Di balik kebahagiaan yang ku rasakan bersamanya, tersembunyi kenyataan pahit yang tak pernah ku duga. Aku merasa istimewa, namun ternyata hanya salah satu dari sekian banyak di hatinya. Cinta yang ku kira tulus, nyatanya hanyalah bagian dari kebohongan yang menyakitkan.
Ardian memejamkan mata, napasnya berat. “Aku salah. Tapi aku masih mencintaimu.”
“Cinta?” Eva tertawa kecil, lebih mirip tangis yang ditahan. “Cinta seperti apa yang membuatku merasa sendirian setiap malam? Yang membuatku meragukan harga diriku sendiri? Cintamu .... cintamu telah membunuhku perlahan-lahan, hingga akhirnya aku mati rasa. Itukah yang kamu inginkan, Mas?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon X-Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Sesaknya Dunia Untukku
Wajah Ardian mengeras saat mengucapkan kata itu. Rahangnya mengatup, matanya menyiratkan amarah yang mendidih di dalam dada. Napasnya memburu, tak mampu ia sembunyikan kegelisahan yang membuncah di dalam hatinya. Setiap tatapan dan gerak tubuh Eva, juga kebersamaan Renno dengan istrinya barusan, menusuk-nusuk rasa percaya dirinya sebagai seorang suami. Dada Ardian terasa panas—terbakar oleh cemburu, marah, dan kecewa. Namun, yang paling menyakitkan adalah kalimat dari bibir Eva barusan. Kalimat yang mengisyaratkan akhir. Perceraian.
Dan saat ia mendengarnya, seperti ada palu besar menghantam keras ke dalam jiwanya. Perasaan marah serta cemburu yang semula mendominasi hatinya, mendadak menguap, berganti ketakutan yang tak terjelaskan. Ketakutan akan kehilangan. Sampai mati pun, Ardian tidak akan menceraikan Eva. Tidak akan pernah.
"Kalau kamu enggak mau menceraikan aku, maka aku yang akan menggugat cerai," ucap Eva, dengan wajah datar dan suara yang begitu tegas. Tak ada getar, tak ada keraguan. Matanya menatap tajam, seolah menghunus hati Ardian.
Ardian tersentak. Bibirnya terbuka, tapi tak satu kata pun keluar. Seketika tubuhnya seperti kehilangan keseimbangan. "Kamu enggak bisa melakukan hal itu, Eva. Kamu harus tetap menjadi istriku," ucapnya akhirnya, dengan suara nyaris parau. Ia menggenggam udara, seolah bisa menahan waktu agar tidak bergerak maju.
Eva terkekeh. Sebuah tawa yang kering dan penuh ironi. "Kata-katamu lucu, Mas Ardian. Kamu pikir pernikahan itu hanya kehendakmu saja?" Tatapannya tajam menusuk, menelanjangi setiap lapis pertahanan Ardian. "Kalau aku memilih bertahan, apakah kamu mau menceraikan istri sirimu itu?" tanyanya kemudian, tajam, menusuk, tanpa ampun.
Renno yang berdiri tak jauh dari mereka, menatap Eva dengan ekspresi cemas. "Eva, kenapa kamu—"
"Aku tahu apa yang kamu maksud. Jadi tolong, diam!" Nadanya menggelegar, penuh emosi yang selama ini ia tahan.
Renno akhir nya bungkam, namun dia tahu ini bukan saat yang tepat untuk bicara.
Eva kembali menghadapkan wajahnya pada Ardian, berdiri tegak, tidak goyah. "Bagaimana, Mas Ardian? Apakah kamu mau menceraikan dia?"
Ardian terdiam. Matanya bergetar, pikirannya kacau. Kalimat Eva bergema dalam kepalanya, menghantam sisi-sisi logikanya yang mulai runtuh. Kalau dia melepaskan Lisna, bagaimana dengan Aiden, anak mereka? Ia membayangkan wajah polos Aiden, tawanya, pelukannya yang hangat setiap pagi.
Dia tidak bisa. Tidak ingin. Anak kecil itu tidak bersalah. Ardian tahu betul bagaimana rasanya tumbuh dalam keluarga yang hancur seperti sahabatnya. Dia tidak ingin Aiden mengalami luka yang sama seperti sahabatnya.
"Diam mu itu sudah menjadi jawaban untukku, Mas," ucap Eva lirih, namun jelas. Suaranya mengandung luka, namun juga kepastian. "Kamu enggak bisa menceraikan dia."
"Bukan itu masalahnya, Eva. Jika aku menceraikan Lisna… kasihan Aiden. Aku enggak mau dia jadi anak broken home," jawab Ardian akhirnya, suaranya nyaris putus di akhir kalimat.
"Kalau begitu, kamu ceraikan saja aku. Gampang, kan?" balas Eva cepat, tanpa ragu. Wajahnya masih sama dinginnya, tapi ada semburat luka di matanya yang tak sempat ia sembunyikan.
"Tidak semudah itu, Eva. Aku sangat mencintai kamu," ujar Ardian, melangkah satu langkah mendekat, seolah ingin meraih Eva, menahannya agar tidak menjauh.
Sekali lagi Eva tertawa. Kali ini lebih samar, lebih pahit. Tawa yang menyiratkan kelelahan. "Kamu enggak mau menceraikan dia, dan kamu juga enggak ingin menceraikan aku. Kamu benar-benar definisi manusia yang sangat egois," ucapnya dengan suara rendah, namun setiap katanya tajam. "Kamu ingin segalanya tetap seperti ini, tapi tidak pernah berpikir betapa sesaknya dunia ini buat aku."
Ardian menunduk. Tidak ada lagi yang bisa ia katakan untuk membela dirinya. Semua sudah jelas. Terlalu jelas.
Suasana hening. Hanya suara angin yang berbisik lirih di keheningan malam, seolah ikut menyaksikan perdebatan dua hati yang saling mencintai, tapi mulai tak sejalan. Eva menghela napas dalam, mencoba menahan air mata yang mulai membasahi pelupuk matanya. Ia lelah—teramat lelah.
"Eva…" suara Ardian nyaris seperti bisikan, namun tak cukup lembut untuk menyentuh luka yang telah lama bersarang di hati Eva. "Aku tahu aku salah. Tapi percayalah, aku tidak pernah berniat menyakitimu."
Eva menatapnya dengan mata berkaca-kaca, tapi tetap menegakkan kepala. "Kamu salah, Mas. Bukan cuma niat yang menyakiti. Tapi keputusanmu. Pilihanmu. Keinginanmu untuk membagi cinta, seolah aku enggak cukup untuk kamu." Ia mengatup bibir, menahan isak. "Kamu membuatku merasa… gagal sebagai seorang istri."
"Jangan bilang seperti itu," Ardian buru-buru menyela, melangkah lebih dekat. "Kamu perempuan paling hebat yang pernah aku kenal. Pendamping yang kuat untuk aku." Ia mencoba meraih tangan Eva, namun Eva mundur selangkah.
"Tapi tetap saja tidak cukup, kan?" bisik Eva. "Kalau aku cukup, kamu enggak akan menikah lagi diam-diam. Kamu enggak akan sembunyi-sembunyi pergi dari rumah saat kita berduaan, saat kita makan, saat kita melakukan apapun. Dan kamu juga enggak pernah datang menghadiri hari anniversary pernikahan kita yang ke tiga, ke empat dan ke-lima. Kamu selalu datang terlambat, dengan alasan pekerjaan. Dan semua yang kamu katakan itu bohong kan, Mas? Kamu terlambat datang karena kamu bersama keluarga kecilmu itu?"
Ardian hanya bisa menunduk, ucapan istrinya benar adanya. Dia terlambat pulang karena menemani Lisna dan Aiden.
Eva mengusap air matanya, lalu menatap Ardian dalam-dalam. "Aku bukan perempuan yang sempurna. Tapi aku tahu, aku layak dicintai secara utuh. Bukan dibagi."
Ardian nyaris terjatuh duduk. Matanya berkaca-kaca. Kata-kata Eva menamparnya keras. Ia tidak bisa menyangkal kebenaran dalam kalimat-kalimat itu. Ia mencintai Eva, tapi juga terlalu pengecut untuk menghadapi kenyataan bahwa cintanya telah menciptakan luka.
"Apa yang kamu inginkan sekarang?" tanyanya lirih.
Eva menarik napas, panjang dan berat. Lalu, dengan suara yang nyaris seperti doa, ia berkata, "Aku ingin tenang. Aku ingin bisa bernapas tanpa merasa sesak setiap kali melihat kamu pulang tapi pikiranmu entah di mana. Aku ingin kebebasan untuk menyembuhkan diri sendiri. Maka… biarkan aku pergi, Mas."
Ardian menatapnya dengan mata yang memohon. Tapi dalam hatinya, ia tahu. Mungkin untuk pertama kalinya, cinta tak cukup untuk mempertahankan sebuah pernikahan.
"Eva, aku tahu kesalahan ku sangat sulit di maafkan. Tapi aku mohon, beri aku kesempatan. Aku janji akan berlaku adil. Aku mohon." pinta Ardian penuh harap, bukannya memilih salah satu. Dia ingin merengkuh kedua istrinya, tanpa dia sadari. Salah satu istrinya terluka hebat akibat perbuatannya.
Air mata Eva mengalir deras mendengar perkataan Ardian.
Sudah cukup.
Dia tidak ingin lagi bertahan, semuanya sudah berakhir.
Eva melangkah pergi meninggalkan kakak beradik itu. Ardian mengejarnya dan mencekal lengan istrinya.
"Lepaskan aku, Mas." ucap Eva
"Kamu mau pergi ke mana?" tanya Ardian
"Aku ingin pulang."
"Aku antar."
"Tidak perlu! Aku bisa sendiri, kamu urus saja keluarga barumu itu." sarkas Eva, "Lepaskan!" serunya
'"Tidak. Aku tidak mau kamu pergi. Ayo kita masuk ke dalam rumah, ini sudah malam. Lebih baik kamu menginap di rumah mama papa saja." ucap Ardian dengan tegas, tanpa sadar tangan nya mencekal lengan Eva dengan keras. Sehingga Eva merintih kesakitan.
Renno yang melihat itu langsung memisahkan mereka. Eva melihat tangan nya yang merah akibat cekalan Ardian yang cukup kuat.
"Minggir kamu, jangan ikut campur urusan rumah tanggaku, Renno!" sentak Ardian
"Aku akan ikut campur, jika kamu menyakiti Eva!" sahut Renno lantang
Melihat kakak adik itu beradu argument, Eva mengambil kesempatan untuk kabur dan dengan langkah cepat meninggalkan mereka. Ardian ingin mengejar, namun Renno menahannya.
"Minggir, Renno!" bentak Ardian
"Biarkan Eva pergi, kak." ucap Renno
Namun, Ardian yang keras kepala tidak menghiraukan perkataan adiknya. Dia memberontak dari cekalan adiknya. Dan akhirnya dia mengejar Eva yang sudah keluar dari halaman rumah orang tuanya.
***