.

“Pak Arya mau ngapain? Mual? Mau muntah?” Tanya Dinda memperhatikan suaminya.

“Hn.” Arya mengangguk. Dia tak sanggup membuka mulutnya.

“Gapapa. Tunggu disini, saya ambil ember ke kamar mandi.” Dinda berlari ke arah kamar mandi. Tapi, ia baru sadar tidak ada ember disana. Dinda bergerak menuju laci lemari di kamar mandi dan mengambil kantong plastik.

“Ini pak, Pak Arya muntahin di dalam sini aja.” Ucap Dinda tanpa ragu.

Awalnya Arya ragu dan merasa tidak enak untuk muntah di depan gadis ini. Apalagi dia yang menampung nya dengan plastik.

Arya melirik ke arah Dinda sebentar. Gadis itu memberikan isyarat agar Arya segera memuntahkannya di kantong plastik itu.

Sebenarnya Arya terlihat masih ragu. Namun, ia sudah tak bisa menahan mulutnya untuk memuntahkan semua yang ada di perutnya. Arya akhirnya mengeluarkannya ke dalam plastik yang sudah di pegang Dinda.

Sesekali, Arya memperhatikan Dinda. Tidak sedikitpun gadis itu merasa jijik atau menutup mulutnya karena bau. Dinda dengan telaten menutup zipper plastik dan mengambil handuk untuk menyeka bekas muntahan di bibir Arya.

Gadis itu dengan sigap memberikan segelas air putih pada Arya.

Arya melihat ada sedikit noda muntahan jatuh di tangan Dinda. Alih - alih mengeluh atau berkomentar, Dinda dengan dengan santai menyapu muntahan itu dengan handuk dan menaruhnya di kamar mandi.

Seketika ingatan Arya kembali pada lima tahun yang lalu. Saat dia sakit dan masih bersama Sarah, mantan istrinya.

Sarah tidak pernah mau mendekatinya kalau Arya muntah. Jangankan memapah, Sarah meminta Arya untuk segera berjalan ke kamar mandi karena takut ada muntahan yang jatuh di kamar.

Arya harus berlari ke wastafel karena Sarah tidak bisa membantunya. Dia juga akan tidur terpisah jika Arya sedang sakit karena takut tertular. Meski itu hanya flu atau demam biasa.

Tapi sekarang, ketika Dinda sudah selesai membereskan insiden tadi, dia langsung mengganti baju dengan piyamanya dan langsung tidur di sebelah Arya.

Dia juga tampak dengan telaten memeriksa suhu tubuh laki - laki itu dengan menempelkan tangannya pada kening Arya.

Saat dia rasakan suhunya belum turun, Dinda kembali mengambil kompres es batu yang sudah dia minta pada Bi Rumi di atas kepala Arya.

Sesekali dia menyekanya kening, pipi, dan leher Arya.

Dia sudah mengenal Sarah lebih dari 10 tahun. Sedangkan, Dinda? Dia baru bersamanya selama sebulan. Tapi, Arya bisa merasakan kalau gadis itu tulus dengan perhatiannya.

“Yah, bubur yang tadi kayaknya keluar semua. Pak Arya mau saya ambil roti di bawah? Atau jus mungkin? Setidaknya perut pak Arya ada isinya.” Arya belum menjawab, dia masih terdiam mencerna segala perhatian yang diberikan oleh Dinda.

“Pak Arya? Pak Arya mau aku ambilkan roti di bawah? Atau aku ada biskuit di tas, sebentar aku ambil ya.” Dinda baru saja ingin turun untuk mengambil biskuit yang ada di tasnya. Tapi tarikan tangan Arya jauh lebih cepat.

Cup.

Laki - laki itu menarik dan mengecup bibirnya. Ringan. Dinda bisa merasakan hawa panas dari ciuman itu karena suhu tubuh Arya masih belum turun.

Sesaat setelah Arya melepas ciumannya, Dinda masih berusaha mencerna ciuman itu.

‘Kenapa interaksi dengan pak Arya selalu saja diakhiri dengan ciuman. Sebenarnya dia anggap aku ini apa sih?’, kata Dinda dalam hati.

“Gak usah diambil. Saya mau langsung tidur.” Ujar Arya sambil menjatuhkan tubuhnya di bantal dan tidur.

1
Fatma Wati
Buruk
Fatma Wati
Lumayan
Santi Seminar
kak mosa sudah kangen pak Arya loh ini
Lia Kiftia Usman
suka dgn harmoni keluarga pak kuswan
Lia Kiftia Usman
suka... ucapanmu dan sikapmu dinda...👍
Lia Kiftia Usman
🤣🤣🤣🤣🤭
naura nahwa
selalu di tunggu
Lia Kiftia Usman
biasanya sekretaris se level sisca punya ob yg mendampingi u urusan copy meng copy dan urusan2 distribusi surat2 internal
Rini Fajarwati
Semoga ada kelanjutannya...
Rini Fajarwati
sampai 2 kali baca suka ceritanya...
Lia Kiftia Usman: ada...saya 5x juga
dite: 😂🤣🤣 ane ampe baca 5x ada
total 2 replies
HeNda Arfiani
Suka banget sama cerita ini. ❤️
Jenny Mongi
Lanjutkan thor.
Kristin Prakerja
di tunggu kanjutannya
Uchy Suci
blaster? mungkin blazer 🤭
Nani Widia
bagus cerita ya ringan tapi kenapa like ya sedih ya semangat author
Nadia Mgl
bagusss banget ceritanya semoga segera lanjut season ke 2 nya Dinda&Pak Arya😍🤟
Nadia Mgl
ayoo thor lanjut lagi season 2 nya gak sabar nih😔😇
Nadia Mgl
semangat othor😍
dite
Kak Mosa, kapan Pak Arya Dinda comeback?
dite: hehehe udah ditinggal stahun, gak ada jg ya kak
Hermosa: Ditunggu yaaa ❤️
total 2 replies
Fellicia Naura Azzahra
bagus banget
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!